Senin, 30 September 2013

Yang Terpuji, Yang Teruji

“Aku ingin agar dia dipuji, di langit dan di bumi.”
BEGITU ‘Abdul Muthalib berkata sembari menimang sang bayi yang berwajah cahaya. Senyumnya bangga, rautnya gembira, air mukanya renjana. Dengan teguh dijawabnya para tetua Quraisy yang tadi menggugat, “Mengapa kauberi nama dia Muhammad; nama yang tak pernah digunakan oleh para leluhur kita yang hebat?”
Dan Muhammad senantiasa terpuji, hingga para pembencinya tak mampu mencaci. Ibn Ishaq meriwayatkan dalam Sirah-nya; bahwa setelah turun Surah Al Lahab yang menyebut Ummu Jamil sebagai ‘wanita pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut’, perempuan itupun mencari-cari Kanjeng Nabi.
Di salah satu sudut Masjidil Haram, diapun berjumpa Abu Bakr Ash Shiddiq. Maka segera dia menghardik, “Di mana sahabatmu itu hai putra Abu Quhafah? Dia pikir hanya dia yang sanggup bersyair hah? Sungguh akupun pandai menyusun sajak tuk membuatnya susah!” Lalu diapun mulai mendaras gubahannya.
    Mudzammam ‘si tercela’ kami abaikan
    Agamanya kami benci bersangatan
    Perintahnya kami tentang sekalian
Bakdanya, wanita keji yang hobi menabur duri di laluan Baginda Nabi ini bersungut-sungut pergi. Maka Ash Shiddiq pun menoleh dengan wajah pias-pias terkesima pada sosok yang ada di sebelahnya. “Apakah dia tak melihat engkau Ya RasulaLlah? Dia datang dan menanyakanmu, lalu mencaci maki seakan kau tak di sini; padahal di sisiku Paduka berdiri?”
Senyum tersungging di bibir mulia, lalu lisan Al Mushthafa memekarkan sabda, “Allah mentabiri pandangannya  dari diriku duhai Aba Bakr.” Abu Bakr mengangguk, iman di dadanya kian berduduk, jiwa dan raganya sempurna tunduk.
“Tidakkah kau perhatikan bagaimana Allah menjaga diri dan namaku hai Aba Bakr?”, ujar Sang Nabi dengan renyah, “Mereka menghina dan menista Mudzammam, padahal aku adalah Muhammad.”
Betapa dahsyat nama Muhammad. Hingga yang hendak menjelekkannya pun tak bisa tidak harus memuji jika menyebut asmanya. Atau jika membalik namanya dari Muhammad ‘si terpuji’ pada Mudzammam ‘si tercela’, menjadi salah-sasaranlah cercaannya.
Tetapi orang terpuji tidaklah terlepas dari uji. Maka Al Amin, yang tepercaya, yang menjunjung kejujuran sebagai permata hidupnya akan terhenyak ketika pada suatu hari dia digrambyang, “Dusta kau hai Muhammad!”
Mari bayangkan 40 tahun hidup yang bersih tanpa cacat; semua orang berkata padanya, “Benarlah kau duhai Muhammad! Janjimu tepat! Kau tunaikan amanat!” Lalu ketika kebenaran samawi bahwa tiada Ilah selain Rabb mereka dipikulkan ke pundaknya, tiba-tiba semua berkata, “Engkau dusta!”
Semua kan diuji atas hal yang paling dijunjung tinggi hati. Ibrahim pada cintanya hingga penyembelihan putra, Maryam pada kesuciannya hingga hamil tanpa sentuhan pria, Muhammad pada kejujurannya hingga dituduh berdusta. Shalawat bagi mereka yang telah lulus sempurna. Bagaimana dengan kita?
sepenuh cinta
Salim A. Fillah, @Salimafillah

Home » Berita » Laporan Khusus » Sahabat Muawiyah pun Pernah Berdakwah ke Indonesia , Awal Mula Islam Masuk ke Nusantara (3) Sahabat Muawiyah pun Pernah Berdakwah ke Indonesia , Awal Mula Islam Masuk ke Nusantara (3)Sahabat Muawiyah pun Pernah Berdakwah ke Indonesia , Awal Mula Islam Masuk ke Nusantara (3)

Penyebaran Islam ke Indonesia adalah melalui dakwah para ulama yang berniat datang atau sengaja ditugaskan untuk mengajarkan tauhid. Tetapi selain para ulama dan pedagang, juga orang-orang Nusantara sendiri sudah  banyak  pula yang mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya tertama dari  Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi Aceh terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke !6 Masehi. Bahkan pada tahun 974 Hijriah atau 1566 Masehi dilaporkan ada lima kapal dari kesultanan Asyi (aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.
Ukhuwah yang terjalin erat antara pemerintahan Aceh dan kekhilafahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Mekkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan kekhalifahan Islam terjadi pada masa ke-khilafahan turki Utsmani, tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tetapi juga hubungan poloitik dan militer telah dibangun pada masa ini.
Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Khilafah Utsmani turut membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521 M. Bahkan pada tahun-tahun sebelumnya, Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar Pemerintahan kekhalifahan  Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah portugis .
Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (portugis) dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof . Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam “ mengungkapkan pada tahun 674-675 M, duta dari orang-orang Tha shih (arab) untuk China yang tak lain adalah sahabat Rasulullah SAW  sendiri yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyyah yang juga pendiri kekhilafahan Islam Bani Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan kalingga dan melakukan pengamatan. Maka bisa dikatakan bahwa Islam telah merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan Hijriah.
Jika demikikan , tidak heran apabila tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar pada masa-masa berikutnya, dengan kesultanan giri, demak, pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja yang dimulai sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahahabat Rasulullah saw yaitu Muawiyyah bi Abu Sufyan.
peranan Wali Songo dalam perjalanan kerajaan –kerajaan Islam di Jawa tidak bisa dipisahkan . Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat, dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kesultanan. Kesultanan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal adalah Kesultanan Demak. Namun keberadaan Kesultanan Giri juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kekuasaan Islam di tanah Jawa.
Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, membangun wilayah tersenddri di daerah Giri, Gresik jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kekuasaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelak dikirim ke kawasan Nusa Tenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.
Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Buya Hamka menyebutkan , sedemikian besar pengaruh kekuatan agama dihasilkan Giri, membuat Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tidak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kesultanan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.
Meski kekuatan politik Islam baru tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram dianggap sudah tidak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung, Giri akhirnya harus mengambil sikap. Giri mendukung kekuatan Bupati surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram.
Meski akhirnuya kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajahan Belanda, kesultanan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang terkenal dengan ajaran dan semangat jihadnya telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan melawan penjajah. Tidak hanya Di Jawa dan Sumatera, tapi diseluruh wilayah Nusantara…
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/sahabat-muawiyah-pun-pernah-berdakwah-ke-indonesia-awal-mula-islam-masuk-ke-nusantara-3.htm