Senin, 14 April 2014

Pelajaran dari Shalat Berjamaah, Mengikuti Pemimpin Selama Benar

Sahabat Anas berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw shalat bersama kami. Setelah selesai shalat kemudian beliau menghadap kami seraya bersabda :
“Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imammu. Karena itu janganlah kamu mendahuluiku ketika ruku’, ketika berdiri, dan ketika menyelesaikan shalat. Sebab aku mengetahui apa yang kamu lakukan, baik didepanku maupun dibelakangku.” Selanjutnya Rasulullah bersabda :”Demi dzat yang diri Muhammad berada dalam kekuasaanNya, seandainya kamu bisa melihat apa yang aku lihat, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis berurai air mata.” Lalu para sahabat bertanya :” Wahai Rasulullah, apa yang engkau lihat ?” Jawab Rasulullah :”Aku melihat sorga dan neraka.” (HR Muslim).
Dari hadits tersebut, dalam shalat berjama’ah, makmum shalat harus mengikuti dan tidak boleh mendahului imam, dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Demikian juga bagi makmum yang terlambat (masbuq), ia harus mengikuti imam sampai imam salam, baru kemudian melanjutkan shalatnya untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal.
Ketentuan mengikuti imam hanya selama bacaan dan gerakan imam benar. Jika imam keliru, makmum wajib menegur imam dengan bacaan subhanallah (bagi laki-laki) dan memberi isyarat dengan bertepuk tangan (bagi wanita) agar shalat tidak sia-sia, dan imam wajib memperhatikan teguran tersebut. Jika tidak, atau membuat kesalahan fatal, maka makmum berhak memisahkan diri. Oleh karena itu, untuk menjadi imam, tidak boleh sembarang orang.
Seorang imam shalat, bukan hanya yang banyak hafalan bacaan Qur’an saja, tetapi yang memiliki ketinggian ilmu (agama), memahami dan mampu melaksanakan Qur’an dan Sunnah, berakhlak mulia sehingga disukai makmumnya dan bisa pegang amanah (berdasarkan hadits-hadits riwayat Muslim dari Abu Masna, Abu Dawud dari Abu Amer ibn Ash, Ahmad dalam risalah ash shalah, dan Bukhari dari Abi Hurairah).
Ada satu lagi sebagai syarat menjadi imam yaitu bukan sebagai tamu, kecuali atas keikhlasan permintaan para makmumnya untuk mengimami mereka (HR Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Sebagai suatu tarbiyah tentang kepemimpinan dalam shalat berjamaah dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dengan berdasarkan firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri (pemimpin) dari kamu,” (QS An Nisaa’59)
Kata athii’u hanya didepan Allah dan Rasul tetapi tidak untuk ulil amri, menunjukkan bahwa ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang tidak dapat ditawar lagi karena kebenarannya tidak perlu diragukan lagi. Berbeda dengan ketaatan kepada ulil amri yang notabene manusia biasa yang tak pernah lepas dari kesalahan, identik dengan ketaatan kepada imam shalat dalam shalat berjamaah, sebagaimana juga ditegaskan oleh Rasulullah dengan sabdanya :
“Seorang muslim harus taat dan mendengar (pemimpinnya) dalam hal apa saja yang ia senangi atau tidak, kecuali jika pemimpin itu menyuruh yang tidak benar (melanggar aturan Allah dan RasulNya). Jika demikian, maka ia tidak boleh taat dan mendengar lagi pemimpin itu.” (HR Muslim dari Ibnu Umar).

Mahfud MD : Koruptor Harus Disanksi dengan Pidana Mati

Pasuruan (SI Online) - Untuk, pemberantasan korupsi hingga benar-benar menimbulkan efek jera, presiden terpilih nanti harus menerapkan pidana mati bagi pelaku korupsi hingga di atas Rp20 Miliar.

Ditegaskan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Selasa (25 Maret) ketika mengunjungi Baitul Maal wat Tawwil (BMT), Usaha Gabungan Terpadu (UGT) milik Pondok Pesantren Sidogiri, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Dikatakan Mahfud, tidak sedikit warga masyarakat, termasuk sdejumlah para pakar hukum, yang mengeluhkan bahkan memrotes pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), karena hakim tidak memberi vonis hukuman maksimal  (pidana mati)  kepada koruptor. Padahal pelaku korupsi jelas dan terbukti telah merugikan negara cukup besar. “Hakimnya anggap enteng saja dengan mengatakan, syaratnya belum memenuhi untuk hukuman maksimal, karena Negara belum dalam kedaan krisis.”

Oleh sebab itu, lanjut Mahfud, Presiden terpilih nanti harus berani berinisiatif menyatakan Undang-Undang Anti Korupsi harus memberikan ancaman hukuman maksimal (pidana  mati) bagi koruptor lebih dari Rp20 Miliar. Pidana mati, harus dapat dilaksanakan  dengan tanpa syarat, negara dalam keadaan kritis.

Sementara itu, dari keterangan yang berhasil dihimpun mengungkap, semakin dekat dengan pelaksanaan Pemilu, sejumlah tokoh nasional akhir-akhir ini tidak sedikit yang bertamu ke KH.Nawawi Abdul Djalil---Pimpinan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Diantara tamu tersebut tampak sebelum ini, datang dengan inisiatif sendiri, pengusaha Choirul Tandjung. Kemudian Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, serta masih banyak lagi.

Mahfud MD berbeda,  datang di Pesantren Sidogiri bukan karena inisiatif sendiri; melainkan memang untuk memenuhi panggilan KH. Nawawi Abdul Djalil---yang dikenal sebagai salah satu Kiai khos di lingkungan NU.

“Saya tadi dipanggil Kiai Nawawi, untuk berbincang mengenai situasi dan perkembangan politik terkini di negeri ini serta prospeknya ke depan,” ungkapnya menjawab kecurigaan wartawan.

Mahfud diterima dalam pertemuan tertutup,  berlangsung lebih dari 30 menit, dalam ruang tamu kamar pribadi KH. Nawawi. Setelah itu, Mahfud mengungkapkan; dalam pertemuan itu membicarakan situasi dan perkembangan politik menjelang Pemilu, termasuk berbagai kemungkinan setelah tanggal 9 Apri,l yang meliputi hasil pemilu legislatif, berbagai akibat hukum dan prospek calon presiden ke depan.

Pada bagian lain Mahfud tidak mengelak, panggilan KH. Nawawi ini erat kaitannya dengan kedatangan tamu-tamu tokoh nasional sebelum ini. “Ya, termasuk itu. Karena itu termasuk prospek ke depan. Tetapi, ada bagian-bagian yang tidak harus saya kemukakan kepada wartawan. Kepada Kiai Nawawi, saya ceritakan semua-nya; kemudian saya letakkan perspektif politiknya seperti apa, dan kira-kira aspirasi kaum Nahdliyin itu kemana seharusnya,“ bebernya.

Ditambahkan, ketika itu menjadi pembicaraan pula, tentang opsi pencapresan dirinya. Ini merupakan opsi yang pertama dan paling utama; sebagai capres, dan harus melalui satu partai yaitu PKB. “Kalau saat ini, opsinya memang masih banyak---masih ada tiga atau empat opsi. Dan Kiai Nawawi mengatakan jalani saja dulu dengan opsi-opsi tersebut,” kata Mahfud.

Rep : Muhammad Halwan / dbs

Tingkah Aneh Para Caleg Gagal : Minta Uang Kembali Hingga Gantung Diri





Jakarta (SI Online) - Seruan moral supaya para calon anggota DPR tidak menggunakan politik uang (money politics) dalam Pemilu 2014 lalu rupanya tak banyak didengar. Pun demikian dengan masyarakat, meski dikatakan baik yang menyuap maupun yang diberi suap sama-sama dilaknat Allah, mereka bergeming. Tetap saja suara mereka dijual dengan uang atau barang-barang lain.

Akibatnya, banyak peristiwa memilukan sebagai akibat langsung praktik haram ini. Sejumlah Caleg yang terlanjur memainkan politik uang, akhirnya menderita kekecewaan, memendam amarah dan stress. Mereka melakukan beragam ulah mulai dari mencuri kotak suara, memblokir perumahan bahkan hingga bunuh diri.

Usai pencoblosan, caleg dari PKS, Muhammad Taufiq (50) misalnya kecewa dan marah karena perolehan suaranya minim. Pria ini ditemani Asmad (50) tiba-tiba keluar dari rumah dan mendatangi TPS 2 Dusun Cekocek, Desa Bierem, Kecamatan Tambelangan, Kabupaten Sampang.

Saat itu, petugas baru saja merampungkan penghitungan suara. Tanpa permisi, Taufiq dan Asmad langsung mengambil paksa sebuah kotak suara di TPS tersebut.

"Merasa tidak puas dengan hasil perhitungan suara, kedua pelaku pergi ke TKP dan mengambil kotak suara secara paksa, kemudian dibawa ke rumah saudara Taufik," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Ronny F Sompie sambil menambahkan bahwa kedua pelaku kemudian diamankan Panwascam Tambelangan.

Ulah keterlaluan dilakukan caleg yang tidak lolos seleksi pemilu legislatif . Beberapa bantuan yang sempat diberikan ke masyarakat mereka tarik lagi. Di Tulungagung, Jawa Timur seorang caleg menarik kembali sumbangan material untuk pembangunan sebuah mushola, sementara di Kolaka, Sulawesi Tenggara sebuah mushola disegel.

Pembangunan mushola di RT 2 RT 2 Desa Majan, Kecamatan Kedung Waru, Tulungagung, bisa jadi akan terhambat. Pasalnya, material bantunan Haji Miftahul Huda, seorang caleg Partai Hanura ditarik kembali, gara-gara dia kecewa karena perolehan suaranya pada pemilu legislatif 9 April lalu di luar harapan.

Material berupa 2000 batu bata, 10 zak semen dan satu truk pasir memang diberikan Miftahul Huda untuk pembangunan mushola saat masa kampanye lalu melalui salah satu tim suksesnya. Namun Miftahul menarik kembali sumbangan ini, karena di tempat ini ia hanya memperoleh 29 suara di RT 2 RW 2 Desa Majan.

Penarikan bantuan gara-gara caleg gagal juga terjadi di Sulawesi Tenggara. Seorang kepala desa di Kabupaten Kolaka menyegel sebuah sekolah Taman Kanak Kanak dan Tempat Pendidikan Anak Usia Dini. Bahkan mengancam akan mengusir seluruh guru dan kepala sekolahnya setelah dua orang caleg titipan sang kades kalah di TPS dusun ini.

Menurut Kepala Sekolah TK, Darma, dua caleg titipan kades yakni dari Partai PKB dan PDIP gagal memperoleh cukup suara. Akibat penyegelan ini sebanyak 27 siswa TK terpaksa belajar di rumahnya masing-masing

Lain lagi dengan Witarsa, sehari pascapencoblosan lelaki ini dibawa anggota keluarganya ke sebuah padepokan di Desa Sinarancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Caleg dari Partai Demokrat untuk Dapil Jabar X ini mengalami stres akibat perolehan suaranya sangat minim, sehingga gagal menjadi anggota DPRD Jawa Barat. Padahal, modal yang dikeluarkannya sangat besar.

Ketika dibawa ke padepokan itu, Witarsa masih mengenakan seragam Partai Demokrat. Dia menjalani pengobatan di padepokan dengan cara dimandikan dulu, lantas dibacakan ayat-ayat suci Alquran.

Saat menjalani pengobatan dari Ustadz Ujang Bustomi Witarsa bahkan sempat menangis. Dia mengaku stres karena perolehan suara untuknya sangat minim. Padahal, modal yang dikeluarkan sangat besar. Ia mengaku pusing dengan tagihan utang sebesar Rp 300 juta.

Caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN), Anselmus Petrus Youw, nekat menutup jalan masuk Perumahan Satpol PP dengan balok kayu, karena warga setempat tidak memilih dirinya saat Pemilu 2014.

"Benar, Anselmus memblokir perumahan karena warga setempat tidak memilih dia," kata anggota Panitia Pengawas Pemilu Distrik Nabire, Micky sambil menambahkan bahwa mantan bupati Nabire itu merasa kecewa karena sudah memberikan tanahnya untuk pembangunan perumahan, namun warga setempat tidak mencoblosnya.

Bersama puluhan pendukungnya, dia menutup gapura masuk perumahan di Kampung Wadio, Kelurahan Bumi Wonorejo, Nabire, Papua. Mereka merusak pangkalan ojek dan kantor kepala desa. Massa juga sempat mengancam petugas TPS dan ketua RT setempat agar perolehan suara caleg yang didukungnya lebih banyak.

"Beberapa orang masuk rumah sakit," kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Sulistyo Pudjo. Warga setempat ketakutan. Mereka tak berani keluar rumah. Situasi mereda setelah aparat keamanan bersiaga di lokasi.

Gantung Diri

Nyaris terjadi pertumpahan darah di Kabupaten Bangkalan, tepatnya di Dusun Shebuh, Desa Tobadung, Kecamatan Klampis. Kejadian bermula ketika caleg NasDem, Abdul Azis, mengecek TPS 3 di Dusun Shebah. Gerak-gerik Aziz dicurigai oleh H Halim yang merupakan caleg dari Gerindra.

Perselisihan terjadi di antara kedua caleg tersebut. Halim mengeluarkan celurit yang dibawanya dan menantang duel Abdul Azis. "Namun dapat dipisahkan oleh Kapolsek, Kasat Narkoba, sehingga mereka bisa menahan diri dan didamaikan," kata Kadiv Humas Ronny F Sompie.

Tindakan nekat dan tragis bahkan dilakukan seorang ibu muda dengan inisial S yang gagal menjadi caleg PKB. Perempuan asal kota Banjar, Jawa Barat ini memilih bunuh diri saat dia tidak berhasil menjadi calon anggota dewan.

Wanita itu mencalonkan diri untuk Dapil I kota Banjar dengan nomor urut 8. Namun saat mengetahui dia gagal, depresi dan bisikan setan membuat S bunuh diri dan mayatnya ditemukan di sebuah saung bambu di Dusun Limusnunggal, Desa Bangunjaya, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Ciamis.

Di Banda Aceh, para caleg yang gagal bersembunyi di rumah ketua partai. Enam calon wakil rakyat lokal tak berani pulang ke rumah. Alasannya, mereka belum bisa membayar uang saksi yang diordernya menjaga TPS.

Salah satu caleg, Junaidi, mengaku kerap mendapat telepon dan menerima pesan singkat dari para saksi. Ia sebenarnya ingin melunasi honor saksi. Hanya saja, ia tidak punya uang. Apalagi, berdasarkan penghitungan suara internal, ia kalah. "Sekarang kami terpaksa harus menginap di rumah ketua partai."

Ketua DPD Partai Hanura Banda Aceh, Abdul Jabar mengaku belum mampu membayar honor saksi karena dana dari DPP Hanura belum dikirim. Hingga saat ini, dia berusaha mencari solusi atas kejadian ini dan berharap ada kucuran dana.

Membagi-bagikan uang dikira menjadi salah satu cara untuk menarik simpati dan itulah yang dilakukan salah satu caleg parpol (Y) di kota Bogor. Saat kampanye, Y meminta bantuan tim suksesnya yakni SB untuk memberikan ratusan buku tabungan di Kampung Muara, Kelurahan Pasirjaya, Kecamatan Bogor Barat senilai Rp50 ribu setiap buku.

Saat itu Y sangat pede bisa meraih suara. Nyatanya, ketika pemilu usai dan suara dihitung, dari total DPT yang ada 900 suara, Y hanya meraih di bawah 10 suara. Mungkin Y akhirnya menyadari apa arti pemberi harapan palsu (PHP). Dia kemudian menarik lagi buku tabungan yang sempat dibagi-bagikan itu.

Tekanan saat gagal menjadi caleg memang besar, apalagi jika mengingat besarnya uang yang harus dikeluarkan dan bingung untuk membayarnya. Banyak yang terkena stress berat seperti dialami caleg dari Tangerang ini.

Pria dari Dapil Tangerang berusia 40 tahun langsung marah-marah saat tahu bahwa dia kalah dalam pemilu. Bahkan sore harinya usai pencoblosan, dia langsung stress dan merangkak di pinggir jalan sambil membawa cangkir meminta uang kepada setiap orang yang lewat. Kalimat yang diucapkannya: "Kembalikan uang saya."

Caleg non anggota legislatif memang rentan mengalami depresi pasca Pemilu 2014. Sebab hampir seluruh biaya kampanye sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Pemilu Nomor 8 tahun 2012, dibebankan pada caleg yang maju.

Menurut anggota Komisi IX DPR Poempida Hidayatulloh, fenomena caleg stress karena gagal menjadi anggota dewan akan ditanggung oleh negara sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.

Menjadi anggota dewan ternyata menjadi impian banyak orang dan mereka rela berkorban apapun untuk mewujudkan mimpi itu. Suap menyuap mereka lakukan. Sayangnya, mereka siap menang tetapi tidak siap kalah. Maka stress-lah yang didapat.