Senin, 12 Januari 2015

Alasan Tidak Mengamalkan Agama


Ada orang kaya mengadu pada Allah tidak bisa mengamalkan agama dengan alasan karena disibukkan oleh kekayaannya. Lalu Allah berkata, “HambaKu Sulaiman AS lebih kaya dan lebih sibuk dari kamu, tetapi kekayaan dan kesibukkannya tidak membuat dia lalai dari perintahKu.”

Ada orang sakit yang mengadu pada Allah tidak dapat mengamalkan agama dengan alasan karena kesehatannya tidak memungkinkan. Lalu Allah berkata, “HambaKu Nabi Ayub AS lebih sakit darimu dan lebih parah penyakitnya dibandingkan dirimu tetapi penyakitnya tidak melalaikannya dari mengingatKu.”

Ada orang yang semasa hidupnya menjadi budak (bahasa modernnya pembantu atau karyawan ) mengadu kepada Allah tidak dapat mengamalkan agama karena tidak bebas melakukan sesuatu. Lalu Allah berfirman, “Hambaku Yusuf AS juga pernah menjadi budak, namun keadaannya tidak melalaikan dia dari beribadah kepadaKu.”

Ada orang yang mengadu kepada Allah tidak dapat mengamalkan agama dengan alasan karena kemiskinannya. Lalu Allah Ta’ala berfirman, “Hambaku Isa AS lebih miskin darimu dan lebih susah kehidupannya, tetapi kemiskinan dan kesusahan yang dialaminya tidak melalaikannya dari beribadah kepadaKu.”

Mau lari kemana kita ini?
Lari kpd Allah …

Kekayaan bukanlah kemuliaan
Kemiskinan bukanlah kehinaan
Namun itu semua hanyalah satu ujian

Orang yang merasa mulia dengan harta adalah orang yang rusak iman nya

Orang yang merasa hina dengan kemiskinan juga orang yang rusak iman nya

Kemuliaan hanya dalam ketaqwaan.
Siapa yang bertaqwa dia mulia
Siapa yang tidak bertaqwa dia hina

DAKWAH UNTUK DIRI KITA


Begitu dalam diri sebagian manusia terdapat suatu penyakit, yaitu orang yang memberi nasihat agama, ceramah, tulisan, ta’lim atau tabligh kepada orang lain, maka yang terpikir olehnya adalah orang lain, sedangkan dirinya sendiri terlupakan.
Padahal, meskipun bertabligh kepada orang lain itu sangat penting, tetapi yang lebih penting adalah memperbaiki diri sendiri. Banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa Nabi saw. memberi peringatan keras kepada orang yang menasihati orang lain, tetapi ia sendiri melakukan kemaksiatan.
Pada malam Isra Mi’raj, Rasulullah saw. melihat sekelompok manusia yang bibirnya digunting-gunting dengan gunting api yang membara. Beliau bertanya, “Siapakah orang-orang itu?” Jibril a.s. menjawab, “Mereka adalah para mubaligh dari umatmu yang tidak mengamalkan apa yang mereka dakwahkan.” (Misykat).
Sebuah hadits lain menyebutkan, “Sebagian ahli surga akan mendatangi sebagian ahli neraka dan bertanya, “Mengapa kalian berada di neraka, padahal kami telah mengikuti ajaran-ajaranmu, sehingga kami berada di surga?” Jawab mereka, “Karena kami tidak mengamalkan apa yang kami sampaikan kepada orang lain.”
Hadits lain berbunyi, “Adzab Allah akan lebih cepat diturunkan ke atas ulama yang jahat.” Mereka sangat terkejut dan bertanya, “Mengapa adzab Allah lebih dahulu menimpa kami daripada menimpa para penyembah berhala?” Dijawab, “Orang-orang berilmu yang berbuat maksiat tidak mungkin disamakan dengan orang yang tidak berilmu yang berbuat maksiat.”
Alim ulama yang mukhlis menulis bahwa nasihat-nasihat agama yang tidak diamalkan oleh orang yang memberikan nasihat tidak akan memberi manfaat kepada orang lain. Itulah sebabnya walaupun pada zaman ini setiap hari ada bermacam-macam nasihat, ceramah, majelis ta’lim, dan tulisan-tulisan, semuanya kurang berpengaruh terhadap amalan para pendengar dan pembacanya.
Allah swt. sendiri telah berfirman di dalam Al-Quran:
“Apakah kamu menyuruh manusia agar berbuat kebaikan sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab. Maka tidakkah kamu berpikir?” (Q.s. Al-Baqarah: 44).
Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak dapat bergeser kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sehingga ia ditanya empat perkara: Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan? Tentang masa mudanya, untuk apa ia gunakan? Tentang hartanya, dari mana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan? Dan tentang ilmunya, apakah ia mengamalkannya.” (Bazzar, Thabrani – At-Targhib).
Abu Darda r.a., seorang sahabat yang terkenal, berkata, “Yang paling aku takuti ialah pertanyaan yang akan ditanyakan kepadaku pada hari Kiamat di depan seluruh manusia, yaitu: Apakah kamu telah mengamalkan ilmu-ilmu yang kamu miliki?”
Seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw., “Siapakah makhluk yang paling buruk?” Beliau menjawab, “Jangan bertanya kepadaku mengenai hal-hal buruk, bertanyalah mengenai yang baik. Makhluk yang paling buruk adalah ulama yang jahat.”
Dalam sabda beliau lainnya, “Ilmu itu ada dua macam, pertama ilmu yang hanya ada dalam ucapan, ini pembungkam Allah (terhadap pemiliknya) dan akan menuntut ulama tersebut.
Kedua, ilmu yang memberi kesan di dalam hati, yang akan memberi manfaat.” Maksudnya, seseorang dalam menuntut ilmu agama hendaknya tidak hanya yang bersangkutan dengan masalah lahiriyah, tetapi juga ruhaniyah, supaya berkesan di dalam hati. Kalau ilmu tidak berkesan di hati, maka Allah swt. akan menuntut pada hari Kiamat, “Apakah kamu mengamalkan ilmu yang kamu miliki?”
Masih banyak hadits lain yang menyebutkan betapa keras ancaman Allah. Oleh sebab itu, saya memohon kepada para penceramah dan mubaligh agar terlebih dahulu memperbaiki diri sendiri, baik secara lahir maupun batin, dan mengamalkan apa yang telah disampaikan kepada orang lain. Jika hanya menyampaikan tetapi tidak mengamalkan, maka akan masuk dalam golongan orang-orang yang mendapat ancaman-ancaman tersebut.

Saya berdoa kepada Allah, semoga Allah mengaruniakan kepada saya taufiq untuk memperbaiki diri saya lahir dan batin, serta dapat mengamalkan a