Sabtu, 21 Februari 2015

Pantun Jenaka

Loncat Kepiring 
Ikan gabus di rawa-rawa
Ikan belut nyangkut di jaring
Perutku sakit menahan tawa
Gigi palsu loncat ke piring  


Dicontreng 
Masak rempah harus dikukus
Nasi goreng pakailah saos
Jikalau nikah dengan politikus

Cuma dicontreng tiada dicoblos 

Mau Kawin 
Boleh seberang ketengah pulau
Kapal bercadik terbawa angin
Hati bimbang ditanah rantau
Mendengar adik mau kawin


Burung Dara 
Burung dara pakai rok mini
Kuda belang memakai jengki
Sudah lama duduk menanti
Belum juga keluar kopi
 

Dibalik BH 
Ada apa dibalik meja
Kucing makan si ikan peda
Ada apa dibalik beha
Gunung emas terpisah dua

Kain Batik 
Apa guna berkain batik
Kalau tidak pakai kebaya
Apa guna beristri cantik
Kalau hatinya bercabang dua
 

Humor Belaka 
Pantun ini humor belaka
Untuk sekedar pelipur lara
Jika ada kata yang salah
Baik maafkan dengan segera



Baginda Harun Ar--Rosyid menginginkan Mahkota Surga


Baginda Minta Mahkota dari Sorga - Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak. Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah.


Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ. Ia bertanya kepada ulama itu. "Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?"

Ulama itu berpikir sejenak kemudian Ia berkata, "Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. Ia juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. Ia merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilingi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"

Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking indahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya.

Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana. Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: 

"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu.
"Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu. "Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat.
 
Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat terlebih dahulu." Mendengar penjelasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam. Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,
 
"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya. 

Abu Nawas dan Raja Harun Ar-Rosyid


Menipu Raja Harun Al Rasyid - Baginda Raja pulang ke istana dan langsung memerintahkan para prajuritnya menangkap Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas telah hilang entah kemana karena ia tahu sedang diburu para prajurit kerajaan. Dan setelah ia tahu para prajurit kerajaan sudah meninggalkan rumahnya, Abu Nawas baru berani pulang ke rumah.

“Suamiku, para prajurit kerajaan tadi pagi mencarimu.”
“Ya istriku, ini urusan gawat. Aku baru saja menjual Sultan Harun Al Rasyid menjadi budak.”
“Apa?”
“Raja kujadikan budak!”
“Kenapa kau lakukan itu suamiku.”
“Supaya dia tahu di negerinya ada praktek jual beli budak. Dan jadi budak itu sengsara.”
“Sebenarnya maksudmu baik, tapi Baginda pasti marah. Buktinya para prajurit diperintahkan untuk menangkapmu.”
“Menurutmu apa yang akan dilakukan Sultan Harun Al Rasyid kepadaku.”
“Pasti kau akan dihukum berat.”
“Gawat, aku akan mengerahkan ilmu yang kusimpan,”
Abu Nawas masuk ke dalam, ia mengambil air wudhu lalu mendirikan shalat dua rakaat. Lalu berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila Baginda datang.
Tidak berapa lama kemudian tetangga Abu Nawas geger, karena istri Abu Nawas menjerit-jerit.
“Ada apa?” tanya tetangga Abu Nawas sambil tergopoh-gopoh.
“Huuuuuu …. suamiku mati….!”
“Hah! Abu Nawas mati?”
“lyaaaa….!”

Kini kabar kematian Abu Nawas tersebar ke seluruh pelosok negeri. Baginda terkejut. Kemarahan dan kegeraman beliau agak susut mengingat Abu Nawas adalah orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur Baginda Raja.

Baginda Raja beserta beberapa pengawai beserta seorang tabib (dokter) istana, segera menuju rumah Abu Nawas. Tabib segera memeriksa Abu Nawas. Sesaat kemudian ia memberi laporan kepada Baginda bahwa Abu Nawas memang telah mati beberapa jam yang lalu.

Setelah melihat sendiri tubuh Abu Nawas terbujur kaku tak berdaya, Baginda Raja merasa terharu dan meneteskan air mata. Beliau bertanya kepada istri Abu Nawas.

“Adakah pesan terakhir Abu Nawas untukku?”
“Ada Paduka yang mulia.” kata istri Abu Nawas sambil menangis.
“Katakanlah.” kata Baginda Raja.
“Suami hamba, Abu Nawas, memohon sudilah kiranya Baginda Raja mengampuni semua kesalahannya dunia akhirat di depan rakyat.” kata istri Abu Nawas terbata-bata.
“Baiklah kalau itu permintaan Abu Nawas.” kata Baginda Raja menyanggupi.

Jenazah Abu Nawas diusung di atas keranda. Kemudian Baginda Raja mengumpulkan rakyatnya di tanah lapang. Beliau berkata, “Wahai rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini aku, Sultan Harun Al Rasyid telah memaafkan segala kesalahan Abu Nawas yang telah diperbuat terhadap diriku dari dunia hingga akhirat. Dan kalianlah sebagai saksinya.”
Tiba-tiba dari dalam keranda yang terbungkus kain hijau terdengar suara keras, “Syukuuuuuuuur …… !”

Seketika pengusung jenazah ketakukan, apalagi melihat Abu Nawas bangkit berdiri seperti mayat hidup. Seketika rakyat yang berkumpul lari tunggang langgang, bertubrukan dan banyak yang jatuh terkilir. Abu Nawas sendiri segera berjalan ke hadapan Baginda. Pakaiannya yang putih-putih bikin Baginda keder juga.
“Kau… kau…. sebenarnya mayat hidup atau memang kau hidup lagi?” tanya Baginda dengan gemetar.

“Hamba masih hidup Tuanku. Hamba mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pengampunan Tuanku.”
“Jadi kau masih hidup?”
“Ya, Baginda. Segar bugar, buktinya kini hamba merasa lapar dan ingin segera pulang.”
“Kurang ajar! Ilmu apa yang kau pakai Abu Nawas?
“Ilmu dari mahaguru sufi guru hamba yang sudah meninggal dunia…”
“Ajarkan ilmu itu kepadaku…”
“Tidak mungkin Baginda. Hanya guru hamba yang mampu melakukannya. Hamba tidak bisa mengajarkannya sendiri.”
“Dasar pelit !” Baginda menggerutu kecewa.