Sabtu, 05 Oktober 2013

5 T Untuk Para Muslimah

muslimah(2) 
Oleh: Adi Permana Sidik*
Perkembangan berpakaian busana muslim seperti kerudung atau jilbab belakangan ini di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya cukup menggembirakan. Dari hari ke hari wanita secara sadar mengganti pakaiannya yang “terbuka” dengan pakaian yang tertutup atau busana muslim. Pada bagian ini, kita tentunya patut bersyukur dengan perkembangan ini. Namun, pada bagian yang lainnya juga kita sebagai umat islam masih tetap harus waspada dan hati-hati, karena ternyata perkembangan kesadaran berbusana muslim juga tidak diimbangi oleh pemahaman yang kaffah berbasiskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ada yang memakaki kerudung tapi auratnya tidak tertutup semua. Ada yang memakai kerudung tapi ketat. Ada yang memakai kerudung tapi masih transparan. Dan ada yang memakai kerudung tapi dandanannya berlebihan. Seperti apa sebenarnya prinsip dan batasan menggunakan pakaian dalam islam?
Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub MA, kriteria berpakaian untuk muslimah menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah ada empat, yang ia sebut dengan 5 T.
T satu (1) yaitu, Tutup Aurat. Artinya pakaian itu harus menutup aurat. Aurat yang dimaksud, menurut banyak ulama, berpendapat adalah seluruh tubuh wanita, kecuali wajah dan telapak tangan. Dalilnya coba dibaca aja surat ke 24 (An-Nuur) ayat 31 dan surat ke 33 (Al-Ahzab) ayat ke 59.
T dua (2) yaitu, Tidak Transparan. Misalnya seorang wanita memakai kerudung, rok, atau gamis, tapi bahannya transparan sehingga anggota atau kulit tubuhnya seperti rambut, atau kakinya masih terlihat oleh orang lain. Ini jelas tidak dibenarkan. Untuk lebih mudah lagi dengan menganalogikan pakaian transparan itu seperti orang yang beli kue yang dibungkus dengan plastik putih transparan, sehingga walaupun sudah dibungkus oleh plastik, tapi kue masih terlihat oleh orang lain.
T tiga (3) yaitu Tidak Ketat. Untuk pakaian yang ketat ini, kita bisa menganalogikan dengan melihat makanan lontong, lemper, atau kalau orang Sunda mengenalnya dengan leupeut. Berpakaian tapi lekuk tubuhnya masih terlihat. Seperi pake jeans atau legging.
T empat (4) yaitu Tidak Menyerupai Pakaian Lawan Jenis. Untuk yang satu ini rasanya tinggal baca aja haditsnya yang sudah sangat jelas sekali. Ibnu Abbas ra dia berkata: ‘Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melaknat kaum laki-laki yang berpenampilan seperti wanita dan wanita yang berpenampilan laki-laki,’ (HR. Bukhari).
T lima (5) sebagai prinsip terakhir ini adalah Tidak berlebihan. Secara umum, apa-apa yang berlebihan biasanya tidak disukai oleh Allah SWT, termasuk dalam hal berpakaian juga. Firnan Allah SWT dalam Al Qur’anul Karim: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya…(QS Al Ahzab:33)
Nah, 5 T untuk kriteria berpakaian muslimah ini sebenarnya tidak hanya berlaku kepada cewek saja tapi juga kepada cowok. Bedanya hanya di T satu yaitu tutup aurat, karena aurat cewek dan aurat cowok itu berbeda. Menurut jumhur ulama, aurat cowok itu dari pusar sampai lutut. Paha termasuk juga aurat.
Sudah jelas kan brother bagaimana prinsip-prinsip seorang muslim dan muslimah berpakaian. Mudah-mudahan kita semua bisa melaksanakan seluruh perintah Allah dan Rosul-Nya termasuk dalam hal berpakaian ini serta juga dapat menjauhi segala larangan-Nya. Jika kita sudah melakukan itu semua, dengan izin Allah, dengan cara apapun mereka akan menghancurkan kemulian agama ini, maka dengan cara apapaun juga Allah akan menggagalkannya. Wallahu’alam bis showab.

Fakta dan Keserasian Penggunaan Kata dalam al-Qur’an

null
Oleh: Rahmat Hidayat Zakaria
TIDAK ada suatu bacaan (kitab suci) yang dibaca oleh ratusan juta orang, yang faham maksudnya maupun tidak, serta bacaan yang dihafal oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak, huruf demi huruf, dari awal sampai akhir kecuali al-Qur’an.
 Tidak ada suatu bacaan yang dibahas dengan menggunakan pelbagai disiplin ilmu, serta bacaan yang terpadu dalam keindahan bahasa, ketelitian dan keseimbangannya, terpadu kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan dalam memahaminya serta kehebatan kesan dan pesan yang ditimbulkannya kecuali al-Qur’an.
Juga tidak ada suatu bacaan yang dihitung, bukan hanya ayat-ayatnya akan tetapi huruf-hurufnya juga. Tidak ada suatu bacaan sebanyak kosakata al-Qur’an yang berjumlah 77.439 kata, dengan jumlah huruf 323.015, huruf yang seimbang dengan kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya kecuali al-Qur’an. ” (M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 2000, 3-5)
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbukti tidak akan pernah lekang dimakan oleh zaman. Setelah diturunkan 1400-an tahun yang lalu, tidak satupun redaksinya berubah, semuanya sama persis seperti aslinya. Bahkan al-Qur’an yang beredar sekarang isinya pun sama seperti pembukuan al-Qur’an pada zaman khalifah Utsman bin Affan. Al-Qur’an adalah kitab yang penuh dengan keajaiban, termasuk informasi-informasi yang menakjubkan tentang ilmu pengetahuan.
Di antara banyak kemukjizatan al-Qur’an yang dapat menjadi bukti kebenarannya adalah aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Di samping itu juga, keserasian jumlah kata-katanya yang dapat dijadikan sebagai keotentikan al-Qur’an. Jadi, segala usaha yang dilakukan oleh siapa saja yang hendak memalsukan al-Qur’an sangat mudah diketahui, ketika kata-katanya tidak menunjukkan keserasian sama sekali. Oleh karena itu, keserasian kata yang digunakan oleh al-Qur’an, memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi manusia bahwa hidup ini memerlukan keseimbangan.
Keserasian kata al-Qur’an dapat dilihat pada keseimbangan antara jumlah bilangan kata, jumlah kata yang menunjukkan akibat, menunjukkan sinonim dan antonimnya. Masing-masing kata mempunyai pasangannya tersendiri. Penentuan dan peletakan kata ditempatkan pada tempatnya yang tepat. Tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Fakta  Menakjubkan
Berikut ini penulis akan menjelaskan, bagaimana keserasian kata dan fakta yang menakjubkan dari al-Qur’an:
  1. Kata Malaikat terulang sama seperti kata Syaitan sebanyak 88 kali. begitu juga dengan kata yang menunjuk utusan Allah SWT, baik itu Rasul, atau Nabi, atau Basyir (pembawa berita gembira), maupun Nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini sama dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yaitu sebanyak 518 kali.
  2. Kata al-hayah (kehidupan) terulang sama seperti kata antonimnya yaitu al-mawt (kematian), sebanyak 145 kali.
  3. Kata akhirat terulang sama seperti kata dunia sebanyak 115 kali.
  4. Kekufuran terulang sama seperti keimanan, sebanyak 25 kali.
  5. Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit ada “tujuh”. Penjelasan ini diulangi juga sebanyak tujuh kali, yaitu di dalam surat al-Baqarah: 29, al-Isra’: 44, al-Mu’minun: 86, Fushshilat: 12, al-Thalaq: 12, al-Mulk: 3, dan Nuh: 15.
  6. Kata dingin (al-bard) dan panas (al-harr) masing-masing terulang sebanyak 4 kali.
  7. Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan), masing-masing 73 kali. Pun sebaliknya, kata bukhl (kikir) sama dengan akibatnya yaitu hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali.
8.        Kata yaum (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sementara kata hari yang berbentuk plural (ayyaam) atau dua (yaumaini), jumlah keseluruhannya hanya 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Begitu juga dengan kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun (untuk maklumat lebih detailnya, (silakan lihat Abdurrazaq Naufal, al-I‘jaz al-‘Adadi li Al-Qur’an al-Karim, 1987, ed.V).
9.        Seringkali di dalam al-Qur’an ditemukan kata syams (matahari) yang selalu digandengkan dengan kata dhiya’ (sinar atau cahaya), dan qamar (bulan) digandengkan dengan kata nur (cahaya), lihat QS Yunus [10]: 5. Arti keduanya walaupun mempunyai kesamaan, akan tetapi pada hakikatnya keduanya berbeda. Kata dhiya’ yang digandengkan dengan matahari, sebab matahari mempunyai atau cahayanya berasal dari dirinya sendiri. Sementara nur yang digandengkan dengan qamar (bulan), dikarenakan cahaya bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari, (lihat Tafsir al-Baydhawi (w.951 H), 1998, v.1, 185). Fenomena saintifik seperti ini telah dibuktikan oleh al-Qur’an selama ribuan tahun yang lalu, bahkan sebelum manusia mengenal teknologi yang canggih seperti sekarang sekalipun.
10.      Seringkali ditemukan di dalam al-Qur’an kata zulumat (kegelapan) menggunakan bentuk jamak (plural), sedangkan antonim dari kegelapan yaitu nur (cahaya/kebenaran) menggunakan bentuk tunggal (diantara ayat yang menyatakan demikian, lihat QS al-Ahzab: 43; al-Hadid, 9). Kata zulumat (kegelapan) digunakan dalam bentuk jamak (plural), sebab sumber kegelapan itu bermacam-macam, boleh jadi berasal dari kebodohan, kesesatan, kekufuran, kebatilan, hawa nafsu, kesalahan, dosa dan lain sebagainya. Sedangkan nur menggunakan bentuk tunggal, dikarenakan sumber cahaya/ kebenaran, hanya berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah SWT (lihat tafsir Ibn Kathir (w.774 H), 1999, v.6, 426; v.8, 10-11)
11.      Seringkali ditemukan di dalam al-Qur’an, ketika Allah SWT menggunakan kata ja’ala (menjadikan), pasti di dalamnya terkandung banyak sekali manfaat bagi manusia dan seluruh makhluk-Nya yang ada di muka bumi ini. Seperti firman Allah SWT, ”Allah menjadikan bumi sebagai hamparan (mihada)” (QS al-Naba’ [78]: 6).
Manfaat dari bumi yang dihamparkan diantaranya adalah Allah menjadikan bumi sebagai tempat yang siap untuk dipakai, untuk dihuni, dihamparkan seluas-luasnya dan teratur. Dan pula, bumi dijadikan tempat untuk istirahat dan tempat tidur. “Gunung-gunung sebagai pasak (awtada)” (QS al-Naba’: 7). Manfaat dari gunung dijadikan sebagai pasak di antaranya adalah untuk menahan bumi supaya menjadi kokoh. Gunung juga mempunyai fungsi penting dalam menjaga kestabilan kerak bumi, dan dapat mencegah goyahnya tanah. “Allah menjadikan tidurmu untuk istirahat” (QS al-Naba’: 9). Manfaat dari tidur di antaranya adalah dapat mengembalikan kondisi fisik dan metabolisme yang terjadi selama beraktifitas.
Pada saat tidur, sel otak akan mengalami proses penguatan dan ingatannya akan menjadi bertambah kuat. Fisik akan menjadi fresh dan penat akan hilang. “Dan siang dijadikan untuk mencari penghidupan” (QS al-Naba’: 11). Maksudnya pada siang hari manusia dapat mencari rejeki atau nafkah baik berupa makanan, minuman maupun uang dll.
12.      Begitu juga di tempat yang lain dalam surat al-Rum [30]: 21, Allah SWT berfirman, “Dijadikan-Nya diantaramu (suami dan istri) rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah).” Ayat ini mengindikasikan bahwa manfaat dari sebuah pernikahan adalah dapat menumbuhkan kedekatan hati, cinta dan kasih sayang antara suami dan istri. Dapat merasakan kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman. Pernikahan juga dapat memperbanyak jumlah kaum Muslimin berupa keturunan (Imam al-Qurthubi (w.671 H), Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, 1964, v.16, 300). Di antara manfaat dari sebuah pernikahan juga adalah dapat menjaga nasab, menundukkkan pandangan keduanya, menjaga kemaluan, dan lain sebagainya.
Demikianlah segelintir contoh yang telah dinyatakan oleh Al-Qur’an. Setelah mengetahui  keserasian, keseimbangan dan penggunaan kata serta fakta-fakta yang terdapat di dalamnya, tentu semuanya bukan merupakan sesuatu yang kebetulan.
Penggunaan kata di dalam al-Qur’an mempunyai intelegensia di luar nalar dan jangkauan manusia. Mustahil bagi Nabi Muhammad SAW mengetahui informasi-informasi tersebut dengan sendirinya, tanpa ada petunjuk dari Allah SWT.
Maka tidaklah heran kalau Al-Qur’an menantang siapa saja yang meragukan kebenarannya. Apalagi hanya sekadar merespon statemen-statemen murahan yang menyatakan Al-Qur’an adalah karangan manusia, hasil dari produk budaya dan menyatakan bahwa ia sama seperti teks-teks biasa lainnya.
Melalui penjelasan di atas tadi, setidaknya al-Qur’an telah mengajarkan kita bahwa kata, konsep dan istilah harus digunakan dan ditempatkan pada tempatnya yang tepat. Jika tidak, kesalahan dalam penempatan kata, konsep maupun istilah, akan berakibat fatal. Karena, dari sanalah kerancuan dan kekeliruan akan muncul, sehingga jauh dari tujuan yang sebenar. Wallahu a’lam bish-shawab*
Penulis Mahasiswa di Centre For Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM)

Keutamaan Menyebarkan As-Salamu ‘Alaikum

Sebagai ajaran Rabbani Islam memang lengkap dan sempurna. Islam mengatur segenap urusan kehidupan manusia dari perkara yang paling kecil hingga perkara yang paling besar. Dari urusan yang bersifat individual hingga urusan sosial.
Salah satu tuntunan Islam ialah perkara bertegur sapa antara seorang beriman dengan Muslim lainnya. Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mencontohkan bahwa bila seorang Muslim berjumpa dengan Muslim lainnya, maka hendaklah ia mengucapkan sapaan khas Islam yaitu As-Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh, artinya Salam damai untukmu dan semoga Rahmat dan Keberkahan Allah menyertaimu. Subhanallah...! Begitu indahnya tegur-sapa yang diajarkan agama Allah kepada hamba-hambaNya yang beriman.
Bahkan dalam suatu kesempatan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan tindakan mengucapkan salam sebagai bentuk ajaran Islam yang lebih baik. Menebar salam disetarakan dengan memberi makanan kepada orang yang dalam kesusahan.
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ
 تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Manakah ajaran Islam yang lebih baik?” Rasul shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Hendaklah engkau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak.” (HR Bukhary)

Dalam hadits yang lain Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan korelasi antara mengucapkan salam dengan saling mencinta antara satu Muslim dengan Muslim lainnya. Kemudian korelasi antara saling mencinta dengan keimanan. Kemudian akhirnya korelasi antara beriman dengan izin dari Allah untuk masuk surga, negeri keabadian yang penuh dengan kesenangan abadi.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا
 أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
Berkata Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman. Kalian tidak beriman secara sempurna sehingga kalian saling mencinta. Maukah kalian aku tunjukkan suatu perkara bila kalian lakukan akan saling mencinta? Biasakanlah mengucapkan salam di antara kalian (apabila berjumpa).” (HR Muslim)
Dengan kata lain Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ingin menjelaskan bahwa kumpulan Muslim yang tidak suka saling menebar salam maka tidak akan saling mencinta. Bila atmosfir saling mencinta tidak ada, maka keimanannya diragukan keberadaannya. Dan jika keimanannya diragukan, maka kemungkinan masuk surga-pun menjadi kecil.
Saudaraku, marilah kita berlomba untuk masuk surga dengan jalan senantiasa menebar salam satu sama lain di antara sesama kaum muslimin. Sungguh sederhana, namun sebagian kita enggan melakukannya. Padahal akibat yang ditimbulkannya menjadi idaman setiap Muslim: Masuk surga…! Bukankah ini bentuk kompetisi satu-satunya yang dibenarkan Allah untuk diperebutkan di antara sesama Muslim?
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
 السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (QS Ali Imran ayat 133)

Ya Allah, aku mohon kepadaMu akan RidhaMu dan SurgaMu dan aku berlindung kepadaMu dari MurkaMu dan NerakaMu.

Saatnya Menjadi Muslim Paling Utama!

null
ilustrasi
Jadilah Muslim paling utama
SEJUJURNYA, setiap jiwa menghendaki sesuatu yang paling utama. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin menikah, tentu ia akan mencari calon yang paling baik untuk menjadi pendamping hidupnya. Hal ini wajar dan manusiawi, asalkan semua itu tetap dalam rangka kesempurnaan iman, bukan hawa nafsu.
Hal serupa juga bisa kita temui dalam dunia olahraga, katakanlah sepakbola. Semua tim, tentu ingin menjadi juara, dan setiap pemain ingin menjadi yang terbaik. Ini adalah fitrah manusia. Selalu ingin menjadi yang terbaik.
Nah, sebagai Mukmin kita juga mesti memiliki motivasi dan semangat tinggi untuk menjadi yang terbaik, tidak saja dalam hal profesi atau pun keahlian dan pendidikan, tetapi dalam konteks yang lebih mendasar, yakni dalam hal keimanan, sehingga kita berkesempatan besar meraih titel terbaik sebagai Mukmin yang paling utama.
Sama dengan proses dan penilaian serta penetapan kriteria dalam setiap pemilihan dan penentuan yang terbaik, menjadi Mukmin yang paling utama pun juga demikian. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibn Amr.
“Orang Mukmin yang paling utama keislamannya adalah mana orang-orang Muslim selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya dari orang-orang Muslim lainnya; orang Mukmin yang paling utama keimanannya adlah orang yang paling baik di antara mereka perangainya; orang berhijrah yang paling utama adalah mereka yang berhijrah dari segala sesuatu yang dilarang Allah Ta’ala; dan jihad yang paling utama ialah orang yang berjihad (mengendalikan) nafsunya dalam Dzat Allah.” (HR. Thabrani).
Artinya untuk menjadi Mukmin yang paling utama kita tidak perlu ikut sebuah kompetisi atau pun ajang penampilan apa pun, tetapi cukup dengan fokus menempa diri menjadi Muslim yang tangan dan lidahnya tidak menyakiti orang lain. Baik perangainya dan lebih sering mengevaluasi diri sendiri ketimbang membeberkan keburukan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan syariat.
Untuk mencapai derajat tersebut, di dalam Al-Qur’an juga diuraikan secara gamblang tentang bagaimana sifat-sifat Mukmin yang utama itu. Bagaimana kebiasaan mereka dalam siang dan malam, apa yang paling sering mereka mohon dari Allah Ta’ala, serta bagaimana mereka membelanjakan hartanya.
Raihlah Sifat-Sifat Hamba Allah
Dari hadits tersebut dapat ditarik beberapa poin bahwa, untuk menjadi Mukmin yang paling utama kita harus benar-benar menjaga lisan dan tangan, kemudian benar-benar menjaga akhlak, berhijrah dan berjihad.
Secara spesifik sifat Mukmin yang utama itu Allah Ta’ala uraikan dalam Surah Al-Furqan ayat 63 hingga ayat 67.
Pertama, Mukmin yang utama itu memiliki sifat rendah hati alias tidak sombong, sehingga lisan dan tangannya tidak mungkin akan berbuat jahat.
خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَاماً
Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati,” (QS. 25: 63).
Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud adalah orang Mukmin yang hidup dengan ketentraman dan kewibawaan, tanpa otoriter dan kesombongan, seperti Allah tegaskan dalam Surah Luqman ayat 18, “Dan janganlah kamu berjalan di  muka bumi dengan angkuh.”
Kedua, tidak mengatakan apa pun, bahkan terhadap orang bodoh sekali pun selain kebaikan (keselamatan.
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا
“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. 25: 63).
Artinya, hamba Allah itu apabila mendapat umpatan, cacian, hinaan dan makian selalu segera membuka pintu maaf lalu membiarkannya. Bahkan enggan untuk terprovokasi lalu membalas ucapan buruk itu dengan keburukan yang sama. Justru balasan yang diberikan adalah perkataan yang baik.
Ketiga, senantiasa bangun di tengah malam.
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka” (QS. 25: 64). Mukmin yang paling utama itu senantiasa bangun di malam hari untuk bersujud, taubat, dan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.
Bahkan dalam ayat yang lain Allah tegaskan,
كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampunan.” (QS. 51: 17-18).
Keempat, senantiasa memohon kepada Allah agar dijauhkan dari adzab neraka Jahannam. “Dan orang-orang ang berkata;
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَاماً
“Ya Rabb kami, jauhkanlah adzab Jahannam dari kami, sesungguhnya adzab-Nya itu adalah kebinasaan yang kekal.” (QS. 25: 65).
Artinya, Mukmin yang paling utama itu memiliki sifat sangat hati-hati dalam kehidupannya, jangan sampai apa yang diucapkan dan dilakukan justru menjerumuskannya pada siksa api neraka Jahannam. Jadi, ada kewaspadaan tingkat tinggi agar tetap dalam iman dan Islam.
Kelima, senantiasa berinfak di jalan Allah dengan prinsip pertengahan, yakni tidak terlalu sering atau banyak namun juga tidak terlalu jarang atau sedikit. “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir” (QS. 25: 67).
Menurut Ibn Katsir yakni tidak terlalu boros dalam mengeluarkan infak, melainkan selalu diatur sesuai kebutuhan, tidak membiarkan keluarga mereka, menurunkan hak-hak keluarga mereka, mereka berlaku adil dan baik, dan sebaik-baik perkara adalah pertengahan, tidak boros (berlebihan) dan tidak kikir (kurang).
Namun demikian Hasan Al-Bashri berkata, “Tidak ada istilah berlebihan dalam berinfak di jalan Allah.” Sementara itu Iyas bin Mu’awiyah berkata; “Apa yang dibolehkan dalam (melaksanakan) perintah Allah Ta’ala adalah berlebihan (dalam infak).” Sebaliknya, istilah berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta menurut Ibn Katsir hanya ketika seseorang bermaksiat kepada Allah Ta’ala.
Dengan kelima sifat-sifat hamba Allah tadi, tentu tidak ada waktu lagi bagi seorang Muslim dalam 24 jam untuk berpikir, apalagi berniat dan berencana lalu berbuat zalim. Berkata tidak penting (buruk), berbuat kejam, aniaya dan zalim, lebih-lebih memelihara kebodohan dan kesombongan.
Sungguh detik demi detik yang dilaluinya akan digunakan sepenuhnya untuk bagaimana bisa sukses menjadi Mukmin yang paling utama di sisi-Nya. Karena tidak ada perkara yang paling penting daripada menjadi Mukmin yang paling utama di sisi-Nya.*/Imam Nawawi
Rep:
Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar