Sabtu, 28 Februari 2015

Tokoh Penemu Telepon

Alexander Graham Bell tercatat sebagai penemu Telepon Yang Pertama, dilahirkan tahun 1847 di Edinburg, Skotlandia. Minat Bell memproduksi kembali suara vokal timbul secara wajar karena ayahnya seorang ahli dalam hal fisiologi vokal, memperbaiki pidato dan mengajar orang-orang tuli. Bell pernah ke Boston, negara bagian Massachusetts tahun 1871. Di sanalah pada tahun 1875 dia membuat percobaan-percobaan yang mengarah pada penemuan telepon. Dia mengumpulkan paten untuk mengokohkan penemuannya di bulan Februari 1876 dan mendapat imbalan beberapa minggu kemudian.

(Menarik sekali untuk dicatat bahwa seorang lain bernama Elisha Gray juga mengumpulkan paten penemuan untuk pengokohan mengenai peralatan serupa pada hari yang berbarengan dengan apa yang diperbuat Bell, hanya selisih beberapa jam saja).

Tak lama sesudah patennya diterima, Bell mempertontonkan telepon di pameran 100 tahun kota Philadelphia. Penemuannya menarik perhatian besar publik dan mendapat penghargaan atas hasil karyanya. Tetapi, The Western Union Telegraph Company yang menawarkan uang sebesar $100.000 buat penemuan alat itu mengelak membayarnya. Karena itu, Bell dan kawan-kawannya, di bulan Juli 1877, mendirikan perusahaan sendiri, nenek moyang dari American Telephone and Telegraph Company sekarang. Telepon dengan cepat dan besar-besaran mencapai sukses secara komersial. Sakarang ini AT & T merupakan perusahaan bisnis yang terbesar di dunia.


Bell dan istrinya yang di bulan Maret 1879 memegang 15 persen saham dari perusahaan itu tampaknya tak punya bayangan betapa akan fantastisnya keuntungan yang bakal diterima oleh perusahaan itu. Dalam tempo cuma tujuh bulan, mereka sudah jual sebagian besar saham mereka dengan harga rata-rata $250 per saham. Di bulan Nopember harganya sudah melesat naik jadi $1000 per saham! (Di bulan Maret itu isterinya-lah yang mendesak buru-buru jual karena dia khawatir harga saham tak akan sampai setinggi itu lagi!) Di tahun 1881 dengan gegabah mereka jual lagi sepertiga jumlah sisa saham yang mereka punyai. Meski begitu, toh dalam tahun 1883 mereka sudah bisa peroleh keuntungan seharga sekitar sejuta dolar.

Kendati penemuan telepon sudah mengorbitkan Bell jadi kaya-raya, dia tak pernah berhenti meneruskan penyelidikannya, dan dia berhasil menemukan lagi pelbagai alat yang berguna walau tidak sepenting telepon. Minatnya beraneka ragam, tetapi tujuan utamanya adalah menolong orang tuli. Istrinya sendiri tadinya gadis tuli yang dilatihnya sendiri. Empat anak, dua lelaki dua perempuan keluar berkat perkawinan tetapi keempatnya mati muda. Tahun 1882 Bell jadi warganegara Amerika Serikat dan mati tahun 1922.

Ukuran besar-kecilnya pengaruh Bell terletak pada penilaian besar kecilnya makna telepon itu sendiri. Menurut hemat saya, pengaruh itu besar sekali karena tak banyak penemuan yang begitu luas digunakan orang dan begitu besar pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.

Profil Abu Nawas Sang Pujangga


Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Abu Nawas merupakan seorang pujangga Arab dan dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat  Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.