Senin, 14 Oktober 2013

QURBAN : Media Upaya Mencapai Kesalehan Ritual Dan Sosial


By : BAHRAWI (Ketua Yayasan Al-Jazirah Karangpenang Sampang)


Konon nabi Ibrohim as dikarunia seorang anak bernama Ismail anak kesayangan yang kemudian diperintahkan oleh Allah lewat mimpi untuk menyembelihnya. Mula-mula Ibrahim as sangsi atas apa yang menimpanya, dalam usia Ismail yang ke tujuh tahun ia dibawa oleh ayahnya untuk melaksanakan pengorbanan sebagai wujud persembahan cinta terhadap pencipta, tapi tidak ada yang tahu kehendak Allah. Akhir kisah sebelum pisau Ibrahim as menggorok leher Ismail as, seekor domba besar diutus oleh Allah menggantikan posisi Ismail as, setelah akhirnya nyata kesetiaan dan cinta Ibrahim teruji dan memuaskan.
Kisah itulah yang sampai sekarang diadopsi masyarakat muslim sebagai akar tumbulnya ritual qurban yang dilakukan rutin setiap tahun, dan tidak ada alasan menolak formulasi yang telah digariskan baik secara daliliyah maupun histories itu, terutama sekali bahwa ada kesesuaian antara waktu qurban Nabi Ibrahim as dengan realisasi qurban saat ini, yakni tanggal 10 Dzul Hijjah terlepas dari tasrik juga termasuk ke dalam waktu berqurban.
Tapi bagaimanapun, kerangka pijakan sejarah sebenarnya tetap saja dikembangkan dari dalil-dalil yang justru dari situlah acaun dasar ditetapkannya hukum praktek qurban. Itulah sebabnya bahwa perumusan qurban-qurban menjadi ritual tidak lepas dari teori daliliyah yang ada saat ini. Dalil tersebut banyak kita temukan dalam nast al-qur’an dan redaksi al-hadist, misalnya dalam surat Al-Kautsar ayat dua yang menyatakan maka dikirikanlah sholat karena tuhanmu dan berqurbanlah. Ditambah lagi dengan adanya redaksi hadist yang diceritakan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah yang menyebutkan bagi seorang muslim yang mampu berqurban akan tetapi tidak melaksanakan, maka sabda Nabi jangan sekali-kali dating di tempat sholat kami.
Maka dari itu ada dua kemungkinan dua hukum realisasi qurban, dan memang demikian pendapat sekaligus pertentangan para ulama’. Ada sebagian menetapkan hukunya wajib, berdasarkan redaksi hadist diatas ada pula sebagian lainnya menetapkan sebagai prilaku sunnah.

Hikmah Qurban
Setiap perintah Allah pasti mengandung hikmah meskipun kadangkala hikmah tersebut hanya diketahui oleh meraka yang memang diberi karunia oleh Allah untuk mengetahui hikmah tersebut maka ia akan mendapatkan kebaikan yang banyak.
Sayyidina Ali karromallahu wajhah, pernah berkata “Barang siapa yang keluar dari rumahnya untuk membeli qurban, maka setiap langkahnya akan mendapat sepeluh kebaikan dan menghapus sepuluh kejelekan dan diangkatnya derajatnya sepuluh kali lipat dan apabila pada waktu membeli berbicara maka pembicaraannya dan apabila membayar harganya maka satu dirham mendapat tujuh ratus kebaikan, dan apabila meletakkan qurban tersebut ketanah untuk disembelih,maka semua makhluk ditempat itu sampai kebumi yang ketujuh akan membacakan istighfar kepadanya dan apabila ia mengalirkan darhnya, maka setiap tetas darah Allah jadikan malaikat yang memintakan ampun kepadanya sampai hari kiamat, dan apabila dagingnya dibagi bagikan maka setiap satu suap seperti memerdekakakan budak dari anak buahnya Nabi Ismail as”.
Selama ini, secara konseptual yang beredar, selalu sepakat adanyak praktek berkurban adalah diilhami atas prilaku Nabi Ibrahim as yang dibilang sangar dramatis. Beliau membuktikan rasa cinta dan kesetiaan dengan mengorbankan Islam puteranya yang disayangi melebihi segalanya. Pada titik itulah puncak penyerahan jiwa tertinggi yang kadang kala sulit untuk diilustrasikan dengan kalimat sampai kemudian ternyata disembelih Ibrahim as seekor domba.
Domba hanyalah sebagai badal (pengganti) dari pengorbanan, dan paling tidak domba merupakan suatu yang sedikit lebih banyak bernilai bagi siapapun. Tidak hanya domba, justru yang tak kalah tinggi harganya adalah sapi atau bahkan unta, keduanya sama-sama terbilang hewan qurban, dengan kata lain semakin tinggi nilai qurban yang dikelurkan maka semakin besar perngorbanan atas nama Tuhan, karena pada dasarnya mempersembakan qurban berarti sama dengan mempersembahkan suatu untuk dirinya sendiri maka jelas dengan ini semakin tinggi bukti ketaatannya, terhadap agama dan terhadap Tuhannya.
Memang saat ini sepintas seorang yang mengelurakan qurban memang selalu bertujuan membagikan daging sembelihannya kepada orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Kaitannya dengan konteks diatas adalah bahwa terdapat pengertian serupa antara praktik qurban dengan realisasi zakat, yakni membagikan atau memberi harta benda kepada orang lain, akan tetapi dalam ruang yang lain terdapat ganjaran besar yang akan kemabali pada dirinya sendiri.
Setiap ibadah yang terkandung dalam islam dituntut tidak hanya bersifat ritual belaka tanpa adanya efek terhadap hal lain diluar ritual tersebut, misalkan sholat, bagaimana mungkin nilai dan hikmah yang ada dalam sholat bias dipraktekkean diluar sholat, atau juga puasa. Esensi puasa diharapkan bisa menjadi inspirasi terhadap prilaku kehidupan manusia dengan yang lainnya, begitu juga dengan qurban.
Islam bukan saja menghubungkan antra manusia dengan Tuhannya, namun juga mengatur keterikatan hubungan antara manusia berbuat baik kepada orang lain. Prilaku mengindahkan nilai keislaman sebagai bentuk kepatuhan terhadap agama menjadi hal yang terpenting dalam kehidupan manusia sebagai seorang kholifah dan hamba dimuka bumi.
Praktik qurban yang banyak kita temukan dikalangan masyrakat saat ini terkandung keuntungan timbal balik (fitback), berupa kandungan ibadah secara personal kepada Tuhan atas persembahannya. Kemudian juga adanya kandungan nilai sosial yang tentu saja lebih tampak sebagai saling berbagi antara sesama demi kelangsungan hidup yang utuh.
Kesimpulannya antara ibadah vertikal dan horizontal dalam realisasi qurban ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan begitu saja atau paling tidak keduanya pada akhirnya realisasi qurban sebagai bentuk ”kesalehan ritual dan kesalehan sosial”
Ditengah kondisi bangsa dan masyrakat seperti sekarang sepatutnyalah keasadaran ini harus dipupuk agar kehidupan agama benar-benar mempuyai peran signifikan dan merekontruksi bangunan kehidupan masyrakat. Amiin………


Pengorbanan dan Kepemimpinan Ibrahim

null
Oleh: Zainal Arifin
SEJARAH perkembangan Islam tidak terlepas dari keteladanan seorang Ibrahim as. Ketaatannya kepada Allah سبحانه وتعالى, menjadi pedoman bagi seluruh umat yang hendak menghambakan diri kepada Allah semata. Kesabaran dan pengorbanan yang dicontohkan nabi Ibrahim adalah prasyarat bagi siapapun yang ingin merasakan kedekatan dirinya dengan Allah. Wajar jika kemudian sejarah hidup nabi Ibrahim diabadikan di dalam Alquran yang merupakan kitab suci bagi umat Islam.
Ada banyak kisah inspiratif dari kehidupan Nabiyullah Ibrahim as yang sepatutnya diteladani oleh setiap kita. Berawal dari kisah Ibrahim muda yang berani menghancurkan patung-patung berhala, yang mana telah menyebabkan dirinya dibakar hidup-hidup.
Namun, atas takdir Allah sehingga api yang membakar dirinya tidak mampu menghanguskan tubuhnya. Selanjutnya, kisah mengharukan ketika Ibrahim diperintah oleh Allah untuk menyembelih Ismail putra yang sangat dicintainya. Lagi-lagi keteguhan imannya kepada Allah menjadi dasar keikhlasannya menjalankan segala perintah-Nya sekalipun harus menyembelih putra kesayangannya.
Hebatnya, Ismail dengan sadar diri dan ikhlas menuruti kehendak ayah kandungnya sendiri yang hendak menyembelih dirinya. Inilah bentuk pengorbanan luar biasa yang mungkin hanya dilakukan oleh hamba-hamba pilihan seperti nabi Ibrahim dan putranya, nabi Islmail as. Demikian uswah dari para pembawa risalah Allah yang mesti tersemat dalam kepribadian kita jika mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir. Pengorbanan dalam segala hal harus kita lakukan dengan ikhlas demi menjunjung risalah Allah di muka bumi ini.
Melalui kisah nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putra kesayangannya tersebut, dapat dipahami jika sebenarnya Allah menekankan kepada umat manusia bahwa pengorbanan itu harus dilakukan demi meraih kesuksesan hidup, baik sukses di dunia maupun selamat di akhirat kelak. Pengorbanan merupakan syarat dasar yang tidak boleh diabaikan apalagi ditinggalkan jika ingin menjadi manusia ideal di hadapan Allah. Terlebih-lebih dia seorang pemimpin rakyat, pengorbanan dalam segala hal untuk melayani kepentingan rakyatnya menjadi barometer keberhasilannya menjadi pemimpin yang paripurna.
Sayangnya, dewasa ini nilai-nilai pengorbanan tergadaikan oleh bentuk-bentuk balas jasa yang terkadang hanya bernilai materi. Ajaran berkorban dari nabi Ibrahim hanya sebatas simbol dalam bentuk ritual menyembelih hewan kurban seperti kambing, sapi, unta dan lainnya. Masih banyak orang yang tidak sadar jika penyembelihan hewan kurban tersebut bukan daging dan darah yang dinilai oleh Allah سبحانه وتعالى, melainkan ketaqwaannya dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Fakta, pengorbanan yang dilakukan oleh para pemilik harta dan atau pemegang kekuasaan sekarang ini, kebanyakan di antaranya mengharapkan imbal-balik.
Konspirasi atas nama ‘bakti sosial’ sering diperagakan demi meraih simpati dan keuntungan pribadi atau golongan semata. Contohnya bangsa Indonesia, negeri yang seharusnya agamis karena berpenduduk mayoritas Islam ini masih berkutat dengan skandal kolusi, korupsi, nepotisme dan sejenisnya. Oknum-oknum penguasa di negeri ini yang tampak dermawan karena sering memberi sumbangan kepada rakyat miskin, masih banyak diantaranya yang meminta gratifikasi dan entah lain bentuknya.
Semestinya, Hari Raya Kurban yang diperingati setiap tahunnya oleh umat Islam di negeri ini dengan begitu antusias, mampu menanamkan perilaku saling peduli antara satu dengan lainnya tanpa embel-embel apapun. Sebagaimana hikmah dari penyembelihan hewan  kurban, kemudian dagingnya diberikan kepada mereka yang berhak, di antaranya sanak kerabat dan para fakir miskin. Hal ini tentu dimaksud agar tumbuhnya kepedulian dalam diri orang-orang yang secara ekonomi memiliki kelebihan, tidak sebatas kampanye memotong hewan kurban dalam rangka mencari simpati untuk dipilih dalam pemilihan.
Uswah Kepemimpinan Ibrahim
Pemimpin ideal merupakan dambaan setiap rakyat, tidak terkecuali penduduk Indonesia. Jika menapak-tilas sejarah hidup nabi Ibrahim, tentu kita akan menemukan akhlak pemimpin umat yang kompleks dalam diri nabi Ibrahim as. Al-Qur`an menyebut nabi Ibrahim sebagai sosok pemimpin ideal karena kepribadiannya yang paripurna. Dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 120-122, Allah سبحانه وتعالى berfirman: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh.”
Kepemimpinan Ibrahim as yang ditegaskan langsung oleh Allah سبحانه وتعالى dalam ayat-Nya tersebut, ditafsirkan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa lafazh ummah mengandung makna bahwa pemimpin yang dijadikan teladan dan mengajarkan kebaikan kepada manusia (Tafsir Ibn Katsir QS. 16 : 120). Kesuksesan kepemimpinan Ibrahim sangat berlandas pada tiga kriteria, yaitu: Qanit li Allah, yang artinya tunduk kepada Allah سبحانه وتعالى.
Kemudian hanif, bermakna lurus dalam jalan kebenaran. Dan terakhir syukur, yang dijelaskan artinya oleh ar-Raghib sebagai bentuk mengakui nikmat dengan hati dan memperlihatkannya dengan amal perbuatan.
Sosok pemimpin seperti yang disebutkan dalam tiga kriteria tersebut dapat dijamin akan jauh dari sifat zalim, korup, arogan dan semena-mena. Perilaku yang taat kepada Allah tentu mendatangkan keberkahan bagi negeri yang dipimpinnya, perbuatan yang lurus akan menjadikan rakyat nyaman menjadi rakyatnya, sementara pribadi syukur senatiasa melipa-gandakan anugerah-anugerah Allah yang telah diterimanya. Dengan kata lain, tiga kriteria tersebut adalah pondasi bagi sosok pemimpin yang berkarakter kuat, lurus dalam aqidah dan ibadah, serta teguh memegang amanah.
Pemimpin ideal hanya akan lahir dari proses penempaan diri yang benar-benar berkualitas, Ibrahim adalah salah satu contoh alumni yang lulus dari ujian-ujian hebat lagi berat. Allah menegaskan dalam al-Quran, yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 124).
Jika dirujuk dari ayat-ayat al-Qur`an yang menceritakan tentang kisah nabi Ibrahim as, jelas tergambar bahwa Allah سبحانه وتعالى telah menguji Ibrahim dengan berbagai ujian yang begitu berbobot. Pertama, mengorbankan perasaannya sendiri ketika harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya yang musyrik, bahkan sampai harus menghadapi hukuman dibakar hidup-hidup sebagai konsekwensi menentang kemusyrikan (QS. Al-Anbiya: 51-69). Kedua, mengorbankan kecintaannya pada anak ketika harus menyembelih Isma’il putra kesayangannya (QS. Ash-Shaaffaat: 102-107). Ketiga, mengorbankan harta dan tenaga ketika harus membangun Masjidil-Haram (QS. Al-Baqarah: 125-127).
Kesimpulan
Konsep berkurban selalu relevan dengan kehidupan manusia di mana dan kapapun zamannya. Ajaran berkurban mendeskripsikan bahwa cita-cita mulia, lebih-lebih membangun suatu bangsa, harus disertai pengorbanan dan kebersamaan. Begitu sulit keberhasilan terwujud manakala setiap upaya yang dilakukan tidak diikuti oleh kesediaan berkorban. Pengorban merupakan kunci keberhasilan terhadap semua usaha, apapun usaha itu, baik pada tingkatan pribadi apalagi komunitas besar, seperti halnya usaha kita memajukan Negara Indonesia ini.
Para pahlawan bangsa ini telah memberikan contoh terbaik dalam hal pengorbanan. Mereka telah mengorbankan apa saja baik itu harta, jiwa dan raganya demi mewujudkan kemerdekan di bumi Nusantara ini. Kerelaan dalam berkorban itulah kunci kesuksesan diproklamirkannya kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Kemerdekaan yang diraih dengan pengorbanan yang luar biasa oleh para pahlawan bangsa kala itu. Dan kini, bangsa Indonesia sedang berjuang dalam membangun dan memajukan negeri ini.
Maka, semangat berkorban begitu penting ditumbuh-kembangkan dalam diri setiap generasi bangsa ini untuk mendukung percepatan kemajuan bangsa Indonesia. Kesempatan hidup kita di dunia yang begitu singkat ini, sedapat mungkin digunakan untuk senantiasa berbagi kebaikan dengan orang lain. Baik kita sebagai pemimpin maupun rakyat yang dipimpin harus memiliki motivasi untuk rela berkorban, sehingga keberadaan kita di dunia fana ini bermanfaat dan mendatangkan rahmat Allah, utamanya bagi bangsa ini. Pengorbanan yang didasari rasa kepedulian antar sesama makhluk-Nya harus terus dijaga eksistensinya, insya Allah umat Islam terutama rakyat Indonesia akan selalu berjaya.
Pada akhirnya, bersamaan dengan perayaan Hari Raya Idul Kurban yang sebentar lagi dilaksanakan seluruh umat Islam di manapun berada, ada hal pokok yang harus kita benahi bersama. Sejarah pengorbanan Ibrahim demi mendekatkan dirinya kepada Allah, harus mendorong semangat kita dalam meningkatkan kualitas hidup. Janganlah kita hanya terjebak dalam gemerlap kehidupan dunia dengan segala pesonanya, agar diri kita tidak dikucilkan oleh orang lain terlebih-lebih dijauhi oleh Allah سبحانه وتعالى.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu…" (QS al Munafiqun[63]: 9-10).*
Penulis adalah Dosen STKIP Hidayatullah Batam

Keutamaan Amalan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijah (1)

null
SAAT ini  kini berada dalam rangkaian sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijah.  Sepuluh hari yang agung. Allah Subhanahu wa ta’ala, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, dan seluruh kaum muslimin memuliakan dan mengagungkannya. Syariat memerintahkan umat Islam untuk menyemarakkannya dengan berbagai amal shalih yang istimewa.
ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan, memuliakan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul/lahir dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj [22] : 32).
Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
Keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijah
Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah memiliki keutamaan yang agung/mulia dalam syariat Islam. Di antaranya adalah:
1. Allah SWT bersumpah dengannya. Allah berfirman,
“Demi waktu fajar. Dan demi sepuluh malam.” (QS. Al-Fajr [89] : 1-2)
Makna sepuluh malam dalam ayat yang mulia ini adalah sepuluh malam yang pertama dalam bulan Dzulhijah, menurut mayoritas ulama tafsir, dan inilah pendapat yang benar menurut penelitian imam Ibnu Katsir ad-Dimasyqi.
2. Ia merupakan hari-hari yang disyariatkan secara khusus untuk memperbanyak dzikir. Allah berfirman (yang artinya).
 “Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj [22] : 28)
Menurut mayoritas ulama tafsir, termasuk di antaranya sahabat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas RA, maksud dari menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah.
3. Rasulullah  bersaksi bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hari-hari di dunia yang paling mulia.
Dari Jabir RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Hari-hari di dunia yang paling utama adalah sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijah)” Para sahabat bertanya, “Hari-hari yang dipergunakan (jihad) di jalan Allah juga tidak menandinginya?” Beliau menjawab, “Hari-hari yang dipergunakan di jalan Allah juga tidak mampu menandinginya, kecuali seseorang yang wajahnya terjerembab di dalam debu (gugur di medan jihad hingga wajahnya beralaskan tanah).” (HR. Al-Bazzar dan Ibnu Hibban)
4. Hari Arafah. Wuquf di Arafah jatuh pada tanggal 9 Dzulhijah setiap tahun. Hari wuquf di Arafah adalah hari yang sangat agung. Pada saat tersebut Allah mengabulkan doa, mengampuni dosa, menerima taubat, dan membebaskan hamba-hamba yang diridhai-Nya dari siksa api neraka. Begitu agungnya hari tersebut, sehingga Rasulullah bersabda, “Haji adalah (wuquf di) Arafah.” (HR. Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadits shahih)
5. Hari penyembelihan
Hari penyembelihan atau biasa disebut yaum an-nahr dan idul Adha, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijah setiap tahun. Ia merupakan hari raya seluruh umat Islam, dan bagi para jama’ah haji merupakan salah satu rangkaian manasik haji yang sangat penting. Sebagian ulama bahkan berpendapat hari tersebut merupakan hari paling mulia dalam satu tahun, sebagaimana hadits dari Abdullah bin Qurth RA bahwasanya Nabi bersabda :
أَعْظَمُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ النَّحْرِ ، ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
 “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari penyembelihan dan hari sesudahnya.”(HR. Ahmad, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ath-Thabarani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Abu Nu’aim al-Asbahani)
6. Induk berbagai ibadah terkumpul pada hari-hari tersebut.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari mengatakan, “Nampaknya hal yang menyebabkan keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah berkumpulnya induk-induk ibadah pada hari-hari tersebut, yaitu shalat, shaum, sedekah, dan haji. Hal itu tidak mungkin terkumpul pada hari-hari yang lain”
Keutamaan amal shalih pada 10 hari pertama Dzulhijah
Terdapat beberapa hadits shahih yang menerangkan keutamaan amal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah. Di antaranya adalah :
عَنْ  ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ الله وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
Dari Ibnu Abbas RA berkata, Rasulullah bersabda, “Tidak ada hari-hari yang amal shalih pada waktu tersebut lebih dicintai Allah melebihi hari-hari sepuluh (bulan Dzulhijah ini)” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga amalan jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berperang di jalan Allah dengan nyawa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan membawa sesuatu pun (ia gugur di jalan Allah).” (HR. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَذُكِرَتِ الْأَعْمَالُ فَقَالَ : مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ فِيهِنَّ أَفْضَلُ مِنْ هَذِهِ الْعَشْرِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟ قَالَ : فَأَكْبَرَهُ فَقَالَ : وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا أَنْ يَخْرُجَ رَجُلٌ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ  ثُمَّ تَكُونَ  مُهْجَةُ نَفْسِهِ فِيهِ
Dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata: “Saya tengah berada di sisi Rasulullah lalu disebutkan beberapa amal shalih, maka beliau bersabda, “Tidak ada hari-hari yang amal shalih pada waktu tersebut lebih mulia daripada hari-hari sepuluh (bulan Dzulhijah ini)” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga amalan jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berperang di jalan Allah dengan nyawa dan hartanya, kemudian ia gugur di jalan Allah.” (HR. Ahmad, Ath-Thahawi, dan Abu Nu’aim al-Asbhani. Dinyatakan shahih oleh muhaqqiq Hilyatul Awliya’)
Imam At-Tirmidzi menyatakan terdapat hadits dengan lafal yang serupa dari jalur Abu Hurairah dan Jabir bin Abdullah RA. Kedua hadits di atas dan hadits-hadits penguatnya menunjukkan beberapa pelajaran penting bagi umat Islam:
Amal shalih apapun lebih dicintai oleh Allah jika dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, melebihi cinta Allah apabila amal shalih tersebut dikerjakan di hari-hari yang lain.
Karena amal shalih yang dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah, maka hal itu bermakna amal tersebut lebih mulia dan lebih utama di sisi Allah.
Orang yang beramal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih utama daripada orang yang berjihad dengan nyawa dan hartanya di hari-hari yang lain lalu ia bisa kembali kepada keluarganya dengan selamat.
Semua amal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, tanpa terkecuali, akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah.
Sungguh sebuah bazar amal yang sangat menguntungkan bagi setiap Muslim.
Amalan-amalan yang sangat dianjurkan dalam 10 hari pertama Dzulhijah Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah musim kebaikan. Sudah selayaknya setiap muslim memberikan perhatian yang lebih terhadapnya. Sudah sewajarnya setiap muslim meningkatkan amal shalihnya pada waktu tersebut, melebihi amal shalihnya pada waktu yang lain. Seorang ulama tabi’in, Abu Utsman Abdurrahman bin Mull an-Nahdi (wafat tahun 95 H) berkata:
Generasi salaf (sahabat) sangat memuliakan puluhan hari yang tiga; sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama Dzulhijah, dan sepuluh hari pertama Muharram.”*