Jumat, 10 Oktober 2014

Rahasia Nabi Khidhir bersama Nabi Musa alaihimassalam

Hasil gambar untuk ilustrasi nabi khidir 
Sebagian kita ada yang menganggap ‘Nabi Khidir “  sampai sekarang  belum wafat, untuk mengajarkan berbagai hikmah kepada manusia.. Bagaimanakah sejatinya nabi Khidir itu?
Dari sebuah khutbah Juma’at seorang ustadz (KH. Yaksyallah Mansur MA) menyampaikan hikmah dari kisah Nabi khidir dan Nabi Musa..
“ Lalu keduanya bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami..” (Qs  Al kahfi : 65)
Menurut jumuhul mafassirin (mayoritas ahli tafsir) sejak dari Ibnu Abbas, Al Thabari, Al Qurthubi, Ibnu Katsir sampai penafsir kontemporer Ahmad Musthafa al Maraghi bahwa yang dimaksud keduanya pada ayat ini adalah Nabi Musa Alaihi Salam dan anak muda pengiringnya (pembantunya) Yusya’ bin Nun. Sementara yang dimaksud seorang diantara hamba-hamba Kami adalah Nabi Khidr Alaihi Slama. Tetapi penafsir kontemporer yang lain yaitu as Syahid Sayid Quthb, penyusun tafsir fi dzilalil Qur’an tidak menyebut nama Khidr ketika menafsirkan ayat ini. Dia hanya menyebut-nyebut al abdus shalih (hamba yang shalih) saja. Dia berpendirian demikian sebab di dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan kisah ini (QS Al Kahfi 65-82) tidak pernah disebut nama Khidr dan karenanya beliau merasa lebih baik membiarkan sosok ini tetap rahasia seperti yang termaktub dalam Al Qur’an
SIAPAKAH NABI KHIDIR ITU?
Sosok nabi Khidir Alaihi Salam yang menurut Jumhurul Mufasirin sebagi nabi yang dijadikan oleh Nabi Musa Alaihi Salam sebagai gurunya, telah menimbulkan kontroversi di kalangan ulama sejak dahulu samapai sekarang. Khidr atau khadhir atau Khidhir berasal dari bahasa Arab yang artinya hijau. Menurut riwayat Mujahid apabila dia shalat rumput-rumput kering yang disekelililngnya akan menjadi hijau. Segolongan orang terutama dari kalangan kaum shufi mengatakan bahwa dia masih hidup sampai sekarang. Banyak cerita lainnya, tetapi kebanyakan cerita tersebut berasal dari kisah-kisah israiliyat. Dan tentang beliau masih hidup sampai sekarang bertentangan dengan ayat Allah : Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?  Tiap –tiap yang berjiwa akan merasakan mati (Qs Al Anbiya : 34-35)
Imam Bukhari dan beberapa perawi hadis yang lain menegaskan Nabi Khidr Alaihi Salam telah wafat
Hikmah dari kisah ini , Adab menuntut ilmu
AI Imam Fakhrur Razi mengatakan,” Ketahuilah , ayat ini (Qs  al Kahfi: 66) menunjukan bahwa Nabi Musa memperhatikan adab serta tata cara yang cukup banyak dan lunak ketika ingin belajar dari nabi Khidir. Tata cara tersebut antara lain :
Nabi Musa merendah’kan dirinya dengan bertanya secara halus , “ Apakah engkau mengizinku untuk  mengikutimu? Padahal kita tahu Nabi Musa adalah seorang nabi Ulul Azmi yang pernah bercakap-cakap dengan Allah dan memimpin Bani Israil. Dia pula satu-satunya Nabi yang disebut namanya dalam Al Qur’an sebanyak 300 Kali!
Kemudian nabi Musa mengatakan “ Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar..” ini membuktikan kepribadian luhur dan sifat tawadlu untuk  mengakui akan kebodohan dirinya di hadapan sang guru. Dan beberapa adab lainnya
Hikmah kisah ini juga menyampaikan salah satu etika dalam menuntut ilmu (al Qur’an) adalah bahwa ilmu harus dicari dari sumbernya . Ia harus didatangi walau jauh tempatnya dan kesulitan  dalam menempuhnya. Dan Nabi Musa mencontohkan bagaimana ia walaupun seorang nabi pilihan (ulul azmi) yang sekaligus pemimpin , siap menempuh suatu perjalanan untuk mencari ilmu.
Nasihat  Khidir kepada Musa
Dari Umar bin Al Khattab Radiyallahu Anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam bersabda, “ Saudaraku, Musa Alaihissalam berkata, Wahai Rabbi .., tampakanlah kepadaku orang yang engkau tampakkan kepadaku di perahu..”
Allah menurunkan wahyu kepada Musa ,” Hai  Musa kamu  akan melihatnya..”
Tak berapa lama kemudian datang Khidir, dengan aroma yang harum dan mengenakan pakaian berwarna putih. Khidir berkata, “ Salam sejahtera atasmu wahai Musa bin Imran. Sesungguhnya Rabbmu menyampaikan salam kepadamu beserta rahmatNYa..
Musa berkata,” Dialah As-Salam dan  kepada-Nya kesejahteraan serta dari Nya kesejahteraan. Segala puji bagi Allah Rabbul-alamin yng nikmat-nikmatNya tidak dapat kuhitung dan aku tidak dapat bersyukur kepada-Nya kecuali dengan petolongan-Nya. Kemudian Musa berkata, “ Aku Ingin engkau memberiku nasihat dengan suatu nasihat yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadaku sepeninggalmu.”
Khidir berkata,” Wahai pencari ilmu, sesungguhnya orang yang berbicara tidak lebih mudah jemu daripada orang yang mendengarkan. Maka janganlah kau buat orang-orang yang ada disekitarmu menjadi jemu ketika engkau berbicara kepada mereka. Ketahuilah bahwa hatimu merupakan bejana. Kenalilah dunia dan buanglah ia dibelakangmu, karena dunia bukan merupakan tempat tinggalmu, dan apa yang ditetapkan bagimu tidak ada di sana. Dunia dijadikan sebagai perantara hidup hamba, agar mereka mencari bekal darinya untuk tempat kembali. Hai Musa , letakkanlah dirimu pada kesabaran, tentu engkau akan selamat dari dosa. Wahai Musa, pusatkanlah minatmu pada ilmu kalau memang engkau menghendakinya. Sesungguhnya ilmu itu bagi orang yang berminat kepadanya. Janganlah engkau menjadi mudah kagum kepada perkataan yang disampaikan panjang lebar, karena banyak perkataan mendatangkan aib bagi orang yang berilmu dan dapat membocorkan rahasia yang mestinya ditutupinya.Tetapi semestinya engkau berkata sedikit karena yang demikian itu termasuk taufiq dan kebenaran. Berpalinglah dari orang bodoh dan bersikaplah secara lemah lembut terhadap orang yang dungu, karena yang demikian itu merupakan kelebihan para ahli hikmah dan hiasan orang-orang yang berilmu. Jika ada orang bodoh yang mencacimu , diamlah di depannya lalu menyingkir dari sisinya secara hati-hati karena kelanjutannya tetap menggambarkan kebodohannya terhadap  dirimu dan caciannya akan semakin bertambah gencar dan banyak. Wahai anak keturunan Imran, janganlah engkau terlihat memiliki ilmu kecuali hanya sedikit. Sesungguhnya asal keluar dan asal berbuat merupakan tindakan menceburkan diri kepada sesuatu yang tidak jelas dan memaksakan diri. Wahai anak Imran janganlah sekali-kali engkau membukakan pintu yang tidak engkau ketahui untuk apa pintu itu ditutup dan jangan tutup pintu yang tidak engkau ketahui untuk apa ia di buka. Wahai anak Imran, siapa yang tidak berhenti dari dunia, maka dunia itu yang akan melahapnya. Mana mungkin seseorang menjadi ahli ibadah jika hasratnya kepada dunia tidak pernah habis? Siapa yang menghinakan keadaan dirinya dan membuat tuduhan terhadap Allah tentang apa yang ditakdirkan baginya, mana mungkin kan menjadi orang zuhud? Adakah orang yang telah dikalahkan hawa nafsunya akan berhenti dari syahwat? Mana mungkin pencarian ilmu masih bermanfaat bagi orang yang dipagari kebodohan? Perjalanan akan menunjukkan ke akhirat dengan meninggalkan dunia . Wahai Musa belajarlah apa engkau amalkan agar engkau mengamalkannya dan janganlah engkau menampakkan amalmu agar disebut-sebut , sehingga engkau mendapat kerusakan dan orang lain mendapat cahaya. Wahai anak Imran, jadikanlah zuhud dan taqwa pakaianmu, jadikanlah ilmu dan zikir sebagai perkataanmu, karena yang demikian itu membuatmu Rabbmu ridha. Berbuatlah kebaikan karena engkau juga harus melakukan yang lainnya. Engkau telah mendapatkan nasihatnya jika engkau menghafalkannya”.
Setelah itu Khidir berbalik meninggalkannya, sehingga tinggal sendirian Musa dalam keadaaan sedih. (Diriwayatkan Ath Thbrany dalam Al Ausath, di dalam nya ada Zakaria bin Yahnya Al Wafad, yang didhaifkan tidak hanya oleh satu orang, Ibnu Hibband dalam At Tsiqat. Dia menyebutkan bahwa dia salah dalam  kemaushullannya. Yang benar , didalamnya ada riwayat dari Sufyan Ats Tsaury, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakannya, dan rijal yang lainnya tsiqat. Majma”Az Zawa’id,

Ambillah Pesan Terakhir-MU


Biasanya bila seorang hamba sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, ada sebagian orang  yang mengucapkan seuntai  kata-kata atau juga berupa pesan-pesan terakhir . Berikut ini adalah kumpulan kata-kata terakhir atau pesan terakhir dari orang-orang terkenal. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari untaian lisan mereka yang sudah pergi mendahului kita…
Banyak hikmah yang perlu di tadaburi dari kalimat mereka…
Ummatii … ummatii … ummatii ….(Umatku … umatku … umatku) –  Rasul Muhammad Saw, Nabi dan Rasul terakhir.
Tahu kamu kalau aku ngomong blak-blakan. Aku yakin akan terjadi perang saudara. Kalau perang dengan bangsa lain, kita bisa membedakan fisiknya. Tapi dengan bangsa sendiri, itu sangat sulit. Lebih baik aku robek diriku sendiri, aku yang mati daripada rakyatku yang perang. Aku tidak sudi minta suaka ke negeri orang . Bung Karno, dibisikkan kepada Putu Sugianitri ajudannya sebelum ajal.
Tuhanku, Tuhanku – Chairil Anwar, Penyair Angkatan 45
Adakah orang lain yang terluka? – Robert F. Kennedy kepada istrinya setelah dia tertembak dan sebelum koma
Ayolah, semua keluar ! Kata-kata terakhir hanyalah kebodohan bagi siapa saja yang berkata cukup ! – Karl Marx, ketika ditanya oleh pembantunya apa kata-kata terakhirnya.
Saya merasa sakit kepala yang luar biasa – Franklin Delano Roosevelt, presiden ke-32 USA.
Saya belum mengungkapkan separuh dari apa yang kulihat.- Marco Polo,Penjelajah dunia
Saya tahu kamu datang untuk membunuhku. Tembaklah, kamu hanya akan membunuh seorang manusia.) – Che Guevara, Pemimpin Revolusi.
Saya sedang bosan dengan semua ini – Winston Churchill, PM Inggris pada PD II, sebelum koma dan meninggal sembilan hari kemudian.
Saya sedang kalah – Frank Sinatra, penyanyi dan bintang film Amerika.

Pencuri Taubat


“Maaf ya, saya telah mencuri lampu masjid ini. Azab sudah pasti ada, saya merasakan badan gatal luar biasa. Ketika saya niatkan untuk mengembalikan lampu ini, gatal-gatal hilang. Subhanallah …Hamba Allah.”
Isi surat yang ditulis pada secarik kertas itu agak menggelikan meski ada pengakuan jujur pengirimnya. Surat itu menjadi jawaban atas hilangnya lampu neon di salah satu ruang masjid beberapa waktu lalu. Terlepas dari rasa gatal yang dialami dan keyakinan bahwa gatalnya itu adalah azab Tuhan atas perbuatannya, surat itu tetap menjadi tanda Tanya tetang siapa pengirimnya. Taruhlah benar gatal itu adalah azab, maka mengembalikan barang curiannya itu dapat dianggap sebagai respon positif atasnya. Dan, lampu yang ia curi dari masjid itu dikembalikan setelah hampir sebelas hari ia miliki.
Akhir-akhir ini, masjid di kampung saya itu sering kehilangan. Mulai dari uang kotak amal, amplifier atau sekedar lampu. Bahkan pada hari raya Jum’at, kerap ada jama’ah yang pulang dengan sandal jepit butut, padahal kedatangannya menjepit Carvil. Keterlaluan. Entah siapa pelakunya, pengurus masjid tak pernah tahu. Hati mereka hanya mengaduh getir, apakah ladang pencurian sudah semakin sempit, sehingga “rumah” Tuhan pun tidak luput untuk dijarah? Ataukah sudah sebegitu susahnya mencari rezeki halal sehingga mencuri menjadi jalan pintas meskipun itu dilakukan di tempat ibadah? Kemana perginya nilai shalat dan ibadahnya itu?
Ada orang mencuri karena memang kebutuhan yang mendesaknya. Karena kemiskinan dan ketakberdayaannya menghadapi desakan perut. Biasanya orang seperti mereka adalah orang yang tak pernah “makan” bangku sekolah. Tidak pernah memegang pensil atau bollpoint. Apalagi mengerti apa itu toga, ijazah, sertifikat atau gelar akademis. Yang diambilnya pun kecil-kecil, semisal 3 buah Kakau. Mereka mencuri sekedar dapat mengganjal keroncong perut. Paling banter untuk membayar tunggakan SPP anaknya. Tidak lebih. Namun jika situasi demikian tetap langgeng dilakukan, maka hampir-hampir saja menyeretnya kepada kekafiran. Mungkin pula menjebloskannya ke bui dan merasakan dinginnya lantai penjara.
Tapi tidak sedikit pula pencuri yang cerdas. Ia mencuri tidak untuk makan tapi untuk ‘membeli’ ambisi duniawi. Mereka orang pintar; pintar ngomong, pintar berkelit, pintar menuntut balik bahkan pintar ‘mencucuk’ hidung aparat penegak hukum. Mereka maling profesional yang menjarah uang rakyat. Begitu besarnya uang yang mereka curi, sampai-sampai tidak habis dinikmati sampai keturunan ketujuh mereka. Begitu licinnya, mereka melenggang bebas dan hidup nyaman di luar negeri. Kepada mereka layak kita ucapkan: ”Selamat Sentosalah Anda di Dunia, Bersiaplah Hidup Melarat di Kubur dan Akhiratmu”.
Tapi, apakah para pencuri kakap itu kenal alam barzakh atau ingat akan akhirat? Sulit dipastikan. Sepertinya beragama pun mereka asal saja. Asal kolom saat menulis berbagai aplikasi terisi penuh saja. Asal tidak disebut komunis atau atheis saja. Atau jangan-jangan, Tuhan saja dianggap telah mati untuk mereka.
Ini hanya kemungkinan paling getir. Sebab biasanya, orang akan ragu mencuri apabila di hatinya ada alam barzakh, ada kebangkitan, ada kiamat, ada padang mahsyar, ada timbangan amal, ada shirath, ada surga dan neraka, ada iman yang melekat rekat di hatinya. Meskipun kesempatan untuk mencuri itu terbuka lebar dan tidak ada seorang pun yang tahu, tetapi softwere ihsannya akan segera memprogram keraguannya menjadi kemantapan hati untuk tidak melakukannya. Namun sebaliknya, apabila softwere-nya blank atau error, maka nafsunya menciptakan peluang dan kesempatan untuk menjarah. Nafsu menjadi semacam virus untuk menghancurkan kekebalan iman dan merusak sistem kerja kesadaran ilahiyah.
”Siapa orangnya ya, Pa yang ngambil lampu dan mengirim surat pengembaliannya?” tanya merbot masjid.
”Sebenarnya sih, tidak terlalu penting untuk kita ketahui siapa orangnya. Toh lampunya juga dikembalikan. Ditambah surat kesaksian azab Allah lagi,” imam masjid menjawab arif.
”Penasaran aja, Pa ustdaz.”
”Lalu kalau sudah tahu orangnya, mau diapain?”
”Ya paling tidak dikasih pelajaran lah, nasehat atau peringatan.”
”Peringatan dan pelajaran dari Allah, kan sudah dirasakan. Gatal-gatalnya luar biasa seperti dalam suratnya. Apa belum cukup?” imam masjid masih asyik melayani perbincangan.
”Siapa tahu, memang pencurinya punya eksim atau gudig. Pas saat itu datang gatalnya,” merbot masjid masih belum menyerah.
”Nah, itu malah lebih berat peringatannya. Sudah eksim, gudig, gatal pula dia. Ikhlaskan, Pa. Yang penting dia kapok. Lampu masjid kita juga sudah kembali. Dari pada tidak dikembalikan sama sekali. Semoga juga kesadarannya seperti taubatnya Malik bin Dinar. Nah, sekarang mana yang paling baik?”
”Iya sih, Pa ustadz. Kadang kita juga malu, kalau ada jamaah yang kehilangan sandal bagus. Jum’at kemarin ada. Minggu sebelumnya juga ada.”
”Biasanya kalau yang ini, pelakunya salah menterjemahkan ucapan khatib.”
”Maksud Pak ustadz?”
”Sewaktu khatib naik mimbar sampai di penghujung dia tidur. Yang dia tangkap kesimpulan isi nasehat khatib, ‘ambil yang baik, tinggalkan yang buruk’.”
”Terus pulang nukar sendal, gitu? Ah Pa ustadz bisa aja.”
Saya hanya menguping perbincangan itu. Terasa benar bedanya menangkap pembicaraan orang alim. Selalu ada nilai-nilai yang memulihkan kesadaran. Ada juga sense of humornya. Beda halnya ketika berkumpul dengan beragam orang yang berbeda visi dan sudut pandang yang heterogen. Seringkali ada pembicaraan yang menimbulkan kecemburuan dan kegelisahan. Betapa tidak menjadi resah dan cemburu, di saat kita bingung belum membayar sewa rumah kontrakan sementara rekan di sebelah kita asyik membicarakan rencana ganti mobil. Di saat kita terjepit dengan soal keuangan, sementara mereka bercanda sambil menunjukkan isi dompet lembaran merahnya masing-masing. Salah kah mereka? Tidak. Mereka hanya berhusnuzzhan bahwa kita sama dengan mereka dalam segala hal.
Kecurian memang menyakitkan, tetapi sesungguhnya keadaan si pencuri lebih menyedihkan. Bagi yang kehilangan asalkan dia sabar dan menerima cobaan itu sebagai ujian dari keimanannya, maka miliknya yang hilang menjadi sedekah baginya. Kalimat istrija’ sebagai tanda kesabarannya bahkan mengantarkannya pada keberkahan dan keselamatan serta petunjuk dalam hidupnya.
Mengapa nasib pencuri lebih menyedihkan?
Kesedihan sang pencuri bukan alang kepalang. Pada saat dia mencuri, dia sudah kehilangan sesuatu yang amat berharga yaitu iman. Sebab meskipun dia adalah mukmin, tetapi pada saat tangan dan hatinya beraksi mencuri, gugurlah imannya saat itu. Adakah yang lebih menyedihkan selain gugurnya iman? Belum lagi soal hati nurani. Bagaimanapun setiap orang tidak akan pernah bisa membohongi hati nuraninya. Seorang pencuri pun sadar betul, bahwa perbuatannya itu adalah keliru. Lalu sampai kapan ia dapat memenangkan pertarungan batin yang bergejolak di dalam hatinya? Sementara dalam pergolakannya itu, ia selalu was-was, curiga dan tertekan. Sampai polisi sekedar lewat saja, ia gemetar karena diduga tengah mencari-cari dirinya.
Puncak dari penderitaan pencuri adalah pengadilan dan penjara dunia. Dan entah bagaimana pula balasan baginya di akhirat kelak. Apabila pencuri saja sedemikian menderitanya, apatah lagi maling yang teriak maling?
Di balik semua itu, kita sering mendapatkan ketimpangan soal ‘permalingan’. Kadang supremasi hukum ditegakkan kepada maling kelas coro atau bandit kelas teri. Tetapi maling kelas hiu dan bandit kelas paus dibiarkan liar dan dilindungi. Jika melihat fakta ini dengan mata telanjang, kita tentu ngeri dengan peringatan Kanjeng Nabi empat belas abad yang lalu. Beliau pernah menegaskan, bahwa hancurnya umat terdahulu salah satunya karena sebab hukum pencurian yang tebang pilih. Apabila orang kecil mencuri, hukum had ditegakkan. Tetapi giliran pembesar yang mencuri, hukum had diabaikan. Seperti yang terjadi pada wanita bangsawan Bani Makhzum yang melakukan pencurian dan meminta negoisasi soal potong tangan. Kenyataan ini berulang di zaman kita dan akan terus berulang. Kehancuran pun berulang kali pula kita alami dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Tetapi itu belumlah cukup menyadarkan setiap hati nurani. Mungkin menunggu guncangan yang paling dahsyat yang meluluhlantakkan alam semesta. Kiamat kubra.
Yang cukup menggelisahkan, sanksi hukum kita tidak menimbulkan efek jera. Penjara tidak menjadi panti rehabilitasi mental bagi pelaku kejahatan kecuali bagi orang tertentu saja. Makanya kejahatan pencurian tidak pernah mengenal episode the end. Ada pelaku kejahatan pencurian motor, tetapi selepas dari penjara naik kelasnya menjadi pencuri mobil. Bahkan ada yang tetap mengendalikan bisnis narkobanya di balik jeruji penjara.
Kapan hukum dipedomani seperti masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in? Atau dalam konteks historis bangsa kita mengulang kembali kejayaan ratu Sima dalam penegakkan hukum di kerajaan Kalingga?
Kita masih membayangkan hukum Allah tegak dibumi. Segala skandal tinggal kenangan. Rumah-rumah tahanan kosong melompong. Penegak hukum dapat tidur nyenyak. Nenak Minah punya kebun Kakau sendiri. Para maling berbondong-bondong mengembalikan hasil curian dan menulis surat pengakuan dosa. Kehidupan sosial menjadi cermin akhlakul kariimah. Rakyat dan penguasa sama-sama setia pada keimanan. Negara kaya ini benar-benar mewujud seperti sebutan Qur’an; Baldatun thayyibatun wa robbun ghafuur. Mataa yaquumu nashruka ya rabb?