Senin, 22 September 2014

Malam Penganten Helah


Tak ada makhluk lain yang kuserapahi selain Ma’il. Muak mengenang nama lelaki pincang itu. Aku yang sejak dulu merasa selalu menjadi orang baik-baik dibuatnya menjelma seorang pemanggul dendam; mengutuk seraya hendak mencincang tubuhnya selayak penjual daging sapi kiloan di pasaran.
“Katakan pada Ma’il jangan sekali-kali menindak tanah desa ini atau sampai kutemui batang hidungnya bila tak ingin kupenggal lehernya dengan celurit!” olokku pada setiap warga Pangsonok, desa kelahiran anak pengecut itu, yang kerap kujumpai di pasar Kemisan.
Matahari menggantung di atas pasar semakin mengaduk tempurung kepalaku. Remeh temeh transaksi. Merah mataku karena terik itu. Terbakar serasa sekujur badan seperti kayu kering terpanggang di pembaraan. Sejak Ma’il menjadi helah,[1] ingin rasanya betapa kumis rimbunnya kujadikan sangkar burung ketitit.
“Katakan pada pengecut itu, hai orang-orang Pangsonok! Kutunggu carok besok siang di pekuburan Ki Agung Langkar! Ingat, besok tepat siang bolong! Awas kalau tak kalian sampaikan, kalian juga akan turut menerima amarahku!” Sengakku berkali-kali, tetapi  mereka tetap merespon seperti biasa: memandang sinis sebagai orang tak waras.
Sial! Kepalaku serasa meledak, harus mencari perteduhan. Aha, loak penjual perkakas besi. Lumayan di sana. Kulihat-lihat ratusan celurit mana yang kira-kira pas memenggal leher anak pengecut itu. Betapa bagus semua segala jenis tempaan besi melengkung itu. Geramku menyengat. Ah, bayangan Ma’il turut melengkung. Jatuhlah pilihan pada sebuah celurit paling besar, keras, tajam dan mengkilap. Celurit takabuwan.
Lokana dheging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambena kajabana ngero’ dara (daging yang terluka masih bisa dijahit, tapi jika hati yang terluka, tidak ada obatnya kecuali minum darah). Kubayangkan bidang tajam takabuwan mengorok leher Ma’il. Mencincang-cincang tubuhnya menjadi daging kiloan yang akan kujual eceran ke neraka.
E..e…hus…hus. Jangan sentuh barang itu. Pergi sana. Dasar orang gila!” Seketika si penjual merampas celurit itu. Berkali-kali tangannya digerakkan maju-mundur.
***
Ma’il adalah orang yang kupercaya sebagai malaikat yang bisa menolong biduk perkawinanku yang telah retak. Aku mengemis kesudiannya mengawini Marhani, isteriku yang di luar kesadaran kumenjatuhkannya talak tiga. Benar-benar di luar kesadaran. Aku sangat mencintai Marhani. Sumpah, karenanya, dulu aku berani mati sekedar mengais tanda restu orangtua sampai berani bertandang hendak meminang meski sejelasnya jelas berulangkali ditolak mentah-mentah.
“Besar juga nyalimu, Cong! Marhani itu anakku, juragan tembakau! Juragan tembakau! Juragan tembakau!” Geram. Melotot. “Kau orang miskin, berandal, pengangguran. Silsilahmu juga yang tak jelas!” Nyaliku carut-marut tertindas. Kakiku menunduk menjauhi rumah mentereng itu.
Suatu hari pada hari pasaran, Marhani tiba-tiba memanggilku dari jauh. Aku setengah tak percaya mengajak duduk di bawah pohon ketapang. Di pinggiran ujung-ujung jagung menguning di tegalan.
“Maaf karena sikap orangtuaku, Cak,” katanya setengah terbata. Malu, mungkin. “Aku tahu Cacak ke rumahku. Aku senang Cacak hendak meminangku,” Ujung sampirsarungnya dipintal-pintal. Bias matanya menghablur pada batang dan daun jagung.
“Senang? Estoh![2]”Aku kaget campur lega-bahagia. Tekadku tak bertepuk sebelah tangan. Kupikir ia tak suka karena kerap mengindahkan sapaanku.”Oh, berarti kau juga mencintaiku?!” Marhani mengangguk pelan.
Saban hari setelah itu, aku sering menemui Marhani di pasar, di pinggir jalan, atau di tegalan. Merajut tangkai-tangkai asmara secara rahasia. Lain itu, akal terus berjalan memikirkan bagaimana cara mendapatkannya secara ‘halal’. Betapa di desa Pangsenok keagungan norma dan adat desa tak bisa ditolerir dengan apa pun.
Lagi. Kuberanikan diri menemui orangtua Marhani. Lagi. Selalu. Berakhir sama. “Kacong alas, apa yang bisa kau berikan, hah? Pulang, pulang!” Ah, aku diumpatnya lagi.
Sejurus, sisa belajar agama di pesantren berkelindan. Kawin lari! Ya, Kawin Lari! Perbuatan demikian diperbolehkan oleh agama asalkan menempuh jarak perjalanan jauh yang telah ditentukan. Di sana, di tempat pelarian, aku bisa mengawininya melalui wali hakim. Ya! Wali hakim.
Berbulan-bulan aku dan kekasihku Marhani tinggal di luar pulau kelahiran, meninggalkan Madura, menjadi perantau. Melupakan semua kerisauan, termasuk orangtua Marhani akan anak perawan kesayangannya yang raib karenaku. Kami menjadi sepasang suami-istri dan menghabiskan seluruh waktu bersama di perantauan. Sampai kami memutuskan pulang kampung, setelah berpikir matang, guna menjelaskan segala ihwal peristiwa. Mulanya, orangtua Mrhani mendampratku dan menggunjing kepada setiap orang bahwa diriku adalah ahli neraka. Umpatan itu kuterima adanya. Lama-kelamaan restunya menguap meski cukup berat.
“Kau harus membangun rumah sendiri, dan membelikan istrimu perhiasan yang banyak! Kalau gagal, kugali sendiri kuburanmu. Ingat itu, Cong!” Ancam orangtua Marhani. Serasa kelelakianku dilecehkan. Aku tertantang. Kalaupun tidak karena cinta, aku takkan rela dijadikan bahan umpatan dan bahan makian.
Malam larut. Suara jangkrik saling pagut. Angin berdesir di pelepah siwalan. Aku mengiba meminta izin istriku barang satu atau dua tahun merantau guna memenuhi persyaratan itu. Mata Marhani berkelindan haru. Separuh wajahnya terpotong cahaya dhemar talempek.[3] Ia terisak sedang aku mendengus.
Setahun lebih dalam perantauan, cukup ampuh menjadikan kulitku gelap arang tempayan. Tapi aku senang. Setidaknya beberapa lembar uang berwarna merah campur biru langit sudah cukup tebal masuk kantong. Sedikit lagi. Ya, sedikit lagi. Oh, Bagaimanakah kekabar istriku di sana?
Kuterima sepucuk surat darinya. Terperanjatlah aku. Hamil muda setelah kutinggal setahun lebih? Ah, rasanya tak masuk akal! Apakah ia telah selingkuh? Berzinakah dengan lelaki lain? Keputusanku pulang kampung disimbahi letupan amarah. Di dalam perjalanan menuju pulau Madura, mataku selalu panas. Selalu Awas. Geraham tek berhenti beradu. Ingin rasa, sesampai di rumah, kuceraikan Marhani. Dua tahun kutinggalkan, kenapa baru hamil muda? Aneh. Selingkuh!
Dugaanku tak meleset! Marhani tengah bersenda-gurau dengan seorang lelaki muda di teras depan ketika kutapakkan kaki di halaman.”Marhani…! Dasar kau istri durhaka! Neraka!” Kalap tanpa salam. Marhani dan lelaki muda itu terperanjat, panik dan tanya. Kuperhatikan perut istriku ternyata tak sebuncit orang hamil.
“Cak, kau sudah pulang?” Layaknya orang yang seakan tanpa dosa bergegas ia menghampiriku.
“Alah, Jangan memanggilku Cak lagi! Kau istri durhaka! Kualat! Ahli neraka jahanam!”
Kenapa kau berkata demikian, Cak?” heran.
“Istri biadab! Tega kau bermain belakang!”
“Aku tidak mengerti, Cak.
“Alaaah… Kau berbuat selingkuh ketika aku di rantau, bukan? Lihatlah, bersama siapa kau saat ini, hah?! Siapa lelaki itu!” Apa peduliku Marhani terkaget atau tidak. Apa peduliku dengan suaranya tersengal dan nyaris tak dapat berbicara karena guruhan tuduhanku. Dalam situasi semacam ini mustahil keperempuannya melangkahi kelelakianku.
“Buu..bukan. Dia… dia… Dia keponakanku!” Marhani gugup.
“ Alah, banyak alasan! Kucerai saja kau! Talak! Talak! TALAK TIGA!” tuntaslah apa yang hendak kupungkas. Marhani terisak dan minta ampun. Aku tak menolehnya sedikit pun. Segera, kutinggalkan pergi. Ah, apa peduli.
***
Betapa yang bercokol di otakku ternyata tak berbanding lurus dengan apa yang terjadi: surat yang kuterima saat di rantau adalah sepucuk surat basi yang dikirim Marhani setahun sebelumnya, saat ia hamil muda yang kemudian janinnya gugur. Surat itu telat datang. Dan, adalah benar lelaki muda bersamanya bukanlah seorang selingkuhan, melainkan keponakan jauhnya sendiri yang kebetulan sedang bertamu, yang tak kuingat sama sekali. Sesal dan kesal merajam. Semua jadi berantakan!
Kutemui kiaiku sewaktu dulu guna meminta solusi. Beliau menyarankan harus ada pernikahan helah setelah masa ‘iddah.[4] Helah adalah seorang lelaki perantara yang dapat menghalalkan kembali rujukan orang yang sudah ditalak tiga. Ia harus menikahi perempuan yang ditalak tiga itu kemudian harus wathi’.[5] Setelah itu, sesudah helah menceraikannya, lelaki yang pernah menjatuhkan talak tiga boleh rujuk kembali.
Seperti sebuah pelor lepas, jawaban itu merajam jantung. Sakit. Perih. Tak mungkin perempuan yang kucintai dihadiahkan secara cuma-cuma kepada lelaki lain, terlebih dalam pernikahan. Suka tidak suka jalan ini harus kutempuh jika ingin bergaul lagi dengan istriku.
Aku mencari seorang lelaki yang kira-kira tak mungkin dicintai sesiapa saja, termasuk Marhani. Kupilih lelaki paling jelek, dan kalau bisa cacat. Sampai kutemukan Ma’il, anak muda desa Pangsonok bertubuh dekil, kerempeng, dan pincang. Kupinta ia menjadi helah dengan iming-iming seekor sapi jantan. Ia mau bersepakat, bersegera menceraikan setelah mewathi’ istriku.
“Ingat, kau cuma helah, hanya perantara!” ancamku.
Lumayan bisa tenang, walau sebetulnya begitu terpukul dan hasut kepada Ma’il manakala menyatakan ijab-kabul kepada modin di depan kelopak mataku sendiri. Lebih-lebih ketika kuintip malam pertamanya melalui celah-celah tabing.[6] Kusaksikan Ma’il menyantap tubuh istriku. Ma’il mengecup bibirnya, dagunya, dan seterusnya…
Ah, tak tahan! Kesabaran ambruk. Cemburu meletup.
“Dasar pincang! Bajingan kau Ma’il!” Kulabrak pintu kamar, mengobrak-abrik malam pertama mereka. Marhani dan Ma’il yang cuma bertabirkan seutas selimut mendadak terperangah.
“Patek! Bajingan kau!” umpatku. Kugampar sepotong kayu seadanya ke arah kepala Ma’il. Rupanya ia cukup gesit berlari, terpincang-pincang ke luar kamar dengan sehelai sampirsarung.
Kupandangi Marhani. Melongo. Tak percaya.
“Pernikahan ini kehendakmu! Kenapa kau lakukan ini?! Apa sebenarnya yang kau inginkan?”
“Rujuk.”
“Tapi kau buat penikahan ini berantakan!”
“Aku cemburu!”
“Tak bisa kau merujukku tanpa perantara Ma’il!”
Ah, persetan itu agama!”
“Bajingan kau!” umpatan yang pertama kali kudengar seumur hidup dari perempuan yang kugandrungi.
“Aku cemburu, Marhani…! Si pincang mau mencumbui istriku di mataku.”
“Istrimu? Siapa? Aku? Bukankah kau telah mentalak tiga? Aku sekarang bukan istrimu lagi. Istri Ma’il. Aku kini istri Ma’il, bukan istri lelaki biadab macam dirimu!” Kutampar keras pipinya. Tubuhku gemetar dalam penyesalan, tapi egoku tak sudi minta maaf. Kutinggalkan saja dirinya, mengejar si pincang.
Berwaktu-waktu, berhari-hari, berbulan-bulan kuhabiskan memburu jejak Ma’il yang kurang ajar membawa kabur Marhani. Perbincangan orang-orang di pasar, muak kutelan: Ma’il dan Marhani, berdua lebih akur ketimbang denganku. Jelaslah tersinggung. Ma’il tetaplah si pincang pengecut yang lari dengan perempuan kualat. Maka, kerap kali kujumpai orang-orang Pangsonok, tentulah aku menitipkan salam padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar