Senin, 01 September 2014

Ombak Itu Bernama Selingkuh


“Cerai…aku mimpi bu, ada awan yang membumbung ke langit, tinggi…tinggi sekali, kemudian didalam awan tersebut terdapat tulisan; CERAI.. ce-rai…” demikian
keluh Aldy pada ibunya. “hfh…bunda juga tak tahu nak apa yang harus bunda lakukan, hati bunda kacau, bunda nggak bisa mikir, Aldy tidur lagi saja ya…”
“Ya bunda… Bun, ayah belum pulang ?”
”Sebentar lagi nak,tadi sudah sms.”
Konsolidasi di lakukan berkali–kali dalam rumah tangga Hatta dan Niisa, setelah terjadi perselingkuhan tanpa sengaja, dengan alasan iseng dan bosan pada rutinitas rumah tangga, yang menurut Hatta begitu–begitu saja. Dimulai dari kesibukan Niisa menerima jahitan yang semakin lama semakin berkembang, sampai-sampai saking asyiknya, Niisa bisa lupa menyiapkan makan malam, terkadang tak dengar ucapan suaminya dan menjawab sekedarnya saja, dan Niisa kembali terbenam dalam orderan demi orderan para ibu yang menyukai jahitan halusnya. Kata Bu Yani : ”tanganmu tangan malaikat, jahitanmu lebih halus dan bagus dari pada kalau aku beli di boutiq loh Niis, kawan–kawanku bilang baju–bajuku sekarang kelihatan membuatku anggun, aku pesan 3 lagi ya Niis buat tanggal 26 juni, 3 minggu lagi,bisakan niiss…?!” Bermula dari satu, tiga, sekarang Niisa sudah menerima puluhan orderan, namun Niisa kesulitan menggaji orang yang memiliki taste menjahit dan kelembutan cita rasa seperti dirinya. Buat Nissa menjahit adalah bagian dari seni dan ekspresi, keindahan yang dapat di ungkapkan melalui benang dan sulaman pada ujung gaun buatannya dan tak bisa di serahkan begitu saja pada orang lain. Semua keasyikan Niisa semula di dukung Mas Hatta bahkan di syukuri, karena Niisa sedikit banyak membantu penghasilan keluarga, dan hal ini diakui Mas Hatta sendiri bahwa sekarang penghasilan Niisa dari menjahit sudah 3 kali lipat di bandingkan gaji Mas Hatta di kantor imigrasi, bahkan Mas Hatta pun sudah mulai berfikir untuk membuatkan ruangan tambahan di depan rumah buat showroom Niisa dan juga menyicil mobil avanza, dengan bantuan DP mobil dari tabungan Niisa, bahkan Mas Hatta membuatkan stnk atas nama Niisa hingga akhirnya…
Ombak yang bernama selingkuh itu, mampir pada rumah tangga mereka. Pertemuan Mas Hatta dengan Mbak Aning di dealer mobil yang membantu Mas Hatta mengurus surat–menyurat kendaraan beroda empat, dan juga advice-advice aning begitu memikat (maklum untuk menarik hati pembeli, setiap sales marketing di bekali ilmu ”merayu hati pembeli”), dan Mas Hatta bukan saja ingin membawa pulang mobil namun juga ingin membawa pulang Mbak Aningnya sekalian.
Kesibukan Niisa pada jahitan yang semakin bertambah dan ide–ide serta kreasi sulaman baru yang di pelajarinya dari kursus modiste, membuat gairah Niisa semakin tinggi dan keasyikannya membuat Niisa lupa bahwa sudah beberapa minggu ini suaminya selalu tak makan di rumah, dan sudah beberapa hari ini, tak ada telepon ataupun sms dari suaminya, yang biasanya kerap berdatangan bahkan hampir setiap jam, yang dulu membuat niisa merasa kesenangannya menjahit terganggu. Maka tiba–tiba Niisa merasa rindu dan rasanya ada sesuatu yang hilang, hati Niisa menjadi tidak nyaman, perlahan Niisa memencet tuts hp tuanya yang belum di ganti, karena kesibukan Mas Hatta, sehingga janji untuk membelikan Niisa hp baru yang lebih canggih terlupa, Niisa pun mencoba menghubungi suaminya, namun beberapa kali di hubungi jawabannya”not in the service area” dengan gelisah niisa menumpukkan potongan potongan kain yang sudah di bentuk menjadi pola kebaya modern. Dua jam kemudian terdengarlah dering suara hp Niisa dengan suara cerah suaminya : ”kenapa Niis? kamu telepon?”
”yaa…mas di mana? Kok ngak di angkat?”
”mas di sini-sini aja kok Niis, lagi banyak kerjaan, sudah makan sayang?”
sejenak hati Niisa tak enak, sejak kapan Mas Hatta memanggilku sayang dan menanyakan aku sudah makan atau belum.
Kata cerai, akhirnya terucap dari bibir Niisa, ketika suatu pagi Niisa mendapati suaminya terburu–buru pergi dan lupa me-log out facebooknya, dengan iseng Niisa menelusuri imbar facebook suaminya dan terlihat sisa chating dengan seorang perempuan bernama Aning, dan di tutup dengan ucapan : ”Ok, sayang, aku segera menjemputmu, CU,Bye my love.”
Dalam tangisnya di tempat sujud, Niisa hanya dapat berdoa ; ”engkau berikan dia sebagai suamiku, seperti permintaanku dulu -berikan aku seorang suami, seorang qowam yang mampu melindungiku dan membawaku ke surga, bila baik dia untukku, kembalikan dia, bila tidak, pisahkanlah dia dariku dan biarlah engkau sebaik–baik pelindung bagiku.”
Sementara di kamar yang lain Aldy berdoa; ”Ya AllAh, semoga ayah dan bunda tidak bercerai, karena Aldy takut dan malu dengan kawan–kawan bila orang tua Aldy bercerai, dan Aldy tidak mau berpisah dengan ayah, jangan ambil ayah Aldy yaa AllAh, jangan berikan ayah pada perempuan selain bundaku, bagaimana caranya agar mereka tidak bercerai ya Allah, tolonglah aku, oh ya namaku aldy, anak Bu Niisa, ayahku Pak Hatta, ya Alloh,” gumam Aldy sambil menutup mukanya yang basah bersapukan air mata.
Hmm…sejenak aku berfikir siapakah yang menjadi korban utama dari pada sebuah perselingkuhan yang mengakibatkan perceraian? Apakah adil bila anak–anak selalu menjadi korban atas keisengan, kesibukan, pertengkaran dan hawa nafsu orang tua? Bila aku menjadi Aldy aku akan berteriak di atas awan dimanakah letak keadilan pada anak–anak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar