Kamis, 18 September 2014

Petaka Cinta Remaja


 

Kasus larinya seorang mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri karena mengejar sang pacar, cukup menghebohkan. Pasalnya ia nekad menghilang dari rumah dan meninggalkan kuliahnya, padahal sang ayah berani mati-matian menjual ginjalnya untuk pendidikan masa depannya.

Begitupula beberapa saat yang lalu, kita dikejutkan dengan pembunuhan Angelina Sara oleh mantan kekasihnya yang membuat kita menggelengkan kepala. Mahasiswi ini meregang nyawa, saat dirinya disekap dan disiksa dalam mobil pribadi tersangka. Lucunya, kekasih dari tersangka ikut membantu aksi pelaku, lantaran dibakar api cemburu.

Di kemudian hari, hal yang serupa tapi tak sama juga terjadi dikalangan pemuda ibukota lainnya. Seorang pemudi tewas dihabisi oleh mantan kekasih yang dibantu oleh rekan-rekannya, karena sakit hati yang diderita. Sungguh ironi, merujuk bahwa cinta berujung dengan bahagia, bukan dengan petaka.

Fenomena cinta remaja yang terjadi di sekitar kita, seolah membuka mata bahwa banyak orangtua yang melalaikan tugasnya. Fungsi pengajaran dan pengawasan, kini mulai terserabut dari akar didikan norma para orangtua. Orangtua lebih suka menyerahkan anaknya, untuk dididik oleh pihak lain seperti sekolah atau bahkan yang lebih buruk lagi, pembantu rumah tangga. Lemahnya sikap serta perilaku mendidik yang diberikan orangtua kepada anaknya kini, menjadikan pribadi sang anak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Walhasil, muncullah generasi ‘cabe-cabean’ dan ‘terong-terongan’ dikalangan remaja belia, sebagai buah dari kelalaian orangtua.

Sebagai muslim, tentu kita sadar betul bahwa mengembalikan fungsi parenting adalah kewajiban. Kegagalan orangtua dalam mendidik anaknya, akan menjadi hal yang mesti dipertanggungjawabkan kepada sang Khalik. Bahkan dalam suatu riwayat, para orangtua bisa saja masuk neraka, meski mereka telah melakukan banyak amalan ibadah. Mengapa? Sebab mereka tak mampu menularkan ‘semangat beribadah’ kepada sang anak serta mendidik anaknya untul rajin beribadah. Olehkarena itu, menjadi faktor terpenting bagi para orangtua untuk mendidik anaknya dengan pemahaman agama.

Sepintas memang tidak mudah untuk memulai mendidik anak-anak generasi masa kini. Tak tersekatnya batas pergaulan serta media informasi pengetahuan, menjadikan beberapa orangtua merasa kelimpungan terhadap sikap dan perilaku sang anak. Namun, melalui cinta ,pemahaman serta karakter yang kuat dari para orangtua, mendidik anak bisa saja menjadi hal yang sesulit dibayangkan. Hal tersebut dapat dicapai oleh tingkat keimanan orangtua, dan luasnya wawasan terhadap sendi-sendi nilai kehidupan. Dengan demikian, kedepan kita tentu boleh berharap bahwa ummat ini bangkit karena mental keimanan para orangtua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar