Senin, 25 Agustus 2014

Pesona Kekuatan Iman Sahabat Rasul

 
Kaum Muslimin harus menghadapi pasukan musyrik Quraisy yang merupakan kerabat mereka sendiri dalam Perang Badar Kubra. Nampaklah gambaran mempesona yang menampakkan kekuatan iman dan kekokohan pijakan dari para sahabat. 

Perang Badar Kubra adalah ujian pertama bagi kaum Muslimin di Madinah. Betapa tidak, dalam perang ini kaum Muhajirin harus berhadapan dengan kerabat mereka sendiri dari Makkah yang masih musyrik. Bapak berhadapan dengan anak, keponakan berhadapan dengan pamannya dan dua orang yang bersahabat di masa jahiliyah juga harus berhadapan. Akan tetapi pijakan masing-masing berbeda dan kedua belah pihak dipisah dengan pedang, yang satu harus menundukan yang lain dan kemarahan pun menjadi lebur.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw bersabda kepada para sahabat, “Sesungguhnya aku tahu ada beberapa orang dari Bani Hasyim, dan lain-lainnya yang diajak pergi paksa. Mereka tidak merasa perlu memerangi kita. Maka barangsiapa bertemu dengan seseorang Bani Hasyim, janganlah membunuhnya. Barangsiapa bertemu Abul Bakhtari bin Hisyam janganlah membunuhnya. Barangsiapa bertemu Al Abbas bin Al Muththalib, janganlah membunuhnya. Sesungguhnya dia diajak pergi dengan paksa”.
Abu Hudzaifah bin Utbah berkata,”Apakah kami boleh membunuh bapak kami, anak, saudara, kerabat kami dan membiarkan Al Abbas? Demi Allah andaikata aku bertemu denganya, aku pasti akan membabatnya dengan pedang.”
Rasulullah Saw mendengar apa yang dikatakan Abu Hudzaifah ini. Lalu beliau bertanya kepada Umar bin Al-Khatahab, “Wahai Abu Hafsh, layakkah paman Rasul Allah dibabat dengan pedang?.”
Umar menjawab, “Wahai Rasululah berikan kesempatan kepadaku untuk membabat lehernya dengan pedang. Demi Allah, dia telah munafik.”
Abu Hudzaifah berkata,”Aku merasa tidak aman dengan kata-kata yang pernah kuucapkan pada saat itu. Aku senantiasa dihantui rasa takut kecuali jika aku bisa menebusnya dengan mati syahid.” Akhirnya Abu Hudzaifah benar-benar terbunuh seorang syahid pada perang Al-Yamamah.
Beliau melarang membunuh Abul Bakhtari, karena dulu dia adalah orang yang paling sering melindungi Rasulullah Saw selagi masih berada di Makkah. Dia juga tidak pernah mengganggu beliau atau menimpakan sesuatu yang membuat beliau tidak senang. Dia juga termasuk orang yang berinisiatif menggugurkan piagam pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib.
Sekalipun begitu Abul Bakhtiar tetap terbunuh. Hal ini terjadi karena Al-Mujadzdzar bin Ziyad al-Balwi bertemu dengannya di tengah pertempuran yang sedang bersama seorang rekanya. Mereka berdua sama-sama berperang. Al-Mujadzdzar berkata, “Wahai Abul Bakhtiar, sesungguhnya Rasulullah Saw telah melarang kami untuk membunuhmu.”
“Lalu bagaimana dengan temanku ini?” tanya Abul-Bakhtiar.
“Tidak Demi Allah. Kami tidak akan membiarkan temanmu,’ jawab Al-Mujadzdzar.
“Demi Allah, kalau begitu aku akan mati bersama-sama dengannya.” Jawab Abul Bakhtiar.    Lalu mereka berdua melancarkan serangan sehingga Al-Mujadzdzar membunuh Abul Bakhtiar.
Abdurahman bin Auf dan Ummayah bin Khalaf merupakan teman karib semasa jahiliyah di Makkah. Pada perang Badar itu Abdurrahman melewati Ummayah bin Khalaf yang sedang berpegang tangan dengan anaknya, Ali bin Umayyah. Sementara itu Abdurrahman membawa beberapa sebuah baju besi dari hasil rampasan. Tatkala melihatnya, Umayyah bertanya, “Apakah engkau ada perlu denganku?” Aku lebih baik dari pada baju-baju besi yang engkau bawa itu. Aku tidak pernah mengalami kejadian seperti hari ini. Apakah kalian membutuhkan susu?” artinya Umayyah akan memberikan tebusan berupa beberapa onta yang banyak menghasilkan air susu jika dia tertawan.
Abdurahman membuang baju-baju besi yang dibawanya, lalu menuntun Umayyah dan anaknya untuk jalan. Inilah penuturanya,”Tatkala aku sedang berjalan sambil mengempit tangan mereka berdua di kanan kiriku, Umayyah bin Khalaf bertanya kepadaku, “Siapakah seseorang di antara kalian yang mengenakan tanda pengenal di dadanya berupa sehelai bulu burung onta?”
“Dia adalah Hamzah bin Abdul Muththalib,”jawabku.
“Dialah orang yang paling banyak menimpakan bencana di pasukan kami,” kata Umayyah.
Demi Allah, selagi jalan aku mengampit tangan mereka berdua, tiba-tiba Bilal melihat Umayyah, yang waktu di Makkah dulu dialah yang telah menyiksanya.
Bilal berkata,”Dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat.”
“Wahai Bilal, dia dalah tawananku,” kataku.
“Aku tidak selamat jika dia masih selamat,” katanya sekali lagi.
“Apakah engkau mendengarku wahai Ibnu Sauda?’ tanyaku.
Namun ia tetap berkata seperti tadi. Setelah itu ia berteriak dengan suara nyaring,”Wahai para penolong Allah, dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat.”
Lalu mereka mengepung kami bertiga, sehingga membuat kami seperti berada di tempat pemotongan ikan. Aku berusaha melindungi Umayyah. Namun ada seseorang menghunus pedangnya lalu membabatnya tepat mengenai anak Umayyah. Umayyah berteriak amat keras, dan tidak pernah kudengar dia berteriak sekeras itu.
“Cari selamat sebisamu, karena tidak ada lagi keselamatan di sini. Demi Allah aku tidak membutuhkanmu sedikitpun,” kataku. Lalu mereka menyabetkan pedang kepada mereka berdua hingga tidak berkutik lagi.
“Semoga Allah merahmati Bilal. Baju-baju besiku sudah hilang dan hatiku menjadi galau gara-gara tawananku,” kataku.
Di dalam Zadul Ma’ad disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf berkata kepada Umayyah, ”Telentangkan badanmu!” maka Umayyah pun melentangkan badannya, lalu Abdurrahman melentangkan badannya di atas badan Ummayyah. Lalu mereka tetap menusuk-nusukkan pedang ke badan Umayyah yang ditindih Abdurahman, akibatnya ada di antara pedang mereka yang juga mengenai badan Abdurrahman.
Dalam peperangan ini pula Umar bin Khaththab ra membunuh pamannya sendiri, Al Ash bin Hisyam bin Al Mughirah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar