SEJAK dunia didominasi oleh frame berpikir
materialisme, hampir semua masyarakat di seluruh penjuru bumi memahami
pendidikan sebatas investasi masa depan agar generasi sebagai seorang
individu bias memiliki skill dan bisa meraih kesenangan duniawi.
Tidak heran jika hari ini muncul banyak pakar tapi sesungguhnya buta terhadap pemahaman syari’ah agamanya sendiri. Banyak pakar yang mengaku hukum Islam, tapi tidak mengerti al-Qur’an dan Hadits.
Dampak dari semua itu adalah banyak orangtua bingung mengatur jadwal anak mereka les matematika, bahasa Inggris, musik, les biola, namun tidak merasa khawatir anaknya tak mampu membaca dan memahami kandungan al-Qur’an, yang itu justru kewajiban yang harus ditunaikan atas keyakinan agamanya sendiri.
Bahkan, tidak jarang banyak ditemukan orangtua tidak merasa gelisah ketika anak-anaknya sudah masuk usia ambang baligh tapi belum tuntas dalam urusan kewajiban-kewajiban seperti sholat.
Sesungguhnya Islam, sama sekali tidak menolak pemahaman yang demikian itu. Dalam al-Qur’an Allah telah memberikan petunjuk bahwa tidak satu pun Nabi dan Rasul yang diutus melainkan memiliki skill khusus yang menunjang kehidupan mereka sebagai manusia yang membutuhkan rizki halal yang sekaligus menjalani misi kenabian mereka.
Nabi Nuh adalah arsitek perkapalan, Nabi Musa seorang penggembala, Nabi Ibrahim arsitek bangunan, Nabi Daud ahli metalurgi, Nabi Sulaiman ahli meteorologi dan geofisika, Nabi Yusuf ahli ekonomi dan keuangan negara, dan Nabi Muhammad adalah pakar bisnis dan perdagangan.
Tetapi di balik keahlian yang mereka miliki, mereka tetap berada pada fokus dan orientasi keimanan, sehingga keahlian yang mereka miliki tidak menjadikan mereka ambisius terhadap kehidupan dunia. Sebaliknya justru menjadi media utama untuk mengajak manusia pada jalan iman. Hal inilah yang berhasil dibangun oleh para orangtua pada tujuh abad pertama Hijriyah.
Kala itu, tidak satu pun ilmuwan yang tidak hafal al-Qur’an, taat beribadah dan komitmen terhadap ilmu dan iman. Sebut saja misalnya, Fakhruddin Al-Razi, ia adalah pakar matematika yang juga ahli tafsir, Ibn Sina, seorang dokter yang juga pakar al-Qur’an, dan Imam Ghazali seorang rektor universitas ternama di zamannya yang pakar filsafat dan juga ahli makrifat.
Dengan kata lain, tidak sepatutnya para orangtua memahami pendidikan secara dikotomis, di mana di satu sisi anak didorong untuk benar-benar menguasai satu keahlian dunia, tetapi di sisi lain, apa yang semestinya dimiliki anak kita dengan penuh kebanggaan, yakni iman dan takwa justru terabaikan dan dianggap nomor dua.
Jika hal ini terjadi, maka akan selalu lahir banyak orang ahli dalam berbagai bidang, namun hati/pikiran dan keahliannya tidak dikawal oleh iman dan agama mereka.
Akhirnya, mudah kita temukan banyak orang ahli, tetapi kehadirannya di dunia tidak mendatangkan kemaslahatan, justru menjadikan musibah.
Tujuan Pendidikan
Agar anak-anak kita ke depan mampu meneladani kehebatan, kecerdasan dan keluhuran akhlak para ulama, intelektual dan profesional di tujuh abad pertama Hijriyah, orangtua harus kembali memahami sekaligus memahmkan tujuan pendidikan dalam Islam.
Menurut Imam Ghazali, tujuan pendidikan harus mengarah kepada terealisasinya tujuan keagamaan dan akhlak dengan titik tekan pada perolehan keutamaan taqarrub kepada Allah
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariya [51]: 56).
Bukan hanya sekedar untuk mencari kedudukan tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Jika pendidikan diarahkan pada selain untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka inilah awal dari terbukanya jalan menuju kerugian dan kemudharatan.
Terkait bagaimana mengarahkan pendidikan pada tujuan taqarrub kepada Allah Ta’ala ini secara eksplisit telah Allah tegaskan melalui pendidikan yang ditanamkan oleh Luqman Al-Hakim kepada putranya.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13).
Kemurnian iman seorang anak akan memudahkan langkah berikutnya untuk menjalankan kewajiban asasinya, yakni berbakti kepada kedua orangtua, mendirikan sholat, amar ma’ruf nahi munkar, sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, berakhlak mulia alias tidak sombong dan berkata benar (jujur).
Dengan kata lain, manakala orangtua sudah melihat kriteria utama yang merupakan kewajiban asasi seorang Muslim yang mesti dikawal oleh para orangtua terhadap pribadi dan karakter putra-putrinya mewujud, maka bisa dikatakan, tujuan pendidikan yang Allah tegaskan benar-benar telah tercapai.
Manakala tidak, maka sungguh orangtua harus berusaha maksimal mengarahkannya pada tujuan utama pendidikan tersebut. Karena kelak, di hari kiamat, setiap orangtua akan dimintai pertanggungjawaban perihal bagaimana anak-anaknya dididik.*/Imam Nawawi
Tidak heran jika hari ini muncul banyak pakar tapi sesungguhnya buta terhadap pemahaman syari’ah agamanya sendiri. Banyak pakar yang mengaku hukum Islam, tapi tidak mengerti al-Qur’an dan Hadits.
Dampak dari semua itu adalah banyak orangtua bingung mengatur jadwal anak mereka les matematika, bahasa Inggris, musik, les biola, namun tidak merasa khawatir anaknya tak mampu membaca dan memahami kandungan al-Qur’an, yang itu justru kewajiban yang harus ditunaikan atas keyakinan agamanya sendiri.
Bahkan, tidak jarang banyak ditemukan orangtua tidak merasa gelisah ketika anak-anaknya sudah masuk usia ambang baligh tapi belum tuntas dalam urusan kewajiban-kewajiban seperti sholat.
Sesungguhnya Islam, sama sekali tidak menolak pemahaman yang demikian itu. Dalam al-Qur’an Allah telah memberikan petunjuk bahwa tidak satu pun Nabi dan Rasul yang diutus melainkan memiliki skill khusus yang menunjang kehidupan mereka sebagai manusia yang membutuhkan rizki halal yang sekaligus menjalani misi kenabian mereka.
Nabi Nuh adalah arsitek perkapalan, Nabi Musa seorang penggembala, Nabi Ibrahim arsitek bangunan, Nabi Daud ahli metalurgi, Nabi Sulaiman ahli meteorologi dan geofisika, Nabi Yusuf ahli ekonomi dan keuangan negara, dan Nabi Muhammad adalah pakar bisnis dan perdagangan.
Tetapi di balik keahlian yang mereka miliki, mereka tetap berada pada fokus dan orientasi keimanan, sehingga keahlian yang mereka miliki tidak menjadikan mereka ambisius terhadap kehidupan dunia. Sebaliknya justru menjadi media utama untuk mengajak manusia pada jalan iman. Hal inilah yang berhasil dibangun oleh para orangtua pada tujuh abad pertama Hijriyah.
Kala itu, tidak satu pun ilmuwan yang tidak hafal al-Qur’an, taat beribadah dan komitmen terhadap ilmu dan iman. Sebut saja misalnya, Fakhruddin Al-Razi, ia adalah pakar matematika yang juga ahli tafsir, Ibn Sina, seorang dokter yang juga pakar al-Qur’an, dan Imam Ghazali seorang rektor universitas ternama di zamannya yang pakar filsafat dan juga ahli makrifat.
Dengan kata lain, tidak sepatutnya para orangtua memahami pendidikan secara dikotomis, di mana di satu sisi anak didorong untuk benar-benar menguasai satu keahlian dunia, tetapi di sisi lain, apa yang semestinya dimiliki anak kita dengan penuh kebanggaan, yakni iman dan takwa justru terabaikan dan dianggap nomor dua.
Jika hal ini terjadi, maka akan selalu lahir banyak orang ahli dalam berbagai bidang, namun hati/pikiran dan keahliannya tidak dikawal oleh iman dan agama mereka.
Akhirnya, mudah kita temukan banyak orang ahli, tetapi kehadirannya di dunia tidak mendatangkan kemaslahatan, justru menjadikan musibah.
Tujuan Pendidikan
Agar anak-anak kita ke depan mampu meneladani kehebatan, kecerdasan dan keluhuran akhlak para ulama, intelektual dan profesional di tujuh abad pertama Hijriyah, orangtua harus kembali memahami sekaligus memahmkan tujuan pendidikan dalam Islam.
Menurut Imam Ghazali, tujuan pendidikan harus mengarah kepada terealisasinya tujuan keagamaan dan akhlak dengan titik tekan pada perolehan keutamaan taqarrub kepada Allah
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariya [51]: 56).
Bukan hanya sekedar untuk mencari kedudukan tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Jika pendidikan diarahkan pada selain untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka inilah awal dari terbukanya jalan menuju kerugian dan kemudharatan.
Terkait bagaimana mengarahkan pendidikan pada tujuan taqarrub kepada Allah Ta’ala ini secara eksplisit telah Allah tegaskan melalui pendidikan yang ditanamkan oleh Luqman Al-Hakim kepada putranya.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13).
Kemurnian iman seorang anak akan memudahkan langkah berikutnya untuk menjalankan kewajiban asasinya, yakni berbakti kepada kedua orangtua, mendirikan sholat, amar ma’ruf nahi munkar, sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, berakhlak mulia alias tidak sombong dan berkata benar (jujur).
Dengan kata lain, manakala orangtua sudah melihat kriteria utama yang merupakan kewajiban asasi seorang Muslim yang mesti dikawal oleh para orangtua terhadap pribadi dan karakter putra-putrinya mewujud, maka bisa dikatakan, tujuan pendidikan yang Allah tegaskan benar-benar telah tercapai.
Manakala tidak, maka sungguh orangtua harus berusaha maksimal mengarahkannya pada tujuan utama pendidikan tersebut. Karena kelak, di hari kiamat, setiap orangtua akan dimintai pertanggungjawaban perihal bagaimana anak-anaknya dididik.*/Imam Nawawi
Rep:
Anonymous
Editor: Cholis Akbar