By : BAHRAWI (Ketua Yayasan Al-Jazirah Karangpenang Sampang)
Konon
nabi Ibrohim as dikarunia seorang anak bernama Ismail anak kesayangan yang
kemudian diperintahkan oleh Allah lewat mimpi untuk menyembelihnya. Mula-mula
Ibrahim as sangsi atas apa yang menimpanya, dalam usia Ismail yang ke tujuh
tahun ia dibawa oleh ayahnya untuk melaksanakan pengorbanan sebagai wujud
persembahan cinta terhadap pencipta, tapi tidak ada yang tahu kehendak Allah.
Akhir kisah sebelum pisau Ibrahim as menggorok leher Ismail as, seekor domba
besar diutus oleh Allah menggantikan posisi Ismail as, setelah akhirnya nyata
kesetiaan dan cinta Ibrahim teruji dan memuaskan.
Kisah itulah
yang sampai sekarang diadopsi masyarakat muslim sebagai akar tumbulnya ritual
qurban yang dilakukan rutin setiap tahun, dan tidak ada alasan menolak
formulasi yang telah digariskan baik secara daliliyah maupun histories itu,
terutama sekali bahwa ada kesesuaian antara waktu qurban Nabi Ibrahim as dengan
realisasi qurban saat ini, yakni tanggal 10 Dzul Hijjah terlepas dari tasrik
juga termasuk ke dalam waktu berqurban.
Tapi
bagaimanapun, kerangka pijakan sejarah sebenarnya tetap saja dikembangkan dari
dalil-dalil yang justru dari situlah acaun dasar ditetapkannya hukum praktek
qurban. Itulah sebabnya bahwa perumusan qurban-qurban menjadi ritual tidak
lepas dari teori daliliyah yang ada saat ini. Dalil tersebut banyak kita
temukan dalam nast al-qur’an dan redaksi al-hadist, misalnya dalam surat Al-Kautsar ayat dua
yang menyatakan maka dikirikanlah sholat karena tuhanmu dan berqurbanlah.
Ditambah lagi dengan adanya redaksi hadist yang diceritakan oleh Imam Ahmad dan
Ibnu Majah yang menyebutkan bagi seorang muslim yang mampu berqurban akan
tetapi tidak melaksanakan, maka sabda Nabi jangan sekali-kali dating di tempat
sholat kami.
Maka dari itu
ada dua kemungkinan dua hukum realisasi qurban, dan memang demikian pendapat
sekaligus pertentangan para ulama’. Ada
sebagian menetapkan hukunya wajib, berdasarkan redaksi hadist diatas ada pula
sebagian lainnya menetapkan sebagai prilaku sunnah.
Hikmah Qurban
Setiap perintah
Allah pasti mengandung hikmah meskipun kadangkala hikmah tersebut hanya
diketahui oleh meraka yang memang diberi karunia oleh Allah untuk mengetahui
hikmah tersebut maka ia akan mendapatkan kebaikan yang banyak.
Sayyidina Ali
karromallahu wajhah, pernah berkata “Barang siapa yang keluar dari rumahnya
untuk membeli qurban, maka setiap langkahnya akan mendapat sepeluh kebaikan dan
menghapus sepuluh kejelekan dan diangkatnya derajatnya sepuluh kali lipat dan
apabila pada waktu membeli berbicara maka pembicaraannya dan apabila membayar
harganya maka satu dirham mendapat tujuh ratus kebaikan, dan apabila meletakkan
qurban tersebut ketanah untuk disembelih,maka semua makhluk ditempat itu sampai
kebumi yang ketujuh akan membacakan istighfar kepadanya dan apabila ia
mengalirkan darhnya, maka setiap tetas darah Allah jadikan malaikat yang memintakan
ampun kepadanya sampai hari kiamat, dan apabila dagingnya dibagi bagikan maka
setiap satu suap seperti memerdekakakan budak dari anak buahnya Nabi Ismail
as”.
Selama ini,
secara konseptual yang beredar, selalu sepakat adanyak praktek berkurban adalah
diilhami atas prilaku Nabi Ibrahim as yang dibilang sangar dramatis. Beliau
membuktikan rasa cinta dan kesetiaan dengan mengorbankan Islam puteranya yang
disayangi melebihi segalanya. Pada titik itulah puncak penyerahan jiwa
tertinggi yang kadang kala sulit untuk diilustrasikan dengan kalimat sampai
kemudian ternyata disembelih Ibrahim as seekor domba.
Domba hanyalah
sebagai badal (pengganti) dari
pengorbanan, dan paling tidak domba merupakan suatu yang sedikit lebih banyak
bernilai bagi siapapun. Tidak hanya domba, justru yang tak kalah tinggi
harganya adalah sapi atau bahkan unta, keduanya sama-sama terbilang hewan
qurban, dengan kata lain semakin tinggi nilai qurban yang dikelurkan maka
semakin besar perngorbanan atas nama Tuhan, karena pada dasarnya mempersembakan
qurban berarti sama dengan mempersembahkan suatu untuk dirinya sendiri maka
jelas dengan ini semakin tinggi bukti ketaatannya, terhadap agama dan terhadap
Tuhannya.
Memang saat ini
sepintas seorang yang mengelurakan qurban memang selalu bertujuan membagikan
daging sembelihannya kepada orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Kaitannya
dengan konteks diatas adalah bahwa terdapat pengertian serupa antara praktik
qurban dengan realisasi zakat, yakni membagikan atau memberi harta benda kepada
orang lain, akan tetapi dalam ruang yang lain terdapat ganjaran besar yang akan
kemabali pada dirinya sendiri.
Setiap ibadah
yang terkandung dalam islam dituntut tidak hanya bersifat ritual belaka tanpa
adanya efek terhadap hal lain diluar ritual tersebut, misalkan sholat,
bagaimana mungkin nilai dan hikmah yang ada dalam sholat bias dipraktekkean
diluar sholat, atau juga puasa. Esensi puasa diharapkan bisa menjadi inspirasi
terhadap prilaku kehidupan manusia dengan yang lainnya, begitu juga dengan
qurban.
Islam bukan
saja menghubungkan antra manusia dengan Tuhannya, namun juga mengatur
keterikatan hubungan antara manusia berbuat baik kepada orang lain. Prilaku
mengindahkan nilai keislaman sebagai bentuk kepatuhan terhadap agama menjadi
hal yang terpenting dalam kehidupan manusia sebagai seorang kholifah dan hamba dimuka bumi.
Praktik qurban
yang banyak kita temukan dikalangan masyrakat saat ini terkandung keuntungan
timbal balik (fitback), berupa kandungan ibadah secara personal kepada Tuhan
atas persembahannya. Kemudian juga adanya kandungan nilai sosial yang tentu
saja lebih tampak sebagai saling berbagi antara sesama demi kelangsungan hidup
yang utuh.
Kesimpulannya
antara ibadah vertikal dan horizontal dalam realisasi qurban ibarat dua sisi
mata uang yang tidak bisa dipisahkan begitu saja atau paling tidak keduanya
pada akhirnya realisasi qurban sebagai bentuk ”kesalehan ritual dan kesalehan sosial”
Ditengah
kondisi bangsa dan masyrakat seperti sekarang sepatutnyalah keasadaran ini
harus dipupuk agar kehidupan agama benar-benar mempuyai peran signifikan dan
merekontruksi bangunan kehidupan masyrakat. Amiin………