by: Echiey Hisaan, Pekanbaru Pengelola Rumah Tahfidz dan Aktivis
Ada begitu banyak pohon di negeri ini, tapi mungkin barangkali
sedikit yang mengambil pelajaran dari kehidupan sebatang pohon. Jika
anda berpergian, apakah itu dalam rangka kerja, wisata, silaturahim,
ataupun hanya sekedar jalan-jalan menghabiskan waktu, tidakkah anda
perhatikan bagaimana sebuah pohon mengarungi kehidupannya. Baiklah kita
mulai belajar dari sebatang pohon saja. kita lihat dan perhatikan betapa
ia mahluk yang tabah dan sabar, ikhlas dalam menjalani cobaan-cobaan
dalam hidupnya.
Ketika ia mulai tumbuh, meskipun ia tidak di pedulikan oleh siapapun,
ia tidak patah semangat untuk tetap tumbuh lebih baik. Tidak menangis
minta di perhatikan dan tidak menuntut makanan yang lezat-lezat. Ketika
mulai dewasa, ia tidak suka berjalan-jalan, tidak minta pindah tempat,
juga ia tidak minta untuk populer agar dapat dikenal diseluruh penjuru
bumi.
Ketika ia mulai berprestasi, menghasilkan daunnya yang segar dan
cabang-cabangnya yang menawan, ia tidak menuntut adanya upah kerja, dan
tidak minta penghargaan maupun minta apresiasi dari lembaga pohon di
dunia ini. Ketika hujan datang, ia tidak meminta di payungi, tidak
keberatan dengan suhu yang dingin dan selalu bersahaja menghadapi
kedinginan oleh derasnya hujan yang menerpa tubuhnya.
Ketika panas terik membakar bumi, ia juga tidak pernah mengeluh,
tidak marah-marah dan protes atas nasibnya yang harus selalu di terpa
panasnya cuaca dan sinar matahari, tanpa bisa menghindar atau setidaknya
pindah sesaat hingga mendung datang. Ketika di ludahi, dikencingi, dan
di paku-paku kulitnya oleh orang-orang yang iseng, ia tidak pernah balik
meludahi, tidak mengajak berkelahi, dan tidak pernah menuntut akan
harga dirinya.
Ketika malam datang, ia tidak khawatir oleh keadaan yang sendirian,
tidak minta tukar nasib, tidak sedih karna gelapnya malam dan terjauh
dari sinar cahaya, tidak takut pada mahluk lainnya. Ketika ia di
kerubuti pasukan serangga yang menjarah dirinya, malah ia sediakan
buahnya dan ia korbankan dirinya bahkan mesti harus lapuk dan mati.
Ketika ia di ganggu, di lempari batu, ia tidak menangis apalagi
mengumpat, malah ia berikan buahnya kepada orang-orang yang
melemparinya. Dalam keadaan demikian dan terus menerus berulang pada
hari-harinya, ia terus menjalani kehidupannya dengan sabar dan ikhlas.
Tidak pula ia pertanyakan batas waktu sampai kapan semua akan berakhir.
Begitulah kuat dan tabahnya sebatang pohon dalam menjalani hari-harinya.
Kebungkaman dan kediamannya bukan karna ia lemah dan penakut,
melainkan karna ia mengerti akan tugas dan fungsinya selama berada di
dunia ini. Dan tentunya masih banyak lagi sikap positif dari sebatang
pohon yang dapat kita rangkaian dalam kata-kata selain dari yang ada
pada tulisan ini.
Hikmah dari kekuatan kesabaran yang di miliki oleh pohon tersebut
adalah wujud dari kepasrahan dan keikhlasannya kepada sang pencipta.
Ikhlas menjalani tugas dan fungsinya, semata-mata karna mencintai dan
mewujudkan penghambaannya kepada sang pencipta. Manusia, jika mampu
bersabar dan ikhlas pada setiap apa yang menimpanya, tentulah tidak ada
celah duka dan nestapa yang masuk ke dalam hatinya. Tidak ada marah dan
kecewa yang mengganggu ketenangan jiwanya. Tidak ada mengumpat dan
memaki dalam pikirannya. Dan tidak pula ia menuntut terlalu banyak dalam
kehidupannya.
Keikhlasan dan kepasrahan dalam menjalani apa saja yang menimpanya
dalam kehidupan ini pasti akan terasa ringan olehnya. Dadanya menjadi
lapang, batinnya tabah, jiwanya menjadi tenang, karna mengerti akan
tugas dan fungsinya berada dalam kehidupan ini. Sehingga akhirnya ia
dapat mengerti hakikat hidup di dunia ini adalah cobaan demi cobaan.
“Dialah yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya,…” (QS. AL-MULK:2).
Semoga sedikit demi sedikit kita dapat menjalani sikap sabar dari
sebatang pohon, hari demi hari kita tambahkan lagi kepahaman kita akan
hakikat cobaan dan ujian yang menerpa hari-hari kita. Sehingga kita
mengerti akan hidup ini dan dapat merasakan manisnya sikap ikhlas.
Insyallah……..
Keempat, al-Salamah (kemananan dan keselamatan).
Di antara indikator mutu keislaman seseorang adalah mudah harmonis dan mudah diharmoniskan, tiada kebaikan sedikitpun keimanan seorang yang tidak mudah jinak dan mudah dijinakkan dengan sesama (al-Hadits).
Karena orang beriman itu hanya menomorsatukan kepentingan Allah Subhanahu Wata’ala , ridha Allah. Ia siap lebur untuk didominasi oleh kepentingan itu. Slogan orang bermiman “Allahu Ghoyatuna” (Allah puncak tujuan hidup kami). Orang beriman itu bagaikan lebah, jika ia mengkonsumsi sesuatu berupa putik bunga mawar dan bila mengeluarkan sesuatu berupa madu, dan jika hingga di daun tidak merusaknya (al-Hadits).
Di manapun kaum muslimin berada, maka lingkungan sosialnya selamat dari mulutnya, tangannya. Dan dalam sebuah komunitas, sifat yang dikedepankan adalah berbicara yang baik atau diam. Suka menghormati tetangga dan tamu. Ia yakin jika sukses menjalin komunikasi dengan orang-orang terdekatnya, merupakan modal untuk berinteraksi dengan lintas golongan, etnis, suku dan partai.
Sedangkan orang Yahudi pada ayat di atas bagaikan lalat. Tempatnya di sekitar sampah dan tempat pembuangan kotoran, kemanapun ia pergi membawa penyakit. Ada dua konsep yang menjadi term utama komunitas Yahudi. Pertama, farriq tasud (mereka suka membuat konflik), Kedua, farriq, tu’rof (berbeda, supaya dikenal).
لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعاً إِلَّا فِي قُرًى مُّحَصَّنَةٍ أَوْ مِن وَرَاء جُدُرٍ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ
“Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr (59) : 14).
Rasulullah bersabda : “Persatuan adalah rahmat (kasih sayang) dari Allah dan perpecahan adalah siksa.” (al-Hadits).
Karakter utama orang Islam senang mewujudkan, memelihara dan membela eksistensi ukhuwwah Islamiyah. Karena ia yakin karunia terbesar dalam kehidupan ini persaudaraan setelah nikmat Iman.
Lebih baik kalah, tetapi tetap solid daripada menang tetapi bercerai. Kemenangan yang tidak melahirkan persatuan, melahirkan konflik baru yang lebih dahsyat. Sedangkan karakter dasar orang Yahudi suka merawat dan melestarikan persatuan. Karena ia memposisikan diri sebagai srigala bagi yang lain. Pameo mereka, hari ini apa yang bisa dimakan, dan besok siapa yang kita makan.
Kelima, al-Islam bermakna penyerahan diri secara total kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Jadi berislam itu mengajarkan sikap independen. Ia hanya bersedia sebagai hamba Allah . Bukan hamba kepentingan, hamba kekuasaan, hamba wanita, hamba perut, hamba farji, hamba mayoritas dan hamba minoritas. Ia hanya mengakui kebenaran mutlak itu bersumber dari-Nya.
Muslim memahami cara berakhlak kepada Al-Khaliq. Mencintai, mengagungkan, beribadah (ngawula), sami’na wa ‘atha’na terhadap segala ketentuan yang ditulis maupun yang tidak tertulis (kalimatullah dan khalqullah).
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al Anam (6) : 162).*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah