Oleh: Shalih Hasyim
Keempat, al-Salamah (kemananan dan keselamatan).
Di antara indikator mutu keislaman seseorang adalah mudah harmonis dan mudah diharmoniskan, tiada kebaikan sedikitpun keimanan seorang yang tidak mudah jinak dan mudah dijinakkan dengan sesama (al-Hadits).
Karena orang beriman itu hanya menomorsatukan kepentingan Allah Subhanahu Wata’ala , ridha Allah. Ia siap lebur untuk didominasi oleh kepentingan itu. Slogan orang bermiman “Allahu Ghoyatuna” (Allah puncak tujuan hidup kami). Orang beriman itu bagaikan lebah, jika ia mengkonsumsi sesuatu berupa putik bunga mawar dan bila mengeluarkan sesuatu berupa madu, dan jika hingga di daun tidak merusaknya (al-Hadits).
Di manapun kaum muslimin berada, maka lingkungan sosialnya selamat dari mulutnya, tangannya. Dan dalam sebuah komunitas, sifat yang dikedepankan adalah berbicara yang baik atau diam. Suka menghormati tetangga dan tamu. Ia yakin jika sukses menjalin komunikasi dengan orang-orang terdekatnya, merupakan modal untuk berinteraksi dengan lintas golongan, etnis, suku dan partai.
Sedangkan orang Yahudi pada ayat di atas bagaikan lalat. Tempatnya di sekitar sampah dan tempat pembuangan kotoran, kemanapun ia pergi membawa penyakit. Ada dua konsep yang menjadi term utama komunitas Yahudi. Pertama, farriq tasud (mereka suka membuat konflik), Kedua, farriq, tu’rof (berbeda, supaya dikenal).
لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعاً إِلَّا فِي قُرًى مُّحَصَّنَةٍ أَوْ مِن وَرَاء جُدُرٍ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ
“Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr (59) : 14).
Rasulullah bersabda : “Persatuan adalah rahmat (kasih sayang) dari Allah dan perpecahan adalah siksa.” (al-Hadits).
Karakter utama orang Islam senang mewujudkan, memelihara dan membela eksistensi ukhuwwah Islamiyah. Karena ia yakin karunia terbesar dalam kehidupan ini persaudaraan setelah nikmat Iman.
Lebih baik kalah, tetapi tetap solid daripada menang tetapi bercerai. Kemenangan yang tidak melahirkan persatuan, melahirkan konflik baru yang lebih dahsyat. Sedangkan karakter dasar orang Yahudi suka merawat dan melestarikan persatuan. Karena ia memposisikan diri sebagai srigala bagi yang lain. Pameo mereka, hari ini apa yang bisa dimakan, dan besok siapa yang kita makan.
Kelima, al-Islam bermakna penyerahan diri secara total kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Jadi berislam itu mengajarkan sikap independen. Ia hanya bersedia sebagai hamba Allah . Bukan hamba kepentingan, hamba kekuasaan, hamba wanita, hamba perut, hamba farji, hamba mayoritas dan hamba minoritas. Ia hanya mengakui kebenaran mutlak itu bersumber dari-Nya.
Muslim memahami cara berakhlak kepada Al-Khaliq. Mencintai, mengagungkan, beribadah (ngawula), sami’na wa ‘atha’na terhadap segala ketentuan yang ditulis maupun yang tidak tertulis (kalimatullah dan khalqullah).
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al Anam (6) : 162).*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Keempat, al-Salamah (kemananan dan keselamatan).
Di antara indikator mutu keislaman seseorang adalah mudah harmonis dan mudah diharmoniskan, tiada kebaikan sedikitpun keimanan seorang yang tidak mudah jinak dan mudah dijinakkan dengan sesama (al-Hadits).
Karena orang beriman itu hanya menomorsatukan kepentingan Allah Subhanahu Wata’ala , ridha Allah. Ia siap lebur untuk didominasi oleh kepentingan itu. Slogan orang bermiman “Allahu Ghoyatuna” (Allah puncak tujuan hidup kami). Orang beriman itu bagaikan lebah, jika ia mengkonsumsi sesuatu berupa putik bunga mawar dan bila mengeluarkan sesuatu berupa madu, dan jika hingga di daun tidak merusaknya (al-Hadits).
Di manapun kaum muslimin berada, maka lingkungan sosialnya selamat dari mulutnya, tangannya. Dan dalam sebuah komunitas, sifat yang dikedepankan adalah berbicara yang baik atau diam. Suka menghormati tetangga dan tamu. Ia yakin jika sukses menjalin komunikasi dengan orang-orang terdekatnya, merupakan modal untuk berinteraksi dengan lintas golongan, etnis, suku dan partai.
Sedangkan orang Yahudi pada ayat di atas bagaikan lalat. Tempatnya di sekitar sampah dan tempat pembuangan kotoran, kemanapun ia pergi membawa penyakit. Ada dua konsep yang menjadi term utama komunitas Yahudi. Pertama, farriq tasud (mereka suka membuat konflik), Kedua, farriq, tu’rof (berbeda, supaya dikenal).
لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعاً إِلَّا فِي قُرًى مُّحَصَّنَةٍ أَوْ مِن وَرَاء جُدُرٍ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ
“Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr (59) : 14).
Rasulullah bersabda : “Persatuan adalah rahmat (kasih sayang) dari Allah dan perpecahan adalah siksa.” (al-Hadits).
Karakter utama orang Islam senang mewujudkan, memelihara dan membela eksistensi ukhuwwah Islamiyah. Karena ia yakin karunia terbesar dalam kehidupan ini persaudaraan setelah nikmat Iman.
Lebih baik kalah, tetapi tetap solid daripada menang tetapi bercerai. Kemenangan yang tidak melahirkan persatuan, melahirkan konflik baru yang lebih dahsyat. Sedangkan karakter dasar orang Yahudi suka merawat dan melestarikan persatuan. Karena ia memposisikan diri sebagai srigala bagi yang lain. Pameo mereka, hari ini apa yang bisa dimakan, dan besok siapa yang kita makan.
Kelima, al-Islam bermakna penyerahan diri secara total kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Jadi berislam itu mengajarkan sikap independen. Ia hanya bersedia sebagai hamba Allah . Bukan hamba kepentingan, hamba kekuasaan, hamba wanita, hamba perut, hamba farji, hamba mayoritas dan hamba minoritas. Ia hanya mengakui kebenaran mutlak itu bersumber dari-Nya.
Muslim memahami cara berakhlak kepada Al-Khaliq. Mencintai, mengagungkan, beribadah (ngawula), sami’na wa ‘atha’na terhadap segala ketentuan yang ditulis maupun yang tidak tertulis (kalimatullah dan khalqullah).
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al Anam (6) : 162).*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar