Senin, 01 September 2014
Surat Imam Al-Ghazali kepada Salah Seorang Muridnya
Wahai anak! Nasehat itu mudah, yang sulit adalah menerimanya; karena terasa pahit oleh hawa nafsu yang menyukai segala yang terlarang. Terutama dikalangan penuntut ilmu yang membuang-buang waktu dalam mencari kebesaran diri dan kemegahan duniawi. Ia mengira didalam ilmu yang tak bersari itulah terkandung keselamatan dan kebahagiaan, dan ia menyangka tak perlu beramal. Inilah kepercayaan filsul-filsuf.
Ia tidak tahu bahwa ketika ada pada seseorang ilmu, maka ada yang memberatkan, seperti disabdakan Rasulallah saw: “Orang yang berat menanggung siksa di hari kiamat ialah orang yang berilmu namun tidak mendapat manfaat dari ilmunya itu.”
Wahai anak! Janganlah engkau hidup dengan kemiskinan amal dan kehilangan kemauan kerja. Yakinlah bahwa ilmu tanpa amal semata-mata tidak akan menyelamatkan orang. Jika disuatu medan pertempuran ada seorang yang gagah berani dengan persenjataan lengkap dihadapkan dengan seekor singa yang galak, dapatkah senjatanya melindungi dari bahaya, jika tidak diangkat, dipukulkan dan ditikamkan? Tentu saja tidak akan menolong, kecuali diangkat, dipukulkan dan ditikamkan. Demikian pula jika seseorang membaca dan mempelajari seratus ribu masalah ilmiah, jika tidak diamalkan maka tidaklah akan mendatangkan faedah.
Wahai anak! Berapa malam engkau berjaga guna mengulang-ulang ilmu, membaca buku, dan engkau haramkan tidur atas dirimu. Aku tak tahu, apa yang menjadi pendorongmu. Jika yang menjadi pendorongmu adalah kehendak mencari materi dan kesenangan dunia atau mengejar pangkat atau mencari kelebihan atas kawan semata, maka malanglah engkau. Namun jika yang mendorongmu adalah keinginan untuk menghidupkan syariat Rasulallah saw dan menyucikan budi pekertimu serta menundukkan nafsu yang tiada henti mengajak kepada kejahatan, maka mujurlah engkau. Benar sekali kata seorang penyair, “Biarpun kantuk menyiksa mata, Akan percuma semata-mata jika tak karena Alloh semata”.
Wahai anak! Hiduplah sebagaimana maumu, namun ingat! bahwasanya engkau akan mati. Dan cintailah siapa yang engkau sukai, namun ingat! engkau akan berpisah dengannya. Dan berbuatlah seperti yang engkau kehendaki, namun ingat! engkau pasti akan menerima balasannya nanti.
Wanita Adalah Mutiara
Woman was made from the rib of man, She was not created from his head to top him, Not from his feet to be stepped upon, She was made from his side to be close to him, From beneath his arm to be protected by him, Near his heart to be loved by him.
Bagaimana perasaan seorang pria jika dikelilingi banyak wanita? Jika pertanyaan itu disodorkan kepada saya, maka ungkapan “bangga” nampaknya cukup mewakili perasaan saya. Saya senang setiap hari dikelilingi wanita cantik, shalihah pula. Dan tentu pada saat itu saya semakin merasa menjadi ‘pangeran’. Ups, jangan curiga dulu, karena wanita-wanita cantik nan shalihah yang saya maksud adalah istri dan dua anak saya yang keduanya ‘kebetulan’ wanita. Insya Allah.
Tidak hanya itu, sebelum saya menikah, saya juga lebih banyak disentuh oleh wanita, yakni ibu karena semenjak usia enam tahun saya memilih untuk ikut ibu saat ia bercerai dengan ayah. Sebuah naluri kedekatan anak terhadap ibunya yang tidak sekedar karena telah menghisap ratusan liter air susu ibunya, melainkan juga ikatan bathin yang tak bisa terpisahkan dari kehangatan yang senantiasa diberikan seorang ibu terhadap anaknya.
Karena itulah, dalam hidup saya tidak ingin berbuat sesuatu yang sekiranya dapat mengecewakan dan melukai seorang wanita. Namun sikap yang tepat dan bijak harus diberikan seorang pria mengingat wanita itu terbuat dari tulang rusuk yang bengkok, yang apabila terdapat kesalahan padanya, pria harus berhati-hati meluruskannya. Terlalu keras akan mematahkannya, dibiarkan juga salah karena akan tetap pada kebengkokannya. Meski demikian, tidak sedikit pria harus membiarkan wanita kecewa demi meluruskan kesalahan itu, toh setiap pria yang melakukan itu pun sangat yakin bahwa kekecewaan itu hanya sesaat kerena selanjutnya akan berbuah manis.
Wanita itu ibarat bunga, yang jika kasar dalam memperlakukannya akan merusak keindahannya, menodai kesempurnaannya sehingga menjadikannya layu tak berseri. Ia ibarat selembar sutra yang mudah robek oleh terpaan badai, terombang-ambing oleh hempasan angin dan basah kuyup meski oleh setitik air. Oleh karenanya, jangan biarkan hatinya robek terluka karena ucapan yang menyakitkan karena hatinya begitu lembut, jangan pula membiarkannya sendirian menantang hidup karena sesungguhnya ia hadir dari kesendirian dengan menawarkan setangkup ketenangan dan ketentraman. Sebaiknya tidak sekali-kali membuatnya menangis oleh sikap yang mengecewakan, karena biasanya tangis itu tetap membekas di hati meski airnya tak lagi membasahi kelopak matanya.
Wanita itu mutiara. Orang perlu menyelam jauh ke dasarnya untuk mendapatkan kecantikan sesungguhnya. Karenanya, melihat dengan tanpa membuka tabir hatinya niscaya hanya semu sesaat yang seringkali mampu mengelabui mata. Orang perlu berjuang menyusur ombak, menahan arus dan menantang semua bahayanya untuk bisa meraihnya. Dan tentu untuk itu, orang harus memiliki bekal yang cukup sehingga layak dan pantas mendapatkan mutiara indah itu.
Wanita itu separuh dari jiwa yang hilang. Maka orang harus mencarinya dengan seksama, memilihnya dengan teliti, melihat dengan hati-hati sebelum menjadikannya pasangan jiwa. Karena jika salah, ia tidak akan menjadi sepasang jiwa yang bisa menghasilkan bunga-bunga cinta, melainkan noktah merah menyemai pertikaian. Ia tak akan bisa menyamakan langkah, selalu bertolak pandang sehingga tak memberikan kenyamanan dan keserasian. Ia tak mungkin menjadi satu hati meski seluruh daya dikerahkan untuk melakukannya. Dan yang jelas ia tak bisa menjadi cermin diri disaat lengah atau larut.
Wanita memiliki kekuatan luar biasa yang tak pernah dipunyai lawan jenisnya dengan lebih baik. Yakni kekuatan cinta, empati dan kesetiaan. Dengan cintanya ia menguatkan langkah orang-orang yang bersamanya, empatinya membangkitkan mereka yang jatuh dan kesetiaannya tak lekang oleh waktu, tak lebur oleh perubahan.
Dan wanita adalah sumber kehidupan. Yang mempertaruhkan hidupnya untuk sebuah kehidupan baru, yang dari dadanya dialirkan air susu yang menghidupkan. Sehingga semua pengorbanannya itu layak menempatkannya pada kemuliaan surga, juga keagungan penghormatan. Tidak berlebihan pula jika Rasulullah menjadi seorang wanita (Fathimah) sebagai orang pertama yang kelak mendampinginya di surga.
Untung saya bukan penyanyi ngetop yang menjadikan wanita dan cintanya sebatas syair lagu demi meraup keuntungan. Sehingga yang tampak dimata hanyalah wanita sebatas bunga-bunga penghias yang bisa dicampakkan ketika tak lagi menyenangkan. Kebetulan saya juga bukan bintang sinetron yang kerap diagung-agungkan wanita. Karena kalau saya jadi mereka, tentu ‘kebanggaan’ saya dikelilingi wanita cantik bisa berbeda makna dengan kebanggaan saya sebagai seorang yang bukan siapa-siapa.
Bagusnya juga wanita-wanita yang mendekati dan mengelilingi saya bukanlah mereka yang rela diperlakukan tidak seperti bunga, bukan selayaknya mutiara dan tak selembut sutra. Bukan wanita yang mencampakkan dirinya sendiri dalam kubangan kehinaan berselimut kemewahan dan tuntutan zaman. Tidak seperti wanita yang rela diinjak-injak kehormatannya, tak menghiraukan jerit hatinya sendiri, atau bahkan pertentangan bathinnya. Juga bukan wanita yang membunuh nuraninya sendiri sehingga tak menjadikan mereka wanita yang pantas mendapatkan penghormatan, bahkan oleh buah hatinya sendiri.
Dan sudah pasti, selain tak ada wanita-wanita macam itu yang akan mendekati lelaki bukan siapa-siapa seperti saya ini, saya pun tentu tidak akan betah berlama-lama berdekatan dengan mereka, apalagi bangga. Semoga …
Kekuasaan Menciptakan Kemunafikan
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan.
Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala kecil apalagi skala besar. Dalam konteks membangun kehidupan yang lebih baik, seseorang yang dinilai berpotensi untuk mengemban amanah memimpin tidak dibolehkan mengelak, karenanya Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa diserahkan kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya maka Allah akan mengindahkannya pada hari kiamat (HR. Ahmad)
Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, banyak orang yang semula memperjuangkan seseorang untuk menjadi pemimpin menjadi kecewa berat dengan sikap, ucapan dan tindakan seorang pemimpin yang dikaguminya. Salah satunya adalah karena sang pemimpin gagal mendisiplinkan dirinya untuk menjadi pemimpin yang sejati sehingga cita-cita ishlahul hukumah (memperbaiki pemerintahan) tidak dirasakan oleh masyarakat, bahkan ada juga yang mengatakan harus dilakukan upaya mereformasi gerakan reformasi. Karena itu menarik untuk merenungi rubrik Pause pada harian Media Indonesia, Senin 11 Januari 2010, rubrik yang mengangkat hasil-hasil penelitian di berbagai negara di dunia.
Mengapa banyak orang berkuasa gagal mematuhi aturan-aturan etis yang justeru mereka ciptakan sendiri?. Sebuah hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa kekuasaan membuat orang lebih ketat mengawasi prilaku orang lain, tetapi membuat mereka longgar terhadap diri sendiri.
“Menurut hasil penelitian kami, kekuasaan dan pengaruhnya dapat menyebabkan keterpautan yang serius antara penilaian publik dan prilaku pribadi. Akibatnya, mereka yang berkuasa akan menjadi lebih ketat menilai orang lain, tetapi longgar terhadap diri sendiri” (Adam Galinsky, peneliti etika pada kellogg School University Northwestern, Amerika Serikat).
Hasil penelitian ini tentu kita rasakan bersama di negera kita, bahkan dalam skala yang lebih kecil di organisasi atau jamaah kita. Di pemerintahan, baik pusat maupun daerah sudah umum bila pemimpin datang ke suatu acara belakangan sehingga bila yang diundang terlambat datang, maka pemimpin lebih terlambat lagi, padahal ia sering menekankan kedisiplinan dari sisi waktu. Ketika pemimpin menekankan kesederhanaan, maka itu tidak berlaku bagi dirinya.
Para pemimpin justeru hidup enak dengan berbagai fasilitas yang menyenangkan, bahkan ada seorang Menteri yang waktu itu kendaraan dinasnya Toyota Camry memberikan sambutan dihadapan kaum muslimin yang disiarkan melalui radio swasta bahwa menjadi menteri itu tidak enak-enak amat dibanding jadi duta besar, karena kendaraan dinasnya Baby Benz dan Volvo, kalau mobil dinas yang sekarang, duduk di mobil itu sama saja dengan duduk di papan kayu. Begitulah ucapan sang menteri yang bekas duta besar di luar negeri.
Jabatan kalau diraih dengan ambisi, dianggap sebagai sebuah gengsi yang bisa mengangkat prestise memang bisa menciptakan kemunafikan. Beda dengan seorang Khalifah, sebut saja diantaranya Umar bin Abdul Aziz yang jabatan itu dianggap sebuah amanah yang harus bisa dipertanggungjawab dihadapan Allah swt. Jabatan dengan sudut pandang seperti itu membuatnya sangat hati-hati dan tidak menganggap sepele persoalan sekecil apapun, bahkan sesuatu yang sekadar dianggap tidak patut sekalipun ditinggalkanya.
Hari pertama sebagai Khalifah, Umar dikejutkan dan mengejutkan banyak orang. Setelah menyelesaikan prosesi penguburan Khalifah Sulaiman, kepadanya disiapkan sejumlah kendaraan yang terdiri dari kuda pengangkut barang, beberapa ekor kuda tunggangan lengkap dengan peralatan dan kusirnya. Beliau bertanya: “Apakah ini?”.
Mereka menjawab: “Ini kendaraan buat khalifah”.
Umar menegaskan: “Hewanku lebih sesuai bagiku”.
Maka Umar menjual semua hewan itu dan uangnya diserahkan kepada Baitul Maal. Begitu pula semua tenda, permadani dan semua tempat alas kaki yang disediakan untuk khalifah-khalifah yang baru. Iapun melakukan evaluasi dan kesimpulannya ia harus menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi, maka dikembalikanlah semua tanah perkebunan yang dulu diberikan kepadanya dan dilepaskan harta yang dulu diberikan kepadanya karena ia yakin semua itu bukan harta yang halal, bahkan iapun menanggalkan pakaian yang mahal dan beralih kepada yang murah.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz memang menunjukkan kesederhanaan itu, sebelum menjadi khalifah ia memang sudah menjadi orang kaya, karenanya ia bisa menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 600 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 6 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya. Raja’ bin Haiwah, seorang menteri pada cabinet Umar.
“Aku disuruh oleh umar bin Abdul Aziz membeli pakaian seharga enam dirham, maka aku belikan seperti apa yang diharapkannya itu dan kemudian beliau berkata : Itulah pakaian yang saya senangi, walaupun itu tidak begitu halus.”
Berkata raja, “Mendengar itu pun aku menangis, terharu.” Khalifah bertanya, “Apa yang engkau tangiskan?”
Raja’ menjawab, “Dulu saya bawa kepada engkau pakaian seharga enam ratus dirham, maka engkau berkata, ‘Saya senang pakaian ini, sayang ini terlalu kasar.’ Tetapi sekarang, setelah engkau jadi khalifah, saya belikan engkau pakaian seharga enam dirham saja, engkau berkata, “Saya senang pakaian ini, ini demikian halus.”
Bahkan Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan bahwa Umar sebelum menjadi khalifah menganggap kasar pakaian yang berharga sampai 800 dirham, namun kini pakaian dengan harta 8 dirham saja dianggapnya begitu halus. Kesederhanaan inipun mendapat dukungan dari anggota keluarganya, isteri dan anaknya.
Ombak Itu Bernama Selingkuh
“Cerai…aku mimpi bu, ada awan yang membumbung ke langit, tinggi…tinggi sekali, kemudian didalam awan tersebut terdapat tulisan; CERAI.. ce-rai…” demikian
keluh Aldy pada ibunya. “hfh…bunda juga tak tahu nak apa yang harus bunda lakukan, hati bunda kacau, bunda nggak bisa mikir, Aldy tidur lagi saja ya…”
“Ya bunda… Bun, ayah belum pulang ?”
”Sebentar lagi nak,tadi sudah sms.”
Konsolidasi di lakukan berkali–kali dalam rumah tangga Hatta dan Niisa, setelah terjadi perselingkuhan tanpa sengaja, dengan alasan iseng dan bosan pada rutinitas rumah tangga, yang menurut Hatta begitu–begitu saja. Dimulai dari kesibukan Niisa menerima jahitan yang semakin lama semakin berkembang, sampai-sampai saking asyiknya, Niisa bisa lupa menyiapkan makan malam, terkadang tak dengar ucapan suaminya dan menjawab sekedarnya saja, dan Niisa kembali terbenam dalam orderan demi orderan para ibu yang menyukai jahitan halusnya. Kata Bu Yani : ”tanganmu tangan malaikat, jahitanmu lebih halus dan bagus dari pada kalau aku beli di boutiq loh Niis, kawan–kawanku bilang baju–bajuku sekarang kelihatan membuatku anggun, aku pesan 3 lagi ya Niis buat tanggal 26 juni, 3 minggu lagi,bisakan niiss…?!” Bermula dari satu, tiga, sekarang Niisa sudah menerima puluhan orderan, namun Niisa kesulitan menggaji orang yang memiliki taste menjahit dan kelembutan cita rasa seperti dirinya. Buat Nissa menjahit adalah bagian dari seni dan ekspresi, keindahan yang dapat di ungkapkan melalui benang dan sulaman pada ujung gaun buatannya dan tak bisa di serahkan begitu saja pada orang lain. Semua keasyikan Niisa semula di dukung Mas Hatta bahkan di syukuri, karena Niisa sedikit banyak membantu penghasilan keluarga, dan hal ini diakui Mas Hatta sendiri bahwa sekarang penghasilan Niisa dari menjahit sudah 3 kali lipat di bandingkan gaji Mas Hatta di kantor imigrasi, bahkan Mas Hatta pun sudah mulai berfikir untuk membuatkan ruangan tambahan di depan rumah buat showroom Niisa dan juga menyicil mobil avanza, dengan bantuan DP mobil dari tabungan Niisa, bahkan Mas Hatta membuatkan stnk atas nama Niisa hingga akhirnya…
Ombak yang bernama selingkuh itu, mampir pada rumah tangga mereka. Pertemuan Mas Hatta dengan Mbak Aning di dealer mobil yang membantu Mas Hatta mengurus surat–menyurat kendaraan beroda empat, dan juga advice-advice aning begitu memikat (maklum untuk menarik hati pembeli, setiap sales marketing di bekali ilmu ”merayu hati pembeli”), dan Mas Hatta bukan saja ingin membawa pulang mobil namun juga ingin membawa pulang Mbak Aningnya sekalian.
Kesibukan Niisa pada jahitan yang semakin bertambah dan ide–ide serta kreasi sulaman baru yang di pelajarinya dari kursus modiste, membuat gairah Niisa semakin tinggi dan keasyikannya membuat Niisa lupa bahwa sudah beberapa minggu ini suaminya selalu tak makan di rumah, dan sudah beberapa hari ini, tak ada telepon ataupun sms dari suaminya, yang biasanya kerap berdatangan bahkan hampir setiap jam, yang dulu membuat niisa merasa kesenangannya menjahit terganggu. Maka tiba–tiba Niisa merasa rindu dan rasanya ada sesuatu yang hilang, hati Niisa menjadi tidak nyaman, perlahan Niisa memencet tuts hp tuanya yang belum di ganti, karena kesibukan Mas Hatta, sehingga janji untuk membelikan Niisa hp baru yang lebih canggih terlupa, Niisa pun mencoba menghubungi suaminya, namun beberapa kali di hubungi jawabannya”not in the service area” dengan gelisah niisa menumpukkan potongan potongan kain yang sudah di bentuk menjadi pola kebaya modern. Dua jam kemudian terdengarlah dering suara hp Niisa dengan suara cerah suaminya : ”kenapa Niis? kamu telepon?”
”yaa…mas di mana? Kok ngak di angkat?”
”mas di sini-sini aja kok Niis, lagi banyak kerjaan, sudah makan sayang?”
sejenak hati Niisa tak enak, sejak kapan Mas Hatta memanggilku sayang dan menanyakan aku sudah makan atau belum.
Kata cerai, akhirnya terucap dari bibir Niisa, ketika suatu pagi Niisa mendapati suaminya terburu–buru pergi dan lupa me-log out facebooknya, dengan iseng Niisa menelusuri imbar facebook suaminya dan terlihat sisa chating dengan seorang perempuan bernama Aning, dan di tutup dengan ucapan : ”Ok, sayang, aku segera menjemputmu, CU,Bye my love.”
Dalam tangisnya di tempat sujud, Niisa hanya dapat berdoa ; ”engkau berikan dia sebagai suamiku, seperti permintaanku dulu -berikan aku seorang suami, seorang qowam yang mampu melindungiku dan membawaku ke surga, bila baik dia untukku, kembalikan dia, bila tidak, pisahkanlah dia dariku dan biarlah engkau sebaik–baik pelindung bagiku.”
Sementara di kamar yang lain Aldy berdoa; ”Ya AllAh, semoga ayah dan bunda tidak bercerai, karena Aldy takut dan malu dengan kawan–kawan bila orang tua Aldy bercerai, dan Aldy tidak mau berpisah dengan ayah, jangan ambil ayah Aldy yaa AllAh, jangan berikan ayah pada perempuan selain bundaku, bagaimana caranya agar mereka tidak bercerai ya Allah, tolonglah aku, oh ya namaku aldy, anak Bu Niisa, ayahku Pak Hatta, ya Alloh,” gumam Aldy sambil menutup mukanya yang basah bersapukan air mata.
Hmm…sejenak aku berfikir siapakah yang menjadi korban utama dari pada sebuah perselingkuhan yang mengakibatkan perceraian? Apakah adil bila anak–anak selalu menjadi korban atas keisengan, kesibukan, pertengkaran dan hawa nafsu orang tua? Bila aku menjadi Aldy aku akan berteriak di atas awan dimanakah letak keadilan pada anak–anak?
Kesombongan Menghalangi Pertolongan Allah
Jumlah yang besar tidak menjadi jaminan akan kemenangan. Kesombongan yang bersemayam dalam diri pasukan yang mengandalkan jumlah justru membawa mereka kepada kekalahan.
Perang Hunain terjadi pada bulan Syawal tahun kedelapan Hijriah, tidak lama setelah Makkah berhasil dibuka oleh kaum Muslim. Jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum Muslim menunjukkan telah berakhirnya dominasi kaum kafir Quraisy atas wilayah itu selama berabad-abad. Meskipun demikian, posisi kota Makkah belum dikatakan aman secara geografis, karena beberapa kabilah yang memusuhi Rasulullah saw masih bercokol di kawasan selatan Makkah. Itulah kabilah-kabilah yang pernah menolak ajakan Rasulullah saw ketika beliau masih berdakwah di kota Makkah. Kabilah-kabilah tersebut pernah menolak seruan Nabi saw dan mengusir beliau dengan cara yang amat keji.
Berita kemenangan yang diperoleh Rasulullah saw dan kaum Muslim tampaknya tidak menyenangkan para pemuka kabilah yang berada di sekitar Makkah, yang masih musyrik. Kekhawatiran mereka terhadap pertumbuhan kekuatan kaum Muslim bukan lagi sekadar ilusi, melainkan kenyataan yang harus mereka hadapi.
Salah seorang tokoh Hawazin, yakni Malik bin Auf an-Nashri, behasil memprovokasi beberapa kabilah lainnya, dan bersiap-siap menghadapi pasukan kaum Muslim dengan mengumpulkan kekuatan yang sangat besar di daerah Authas (terletak antara Makkah dan Thaif). Dalam kesempatan itu ia menyertakan juga anak-anak, kaum wanita, bahkan seluruh harta kekayaan mereka. Hal itu dilakukannya guna mencegah anggota-anggota kabilah melarikan diri dari peperangan, sekaligus untuk menyemangati mereka, karena harta kekayaannya, anak-anak, dan kaum wanitanya terdapat di tengah-tengah mereka.
Selain kabilah Hawazin yang bergabung dengan Malik bin Auf, juga turut serta seluruh penduduk Tsaqif. Begitu pula seluruh penduduk kabilah Nashr, kabilah Jusyam, Saad bin Bakr, dan beberapa orang dari Bani Hilal. Malik bin Auf an-Nashri berkata kepada pasukannya, “Apabila kalian melihat mereka, patahkan sarung pedang kalian, lalu bersatu padulah kalian bagaikan satu tubuh.”
Untuk menghadapi musuh ini, Rasulullah saw berangkat bersama 2.000 warga kota Makkah dan 10.000 sahabat yang turut serta bersama beliau saat penaklukan Makkah. Keberangkatannya terjadi pada tanggal 6 Syawal.
Mengenai perang ini Jabir bin Abdullah menceritakan, “Tatkala kami berjalan ke Hunain, kami menuruni salah satu lembah Tihamah yang amat luas. Kami semestinya turun secara perlahan-lahan, namun kami melakukannya dengan tergesa-gesa. Hal itu terjadi di tengah malam yang amat gelap. Di sisi lain, ternyata orang-orang dari kabilah Hawazin telah mendahului kami tiba di lembah itu. Mereka bersembunyi dari penglihatan kami di salah satu tempat tersembunyi dari penglihatan kami. Mereka telah siap sedia dan bertekad bulat untuk menyergap pasukan kaum Muslim. Demi Allah, tidak ada yang menakutkan kami saat kami turun melainkan rombongan pasukan mereka yang menyergap kami dengan kompak, ibarat serangan satu orang. Kami pun berlarian tercerai-berai, dalam kondisi tidak seorang pun yang menoleh kepada yang lainnya. Di tengah kepanikan tersebut Rasulullah saw. berseru, “Hai manusia, kembalilah, aku ini Rasulullah. Aku Muhammad bin Abdullah.”
Seruan beliau tidak didengar, sementara itu unta maupun manusia saling berlarian berpencar, hanya tertinggal beberapa orang dari kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan Ahlul Bait yang tetap bertahan bersama-sama Rasulullah saw. Di antara para sahabat yang tetap bertahan bersama-sama beliau dari kaum Muhajirin adalah Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab; dari Ahlul Bait adalah Ali bin Abu Thalib, Abbas bin Abu Thalib, Abu Sufyan bin al-Harits bersama anaknya al-Fadhl bin Abbas, Rabiah bin al-Harits, Usamah bin Zaid, dan Aiman bin Ummu Aiman bin Ubaid yang saat itu gugur sebagai syahid.
Meski sebagian besar pasukannya berlarian tercerai-berai, Rasulullah saw tak beranjak dari tempat berdirinya. Beliau bersabda, “Hai Abbas, berteriaklah. Hai seluruh orang-orang Anshar, wahai seluruh orang-orang pemilik samurah.” Mereka lalu menjawab bersahutan, “Ya, kami menyambut panggilanmu.” Tidak lama kemudian, pasukan mampu dikonsolidasikan kembali.
Tekanan peperangan berbalik menyudutkan pasukan musuh. Allah Swt mengalahkan orang-orang musyrik dalam Perang Hunain dan memberikan kemenangan kepada Rasulullah saw. Tatkala orang-orang dari kabilah Hawazin kalah, korban dari pihak Tsaqif (Bani Malik) amat banyak; 70 orang dari mereka tewas di bawah bendera perang mereka, termasuk di dalamnya Utsman bin Abdullah bin Rabiah bin al-Harits bin Habib. Orang-orang musyrik yang kalah dalam Perang Hunain melarikan diri ke Thaif bersama Malik bin Auf an-Nashri.
Perang Hunain mengajarkan kepada kita bahwa sombong dan silau dengan jumlah pasukan yang banyak ternyata justru menghalangi pasukan Muslim untuk memperoleh kemenangan di permulaan perang. Alqur’an menggambarkan hal tersebut melalui firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.“ (QS. At-Taubah : 25)
Hal itu diingatkan oleh Rasulullah saat menjelaskan bahwa tidak ada daya dan kekuatan selain pertolongan Allah, beliau berdoa, “Ya Allah, dengan (bantuan-Mu) aku berusaha, dengan (bantuan-Mu) aku menyergap, dengan (bantuan-Mu) aku berperang.”
59% Warga Zionis Israel Akui Kalah Perang
Jajak pendapat terbaru yang dilansir chanel TV2 Zionis pada Rabu (27/8/2014) menunjukkan bahwa 59% orang Zionis menyakini bahwa mereka mengalami kekalahan perang militer di Jalur gaza. Sementara itu hanya 32% saja yang masih meyakini bahwa kinerja PM Zionis Benyamin Netanyahu baik dan 59% menyatakan kinerja Netanyahu buruk.
Dalam jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa tingkat dukungan terhadap kinerja Netanyahu menurun selama dua hari terakhir dari 37% menjadi 32%. Sementara dukungan terhadap kinerja Netanyahu dua pekan lalu 55%, tiga pekan lalu 65% dan selama operasi militer darat ke Jalur Gaza 82%.
Jajak pendapat ini juga menunjukkan adanya 54% masyarakat Zionis yang menentang penghentian serangan atau gencatan dan sebanyak 37% mendukung gencatan setelah 50 hari perang berlangsung. Sementara itu hanya 29% mengungkapkan bahwa aksi militer Zionis ke Jalur Gaza telah berakhir dengan kemenangan Zionis.
Sebanyak 83% dari responden jajak pendapat mengungkapkan mereka puas dengan kinerja militer dalam perang di Gaza, sedang 12% menyatakan bahwa kinerja militer belum seperti yang seharusnya.
Sejak 7 Juli 2014 lalu pasukan penjajah Zionis melancarkan agresi sengit ke Jalur Gaza sampai dimulainya penghentian serangan atau gencatan pada Selasa (26/8/2014) malam. Di akhir agresi ini militer menyatakan telah menggempur lebih dari 5263 target di Jalur Gaza.
Media Israel: Imperium Zionis Tengah Menuju Kehancuran
Seorang penulis Zionis di harian Haaretz (koran terbesar di Israel) menganggap operasi militer yang dilancarkan zionis berakhir terbalik, Israel kalah dan hengkang dari Gaza.
Disebutkan, bahwa perang terakhir menjadi bukti kekalahan Israel. Imperium Israel mulai berakhir, dan saat ini tengah menuju kehancuran seperti halnya imperium terdahulu yang tak akan bertambah lagi.
Dalam makalah yang dilansir Haaretz, Jumat (29/8/2014) itu menyebutkan bahwa upaya Benyamin Netanyahu mencari alasan atas kegagalannya dalam agresi ke Gaza hanya sebagai pembelaan diri dan meracuni militer zionis dengan mempersenjatai mereka dengan ribuan system pertahanan “Iron Dome”.
Amer Oren, penulis zionis di Haaretz juga menyebutkan, bahwa imperium “Israel” telah berakhir dan saat ini tengah menuju kehancuran seperti halnya imperium terdahulu yang tak akan bertambah.
Dalam konteks ini, Oren menyebutkan, perang terakhir di Gaza merupakan bukti kelima selama rentang 10 tahun kekalahan Israel, dan hengkang dari kawasan Palestina, termasuk di Libanon tahun 2006 lalu.
Menurutnya, Netanyahu menuai kritikan yang intinya bahwa Israel tak siap menanggung beban tanggungjawab terhadap 2 juta warga Palestina di Gaza, artinya ia mendukung pemisahan dari Gaza, dan operasi militer berakhir secara terbalik.
Penulis menyebutkan, Gaza sendiri menjadikan roket Hawn yang akan sangat mengancam dan tak ada satu kekuatan militer yang mampu meledakan roket ini.
Diungkapkannya, operasi “Curahan Peluru” mendorong Hamas menggali terowongan, dan perang mendatang akan mendorong para cendikiawan Hamas mengembangkan roket “Darat-Laut” yang untuk pertama kalinya menyasar ladang gas zionis di lepas pantai.
Langganan:
Postingan (Atom)