
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya
pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin
atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat
berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai
imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus
mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan.
Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu
masyarakat, baik dalam skala kecil apalagi skala besar. Dalam konteks
membangun kehidupan yang lebih baik, seseorang yang dinilai berpotensi
untuk mengemban amanah memimpin tidak dibolehkan mengelak, karenanya
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa diserahkan kekuasaan urusan manusia
lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang
membutuhkannya maka Allah akan mengindahkannya pada hari kiamat (HR.
Ahmad)
Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, banyak orang yang semula
memperjuangkan seseorang untuk menjadi pemimpin menjadi kecewa berat
dengan sikap, ucapan dan tindakan seorang pemimpin yang dikaguminya.
Salah satunya adalah karena sang pemimpin gagal mendisiplinkan dirinya
untuk menjadi pemimpin yang sejati sehingga cita-cita ishlahul hukumah
(memperbaiki pemerintahan) tidak dirasakan oleh masyarakat, bahkan ada
juga yang mengatakan harus dilakukan upaya mereformasi gerakan
reformasi. Karena itu menarik untuk merenungi rubrik Pause pada harian
Media Indonesia, Senin 11 Januari 2010, rubrik yang mengangkat
hasil-hasil penelitian di berbagai negara di dunia.
Mengapa banyak orang berkuasa gagal mematuhi aturan-aturan etis yang
justeru mereka ciptakan sendiri?. Sebuah hasil penelitian terbaru
menunjukkan bahwa kekuasaan membuat orang lebih ketat mengawasi prilaku
orang lain, tetapi membuat mereka longgar terhadap diri sendiri.
“Menurut hasil penelitian kami, kekuasaan dan pengaruhnya dapat
menyebabkan keterpautan yang serius antara penilaian publik dan prilaku
pribadi. Akibatnya, mereka yang berkuasa akan menjadi lebih ketat
menilai orang lain, tetapi longgar terhadap diri sendiri” (Adam
Galinsky, peneliti etika pada kellogg School University Northwestern,
Amerika Serikat).
Hasil penelitian ini tentu kita rasakan bersama di negera kita,
bahkan dalam skala yang lebih kecil di organisasi atau jamaah kita. Di
pemerintahan, baik pusat maupun daerah sudah umum bila pemimpin datang
ke suatu acara belakangan sehingga bila yang diundang terlambat datang,
maka pemimpin lebih terlambat lagi, padahal ia sering menekankan
kedisiplinan dari sisi waktu. Ketika pemimpin menekankan kesederhanaan,
maka itu tidak berlaku bagi dirinya.
Para pemimpin justeru hidup enak dengan berbagai fasilitas yang
menyenangkan, bahkan ada seorang Menteri yang waktu itu kendaraan
dinasnya Toyota Camry memberikan sambutan dihadapan kaum muslimin yang
disiarkan melalui radio swasta bahwa menjadi menteri itu tidak enak-enak
amat dibanding jadi duta besar, karena kendaraan dinasnya Baby Benz dan
Volvo, kalau mobil dinas yang sekarang, duduk di mobil itu sama saja
dengan duduk di papan kayu. Begitulah ucapan sang menteri yang bekas
duta besar di luar negeri.
Jabatan kalau diraih dengan ambisi, dianggap sebagai sebuah gengsi
yang bisa mengangkat prestise memang bisa menciptakan kemunafikan. Beda
dengan seorang Khalifah, sebut saja diantaranya Umar bin Abdul Aziz yang
jabatan itu dianggap sebuah amanah yang harus bisa dipertanggungjawab
dihadapan Allah swt. Jabatan dengan sudut pandang seperti itu membuatnya
sangat hati-hati dan tidak menganggap sepele persoalan sekecil apapun,
bahkan sesuatu yang sekadar dianggap tidak patut sekalipun
ditinggalkanya.
Hari pertama sebagai Khalifah, Umar dikejutkan dan mengejutkan banyak
orang. Setelah menyelesaikan prosesi penguburan Khalifah Sulaiman,
kepadanya disiapkan sejumlah kendaraan yang terdiri dari kuda pengangkut
barang, beberapa ekor kuda tunggangan lengkap dengan peralatan dan
kusirnya. Beliau bertanya: “Apakah ini?”.
Mereka menjawab: “Ini kendaraan buat khalifah”.
Umar menegaskan: “Hewanku lebih sesuai bagiku”.
Maka Umar menjual semua hewan itu dan uangnya diserahkan kepada
Baitul Maal. Begitu pula semua tenda, permadani dan semua tempat alas
kaki yang disediakan untuk khalifah-khalifah yang baru. Iapun melakukan
evaluasi dan kesimpulannya ia harus menjauhkan diri dari kenikmatan
duniawi, maka dikembalikanlah semua tanah perkebunan yang dulu diberikan
kepadanya dan dilepaskan harta yang dulu diberikan kepadanya karena ia
yakin semua itu bukan harta yang halal, bahkan iapun menanggalkan
pakaian yang mahal dan beralih kepada yang murah.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz memang
menunjukkan kesederhanaan itu, sebelum menjadi khalifah ia memang sudah
menjadi orang kaya, karenanya ia bisa menghabiskan dana untuk membeli
pakaian yang harganya 600 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia
hanya membeli pakaian yang harganya 6 dirham, hal ini ia lakukan karena
kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus
dicontohkan langsung kepada masyarakatnya. Raja’ bin Haiwah, seorang
menteri pada cabinet Umar.
“Aku disuruh oleh umar bin Abdul Aziz membeli pakaian seharga enam
dirham, maka aku belikan seperti apa yang diharapkannya itu dan kemudian
beliau berkata : Itulah pakaian yang saya senangi, walaupun itu tidak
begitu halus.”
Berkata raja, “Mendengar itu pun aku menangis, terharu.” Khalifah bertanya, “Apa yang engkau tangiskan?”
Raja’ menjawab, “Dulu saya bawa kepada engkau pakaian seharga enam
ratus dirham, maka engkau berkata, ‘Saya senang pakaian ini, sayang ini
terlalu kasar.’ Tetapi sekarang, setelah engkau jadi khalifah, saya
belikan engkau pakaian seharga enam dirham saja, engkau berkata, “Saya
senang pakaian ini, ini demikian halus.”
Bahkan Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan bahwa Umar sebelum menjadi
khalifah menganggap kasar pakaian yang berharga sampai 800 dirham, namun
kini pakaian dengan harta 8 dirham saja dianggapnya begitu halus.
Kesederhanaan inipun mendapat dukungan dari anggota keluarganya, isteri
dan anaknya.