Syukurilah kelahirannya dengan Aqiqoh |
Saya mau menanyakan tentang hukumnya syukuran 40 hari setelah kelahiran bayi, apakah wajib atau sunah? Yang jadi masalah adalah ada yang mengatakan wajib, ada juga yang mengatakan sunah. Saya jadi bingung kalau dilaksanakan kan setidaknya butuh biaya, sedangkan keadaan ekonomi saya pas-pasan. Saya ucapkan terima kasih atas jawabannya. Wassalamu’alaikum
Kholil Syarkowi, Tlambah-Sampang
Jawab
Waalaikum salam warahmatullhi wabarakatuh
Saudaraku rahimakumullah, kelahiran bayi disamping merupakan amanah Allah, memang merupakan nikmat yang patut untuk disyukuri. Namun perlu disadari bahwa bersyukur dapat diekspresikan dengan berbagai bentuk dan tidak terpaku pada satu model. Syukur bukan berarti “syukuran” sebagaimana pemahaman umum, sebaliknya wujud utamanya adalah mentaati dzat yang memberi nikmat (tha’at al-masykur).
Secara khusus berkait dengan kelahiran anak terdapat bentuk formal dari bersyukur tersebut, yaitu aqiqah atau dengan nama lain –yang lebih disukai oleh sebagian syafi’iyyah– nasikah atau dzabihah. Untuk ini secara konkrit ulama mendefinisikan bahwa aqiqah adalah:
“Apa yang disembelih sebab kelahiran anak sebagai bentuk syukur kepada Allah dengan niat dan syarat-syarat khusus” (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:XXX/276)
Mengenai hukumnya memang sebagian ulama ada yang berpendapat wajib –seperti Dzahiriyyah- dan yang lain berkeyakinan bahwa aqiqah adalah sunah sebagaimana pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah. Keduanya berangkat dari dua hadis namun berbeda dalam menalar tingkat perintahnya.
Pertama:
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya.Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh” (HR. Turmudzi).
Kedua adalah hadis:
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh. (Pada saat itu bayi) dipotong rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim).
Saya sendiri secara pribadi lebih cenderung kepada hukum sunnah. Adapun masalah waktunya –sebagaimana tersurat dalam hWallahu a’alam
adis-, lebih baik pada hari ke tujuh tersebut. Tapi tidak menutup kemungkinan pada waktu yang lain, baik sebelum atau sesudahnya sebagaimana didukung Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Dengan demikian tidak ada keterikatan dengan waktu tertentu terkait keabsahannya, apalagi pada hari ke-40.