Kamis, 17 Oktober 2013
Bayangan Yang Tak Terkejar
Sosoknya adalah sosok yang penuh cinta, kelembutan dan pribadi yang begitu memesona. Jilbab dan gaun gamis yang dikenakan memancarkan sosok muslimah yang ideal dan seorang ibu yang berwibawa. Pada setiap pertemuan, dia tidak akan pernah lupa untuk membuatkan kue. Kue sederhana namun sangat dinanti oleh semua rekan – rekan. Usia kami hampir sama, dan dia sudah memiliki seorang putera. Suaminya bekerja sebagai pegawai biasa, namun dukungan dari ibu mertua sangat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beruntunglah, mertuanya sangat baik dan cuckup berada. Mereka bisa tinggal di rumah milik ibu dari suaminya.
Setelah hampir satu tahun tidak mengadakan kontak, kami berjanji untuk bertemu. Dia akan mengadakan survei dan sekaligus bersilaturahmi. Dia duduk di hadapan saya. Senyumnya ramah, tutur katanya halus. Masih seperti dulu. Namun, ada satu yang berubah saat ini. Dia tidak menggunakan gamis seperti biasanya. Dia masih berjilbab, namun untuk ukuran dia yang selama ini saya kenal, saya merasa dia telah berubah. Ups! Saya mencoba menepis prasangka buruk ini. Saya tidak berhak untuk menilai, terlebih sekehendak hati.
“Hanya ini yang bisa saya lakukan. Saya bekerja untuk anak-anak. Mas tidak bisa menafkahi kami dengan cukup..” Saya sudah bisa menduga alasannya. Namun ada penolakan yang dahsyat pada benak saya. Tadinya saya berfikir dia bekerja di sebuah lembaga riset, karena dia mengatakan akan mengadakan survei atau jajak pendapat terhadap saya.
Namun ternyata, kenapa harus bekerja pada lembaga ini, yang jelas–jelas menjalankan usaha riba? Pertanyaan itu hanya tercekat di kerongkongan.
Sekarang dia meminta saya untuk menjadi nasabahnya, dia sangat piawai menjelaskan segala keunggulan produknya. “Mbak, secara pribadi sebagai manusia normal, saya tentu ingin mendapatkan produk yang mbak tawarkan karena pendapatan yang akan saya terima sungguh luar biasa. Namun, saya tidak bisa menerimanya, karena ini mengandung unsur riba, mbak lebih faham tentunya” saya berusaha memberikan penjelasan tentang penolakan saya secara baik. Saya berharap, dia akan tersadar dengan segala ilmu agama yang pernah dipelajarinya.
Doktrin tentang keunggulan produk dan pembelaan dan sangkalan tentang penjelasan saya membuat saya semakin sedih. Saya terluka, saya merasa kehilangan dia..
Sebagai wanita yang juga bekerja, saya sungguh memahami motivasinya untuk membantu ekonomi keluarga. Saya juga mengerti akan kesulitannya. Namun, saya tidak berharap dia untuk seperti ini. Penghasilannya sudah mencapai 20 juta rupiah perbulan, semakin aktif membangun jejaring bisnis, mencari teman baru karena target yang dikejar semakin tinggi. Sementara dia aktif membangun mimpi, anaknya berdua dengan sang bapak, di rumah..ya berdua saja.
Saya merasa sakit, sedih, dan marah. Saya sungguh tak berdaya mengejarnya, saya tak sanggup untuk membuatnya kembali seperti dulu, seorang wanita sederhana yang menyejukan mata. Saya ingin merengkuhnya, memasukkan kembali ke dalam kenangan masa lalu yang terpatri di benak.
Maafkan kami ya Rabb, atas segala kelemahan diri.
Nenda_2001@yahoo.com
Yahya Schroder : Rela Tinggalkan Kenyamanan Hidup Untuk Meraih Islam
Bulan November tahun 2006, menjadi bulan bersejarah bagi remaja Jerman itu. Karena pada saat itu ia yang masih berusia 17 tahun mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang Muslim. Ia memilih Yahya, sebagi nama Islamnya dan sejak itu remaja Jerman yang kini tinggal di Postdam, dikenal dengan nama Yahya Schroder.
Yahya hidup berkecukupan dengan ibu dan ayah tirinya di sebuah desa kecil di Jerman. Ia tinggal di rumah yang besar lengkap dengan kolam renang yang luas. Di kamarnya ada tv dan play station dan Yahya tidak pernah kesulitan dalam masalah uang. Seperti remaja lainnya, Yahya sering pergi bergerombol bersama teman-temannya, minum alkohol atau melakukan hal-hal yang konyol.
Tapi semua kenikmatan dunia itu harus ia tinggalkan ketika ia memutuskan masuk Islam. Setelah menjadi seorang mualaf, Yahya memilih tinggal dekat ayahnya yang sudah lebih dulu masuk Islam, di Postdam dekat kota Berlin. Yahya mengaku tidak merasa bahagia meski saat masih ikut ibu dan ayah tirinya yang kaya, hidupnya serba enak. “Saya mencari sesuatu yang lain,” ujarnya.
Yahya mengenal komunitas Muslim di Postdam ketika ia berusia 16 tahun, lewat ayah kandungnya yang lebih dulu masuk Islam pada tahun 2001. Ketika itu, ia biasa mengunjungi ayah kandungnya sebulan sekali dan sering ikut sang ayah menghadiri pertemuan-pertemuan dengan komunitas Muslim yang diselenggarakan setiap hari Minggu.
Yahya merasa tertarik dengan Islam dan ayahnya memperhatikan hal itu. Hingga suatu hari sang ayah mengatakan tidak mau membahas soal Islam ketika mereka sedang berdua saja. Ayah Yahya menginginkan puteranya itu belajar dari orang-orang yang ilmunya tentang Islam lebih tinggi agar jika Yahya masuk Islam tidak dipandang cuma ikut-ikutan apa yang telah dilakukan ayahnya.
“Saya setuju dengan ayah dan saya mulai menghadiri pertemuan-pertemuan itu sendiri, setiap bulan. Tapi saat itu terjadi sesuatu hal yang mengubah cara berpikir saya,” ujar Yahya.
Yahya bercerita, ia mengalami kecelakaan saat pergi berenang bersama komunitas Muslim. Ketika ia melompat ke kolam renang dari ketinggian, kepalanya membentur dasar kolam renang dan tulang punggungnya patah. Ayahnya membawa Yahya ke rumah sakit dan dokter di rumah sakit itu mengatakan hal yang membuat gentar hatinya.
“Punggungmu mengalami patah tulang yang parah, satu satu saja gerakan yang salah, bisa membuatmu lumpuh,” kata dokter.
Yahya harus menjalani operasi. Beberapa saat sebelum masuk ruang operasi, teman Yahya di komunitas Muslim bernama Ahmir memberinya semangat, “Yahya, sekarang engkau berada di tangan Allah. Ini seperti naik rollercoaster. Sekarang engkau sedang berada dalam puncak kenikmatan naik sebuah rollercoaster dan percayalah pada Allah.”
Operasi berlangsung selama lima jam dan Yahya baru siuman tiga hari kemudian. “Saya tidak bisa menggerakan tangan kanan saya, tapi saya merasa sangat bahagia. Saya bilang ke dokter bahwa saya tidak peduli dengan tangan kanan saya. Saya sudah sangat bahagia Allah telah membiarkan saya tetap hidup,” tutur Yahya. Dokter mengatakan Yahya harus dirawat di rumah sakit dalam beberapa bulan. Tapi Yahya cuma dua minggu di rumah sakit, karena ia berlatih dengan keras. Yahya bahkan sudah bisa naik turun tangga dua hari sebelum seorang dokter datang dan mengatakan bahwa hari itu ia akan berlatih naik tangga.
“Alhamdulillah saya cuma dua minggu di rumah sakit. Sekarang saya sudah bisa menggerakan tangan kanan saya. Kecelakaan itu telah banyak mengubah kepribadian saya,” aku Yahya.
“Saya merasakan, ketika Allah menginginkan sesuatu terjadi, hidup seseorang berubah total dalam hitungan detik. Oleh sebab itu, saya lebih menghargai kehidupan dan mulai berpikir tentang kehidupan saya dan Islam, tapi saat itu saya masih tinggal di sebuah desa kecil,” kisah Yahya.
Keinginan Yahya untuk menjadi seorang Muslim makin kuat, sehingga ia berani memutuskan untuk meninggalkan keluarganya di desa itu. Yahya menuturkan, “Saya meninggalkan ibu dan ayah tiri saya, meninggalkan gaya hidup saya yang mewah dan pergi ke Postdam, tinggal di apartemen kecil ayah kandung saya. Saya tak keberatan harus menempati sebuah dapur kecil, karena saya cuma membawa sedikit pakaian, buku-buku sekolah dan beberapa CD.”
“Kedengarannya saya kehilangan segalanya, tapi saya merasa bahagia, sebahagia ketika saya siuman di rumah sakit setelah kecelakaan buruk itu,” ujar Yahya.
Diejek Teman Sekolah
Sehari setelah hari pertamanya masuk sekolah di Postdam, Yahya mengucapkan dua kalimat syahadat. Yahya pun menjalani kehidupan barunya sebagai seorang Muslim, meski di sekolah banyak yang mengejeknyakarena menjadi seorang Muslim. Beberapa orang menganggapnya “gila” bahkan tidak percaya kalau dirinya orang Jerman asli.
“Saya melihatnya sebagai hal yang biasa karena informasi yang mereka baca di media tentang Islam dan Muslim. Media massa menulis tentang Islam yang disebut teroris, Usamah bin ladin, Muslim yang jahat, dan sebagainya,” tukas Yahya.
Sepuluh bulan berlalu dan situasi mulai berubah. Yahya aktif berdakwah pada teman-teman sekelasnya dan ia mendapatkan sebuah ruangan untuk salat, padahal cuma dia satu-satunya siswa Muslim di sekolahnya.
“Teman-teman sekelas berubah, yang dulunya menggoda saya karena masuk Islam, sekarang banyak bertanya tentang Islam dan mereka mengakui Islam tidak sama dengan agama-agama lainnya. Menurut mereka, Islam itu keren!” kata Yahya menirukan pendapat teman-temannya.
Yahya mengungkapkan, teman-teman sekolahnya menilai Muslim memiliki adab yang baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia, bebas dari tekanan teman sekelompok seperti yang terjadi di sekolah mereka. Saat itu siswa-siswi di sekolah Yahya cenderung berkelompok atau membentuk genk, mulai dari genk hip hop, punk sampai kelompok genk siswa yang hobinya berpesta. Setiap siswa berusaha keras untuk diterima menjadi anggota genk itu.
Tapi Yahya, ia bisa berteman dengan siapa saja. “Saya tidak perlu mengenakan pakaian khusus agar terlihat keren. Yang terjadi malah, genk-genk itu sering mengundang saya dan teman-teman Muslim saya ke pesta-pesat barbeque mereka,” tandasnya.
“Yang istimewa dari semua ini adalah, mereka menghormati saya sebagai seorang Muslim. Mereka membelikan makanan halal buat saya dan mereka menggelar dua pesta barbeque, satu untuk mereka dan satu untuk kami yang Muslim. Masyarakat disini sudah mulai terbuka dengan Islam,” sambung Yahya mengenang masa-masa sekolahnya.
Yahya menambahkan, ia merasa lebih mudah menjadi seorang mualaf daripada menjadi seorang yang memang sudah Muslim sejak lahir. Ia banyak melihat banyak anak-anak muda Muslim yang ingin menjadi orang Jerman dan melihat Islam hanya sebagai tradisi. Anak-anak muda itu, kata Yahya, bersedia melepas ‘tradisi’ keislamannya supaya bisa diterima di tengah masyarakat Jerman.
“Meskipun faktanya, orang-orang Jerman tetap tidak mau menerima mereka meski mereka melepas agama Islamnya,” ujar Yahya.
Ia mengakui, kehidupan seorang Muslim di Jerman tidak mudah karena mayoritas masyarakat Jerman buta tentang Islam. “Kalau mereka ditanya tentang Islam, mereka akan mengatakan sesuatu tentang Arab. Buat mereka, pertanyaan itu seperti soal matematika, Islam=Arab”. Padahal negara ini memiliki bangsa yang besar,” tukas Yahya. (red/readislam)
Langganan:
Postingan (Atom)