Barangsiapa yang meremehkan 5 golongan, maka ia akan rugi dalam 5 hal :
1.Meremehkan Ulama, maka ia akan rugi dalam urusan agama.
2.Meremehkan Pemerintah, maka ia akan rugi dalam urusan dunia.
3.Meremehkan Tetangga dan Jiran, maka ia akan rugi dalam urusan bermasyarakat.
4.Meremehkan Kaum kerabat, maka ia akan rugi dalam urusan Kasih Sayang.
5.Meremehkan terhadap anggota keluarga, maka ia akan rugi dalam urusan sehari-hari.
Minggu, 29 Maret 2015
Balasan Sedekah Datang Dengan Cepat
Seorang ibu berusia 59 tahun bernama Hastuti di Jati Asih Bekasi saat
itu sedang gamang. Ia tengah berdiri di sebuah konter bank setelah
menarik dana sebesar 1 juta rupiah dari Teller. Rasa sedih
menghinggapinya lagi. Hampir saja ia menangis meratapi jumlah saldo
tabungannya yang kini tersisa 7 juta sekian.Bukan masalah duit
yang tersisa yang sebenarnya yang membuat ia hampir menangis. Namun,
sungguh saldo itu semakin jauh saja dari Biaya Setoran Haji yang
berjumlah 28 juta.Sudah berkali-kali ia mencoba menyisihkan uang
yang ia miliki untuk dapat berhaji. Namun sudah berulang kali angka
saldo itu tidak pernah lebih dari Rp 8 juta. Setiap kali sampai angka
tersebut, selalu ada saja keperluan mendesak yang harus ia tutupi. Jadi,
saldo di tabungan bukannya makin bertambah, yang ada selalu kurang dan
berkurang. Semalam Hastuti tak kuasa menahan gundahnya. Ia laporkan
kegalauannya kepada Tuhan Yang Maha Mendengar dalam doa & munajat.Seolah
mendapat ilham dari Allah, paginya ia menarik dana sebesar 1 juta. Kali
ini dana yang ia tarik bukan untuk keperluannya pribadi, namun uang
sejumlah itu akan ia infakkan kepada anak-anak yatim yang berada di
lingkungannya.Sejak pagi, ibu Hastuti sudah keluar dari rumah.
Menjelang sore, baru ia kembali setelah mengambil uang di bank dan
kemudian membagikannya kepada anak-anak yatim di sekitar.Ia tiba
di rumah pada pukul setengah empat sore. Ia langsung menuju kamar. Usai
ganti baju dan shalat Ashar, ia panggil pembantunya yang bernama Ijah
untuk membuatkan secangkir teh.
Ijah pun datang dan membawakan teh untuk sang Majikan. Dalam rumah seluas 200 meter itu, hanya mereka berdua yang mendiami. Ibu Hastuti adalah seorang perempuan yang sudah belasan tahun menjanda. Ia memilik 3 orang putra dan 2 putri. Kini semuanya telah berkeluarga dan meninggalkan rumah. Ibu Hastuti tinggal sendiri bersama Ijah dalam masa tuanya. Hal ini mungkin adalah sebuah potret lumrah masyarakat modern Indonesia zaman sekarang.Saat Ijah datang membawa teh pesanan majikannya. Setelah meletakkan cangkir teh di meja, Ijah mendekat ke arah majikannya untuk memyampaikan sebuah berita"Bu..., tadi saat ibu pergi, den Bagus datang kira-kira jam 9. Ia tadinya mencari ibu, tapi karena ibu gak ada di rumah, ia nulis surat dan nitipkan sebuah amplop cokelat."Ibu Hastuti pun kemudian mengatakan, "Oalah... Kok nggak bilang-bilang kalau mau datang. Aku khan juga kangen. Sudah lama gak ketemu. Ayo, mana Jah suratnya. Mungkin dia juga kesel sudah datang jauh-jauh tapi gak ketemu dengan bundanya."Ijah pun masuk kembali untuk mengambil surat den Bagus dan amplop yang dititipkan. Amplop cokelat itu seperti berisikan sejumlah uang. Bentuknya pun tebal. Apalagi dalam amplop tersebut bertuliskan logo sebuah bank. Namun hasrat untuk membuka amplop itupun ditahan oleh Bu Hastuti. Tangannya kemudian bergerak ke selembar kertas yang disebut sebagai surat oleh Ijah.Bu Hastuti mulai membacanya. Diawali dengan basmalah dan salam, surat itu dibuka. Tak lupa ucapan dan doa kesehatan untuk bunda dari anak-anaknya.Tak lebih dari 2 menit, surat itu telah selesai dibaca oleh ibu Hastuti. Namun dalam masa yang singkat itu, air mata membanjiri kedua matanya, mengalir deras menetesi pipi dan beberapa bulir terlihat jatuh di surat yang ia pegang. Kemudian ia pun mengintip uang yang berada dalam amplop cokelat itu. Kemudian ia berucap kata "Subhanallah!" berulang-ulang seraya memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan atas anugerah yang tiada terkira. Seusai mengontrol hatinya, ia segera menelpon Bagus, anak pertamanya. Saat nada sambung terdengar, ia menarik nafas yang dalam. Begitu tersambung, bu Hastuti langsung mengucapkan salam dan mengatakan,"Terima kasih ya Nak... Subhanallah, padahal baru semalam ibu berdoa mengadu kepada Allah kepingin berhaji, tapi ibu malu mau cerita kepada kalian semua. Takut ngerepotin... Eh, kok malah pagi-pagi kalian semua sudah nganterin duit sebanyak itu. Makasih ya, Nak... Nanti ibu juga mau telponin adik-adikmu yang lain. Semoga murah rezeki dan tambah berkah!"Di seberang sana, Bagus putra pertamanya berkata, "Sama-sama bu... Itu hanya kebetulan kok. Beberapa hari lalu, saya ajak adik-adik untuk rembugan supaya dapat menghajikan ibu. Kebetulan kami semua lagi diberi kelapangan, maka Alhamdulillah uang itu dapat terkumpul. Mudah-mudahan ibu bisa berhaji selekas mungkin...."Nada suara Bagus terdengar ceria oleh ibunya. Seceria hati Hastuti kini. Sudah lama ia bersabar untuk dapat berhaji ke Baitullah.Alhamdulillah setelah penantian sekian lama, Allah lapangkan jalan bu Hastuti untuk datang ke rumah-Nya dengan begitu mudah. Dengan dana Rp 30 juta dari anak-anaknya, niat untuk berhaji pun ia wujudkan pada tahun 2004. Walillahil Hamd!
Ijah pun datang dan membawakan teh untuk sang Majikan. Dalam rumah seluas 200 meter itu, hanya mereka berdua yang mendiami. Ibu Hastuti adalah seorang perempuan yang sudah belasan tahun menjanda. Ia memilik 3 orang putra dan 2 putri. Kini semuanya telah berkeluarga dan meninggalkan rumah. Ibu Hastuti tinggal sendiri bersama Ijah dalam masa tuanya. Hal ini mungkin adalah sebuah potret lumrah masyarakat modern Indonesia zaman sekarang.Saat Ijah datang membawa teh pesanan majikannya. Setelah meletakkan cangkir teh di meja, Ijah mendekat ke arah majikannya untuk memyampaikan sebuah berita"Bu..., tadi saat ibu pergi, den Bagus datang kira-kira jam 9. Ia tadinya mencari ibu, tapi karena ibu gak ada di rumah, ia nulis surat dan nitipkan sebuah amplop cokelat."Ibu Hastuti pun kemudian mengatakan, "Oalah... Kok nggak bilang-bilang kalau mau datang. Aku khan juga kangen. Sudah lama gak ketemu. Ayo, mana Jah suratnya. Mungkin dia juga kesel sudah datang jauh-jauh tapi gak ketemu dengan bundanya."Ijah pun masuk kembali untuk mengambil surat den Bagus dan amplop yang dititipkan. Amplop cokelat itu seperti berisikan sejumlah uang. Bentuknya pun tebal. Apalagi dalam amplop tersebut bertuliskan logo sebuah bank. Namun hasrat untuk membuka amplop itupun ditahan oleh Bu Hastuti. Tangannya kemudian bergerak ke selembar kertas yang disebut sebagai surat oleh Ijah.Bu Hastuti mulai membacanya. Diawali dengan basmalah dan salam, surat itu dibuka. Tak lupa ucapan dan doa kesehatan untuk bunda dari anak-anaknya.Tak lebih dari 2 menit, surat itu telah selesai dibaca oleh ibu Hastuti. Namun dalam masa yang singkat itu, air mata membanjiri kedua matanya, mengalir deras menetesi pipi dan beberapa bulir terlihat jatuh di surat yang ia pegang. Kemudian ia pun mengintip uang yang berada dalam amplop cokelat itu. Kemudian ia berucap kata "Subhanallah!" berulang-ulang seraya memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan atas anugerah yang tiada terkira. Seusai mengontrol hatinya, ia segera menelpon Bagus, anak pertamanya. Saat nada sambung terdengar, ia menarik nafas yang dalam. Begitu tersambung, bu Hastuti langsung mengucapkan salam dan mengatakan,"Terima kasih ya Nak... Subhanallah, padahal baru semalam ibu berdoa mengadu kepada Allah kepingin berhaji, tapi ibu malu mau cerita kepada kalian semua. Takut ngerepotin... Eh, kok malah pagi-pagi kalian semua sudah nganterin duit sebanyak itu. Makasih ya, Nak... Nanti ibu juga mau telponin adik-adikmu yang lain. Semoga murah rezeki dan tambah berkah!"Di seberang sana, Bagus putra pertamanya berkata, "Sama-sama bu... Itu hanya kebetulan kok. Beberapa hari lalu, saya ajak adik-adik untuk rembugan supaya dapat menghajikan ibu. Kebetulan kami semua lagi diberi kelapangan, maka Alhamdulillah uang itu dapat terkumpul. Mudah-mudahan ibu bisa berhaji selekas mungkin...."Nada suara Bagus terdengar ceria oleh ibunya. Seceria hati Hastuti kini. Sudah lama ia bersabar untuk dapat berhaji ke Baitullah.Alhamdulillah setelah penantian sekian lama, Allah lapangkan jalan bu Hastuti untuk datang ke rumah-Nya dengan begitu mudah. Dengan dana Rp 30 juta dari anak-anaknya, niat untuk berhaji pun ia wujudkan pada tahun 2004. Walillahil Hamd!
Harta dibagi Tiga Bagian
“Dari Abu Hurairoh r.a., Rosululloh saw. bersabda, “Ketika seorang laki-laki berada di padang pasir, dia mendengar suara dari awan, ‘Curahkanlah air ke atas tanah si fulan.’ Setelah itu awan tersebut mulai bergerak ke suatu arah dan menurunkan hujan lebat ke atas sebidang tanah yang keras dan berbatu. Air menggenangi suatu tempat dan mengalir melalui satu saluran. Orang yang mendengar suara itupun mengikuti aliran air tersebut. Air itu telah sampai ke suatu tempat di mana seseorang sedang sibuk memasukkan air itu ke tanahnya. Dia bertanya kepada orang itu, ‘Siapakah anda?’ Orang itu memberitahukan namanya seperti yang ia dengar dari awan tadi. Pemilik tanah itu kemudian bertanya, ‘Mengapa anda menanyakan nama saya?’ Dia berkata, ‘Saya mendengar suara dari awan yang daripadanya anda mendapat air, ‘Curahkanlah air kepada tanah si fulan’ Dan nama andalah yang telah saya dengar dari awan itu. Amalan apakah yang telah anda lakukan di tanah ini?’ Pemilik tanah itu menjawab, ‘Karena anda telah menjelaskan semuanya, maka sayapun menerangkannya. Apapun yang saya hasilkan dari tanah ini saya bagikan ke dalam tiga bagian. Satu bagian segera saya sedekahkan di jalan ALLOH, satu bagian saya gunakan untuk keperluan anak isteri, dan satu bagian lagi saya gunakan untuk tanah ini.” (HR Muslim-Misykat)
Dengan Sedekah Harta jadi Berkah
Dari Abu Hurairoh r.a., seseorang bertanya kepada Rosululloh saw., “Ya Rosululloh, sedekah jenis apakah yang paling besar pahalanya?” Rosululloh saw. menjawab, “Kamu bersedekah dalam keadaan sehat, masih menginginkan harta, ada ketakutan menjadi miskin, berangan-angan kaya raya. Dan janganlah menunda-nunda hingga ajalmu hampir tiba, maka barulah kamu mengatakan, ‘Harta ini untuk si fulan (masjid), harta yang ini untuk si fulan (madrasah). Padahal sesungguhnya harta itu sudah menjadi milik si fulan (ahli warits)” (HR Muttafaq ‘alaih-Misykat)
“Dari Abu Hurairoh r.a., Rosululloh saw. bersabda, “Salah seorang dari kalangan Bani Isroil berkeinginan untuk bersedekah secara sembunyi-sembunyi pada waktu malam. Pada malam itu dengan diam-diam dia meletakkan sedekahnya di tangan seseorang, kemudian dia pulang secara diam-diam pula. Keesokan harinya banyak orang memperbincangkan bahwa malam tadi seseorang telah memberi sedekah kepada seorang pencuri. Orang yang telah memberi sedekah tadi berkata, ‘Ya ALLOH, segala puji bagiMU, sedekahku telah jatuh ke tangan seorang pencuri.’
Kemudian dia berazam,
malam ini akan bersedekah secara diam-diam. Pada malam itu iapun keluar
diam-diam lalu memberikan sedekahnya kepada seorang perempuan. Keesokan
harinya orang banyak membicarakan bahwa malam tadi seseorang telah
bersedekah kepada seorang pelacur. Pemberi sedekah itu berkata, ‘Ya
ALLOH, segala puji bagiMU, sedekahku telah sampai kepada pezina.’
Di malam ketiga dia
kembali bersedekah secara sembunyi-sembunyi. Kali ini sedekahnya jatuh
ke tangan orang kaya. Keesokan harinya orang ramai memperbincangkan
bahwa seseorang telah bersedekah kepada seorang kaya. Pemberi sedekah
itu berkata, ‘Ya ALLOH, segala puji bagimu, sedekahku telah sampai ke
tangan pencuri, pezina, dan orang kaya.’
Malam itu dia
bermimpi bahwa sedekahnya telah diterima ALLOH SWT. Sedekahnya
ditaqdirkan jatuh ke tangan pencuri, agar pencuri itu bertaubat dari
tabi’at mencuri. Dan diterima oleh seorang pelacur, agar ia bertaubat
ketika ia mengerti bahwa ALLOH SWT. Memberi rizqi walaupun perempuan itu
tidak menghinakan dirinya dengan melacur. Dan jatuh ke tangan orang
kaya, agar si kaya mendapat pelajaran dan menginfakkan harta yang telah
ALLOH berikan kepadanya.” (HR Muttafaq ‘alaih-Misykat)
Langganan:
Postingan (Atom)