Senin, 20 Oktober 2014

Orang Beriman adalah Orang yang Paling Bahagia

Kebahagiaan adalah sebuah keadaan di mana hati manusia merasakan kedamaian dan ketentraman. Keadaan tersebut tidak bergantung pada wujud kebendaan atau raga manusia, melainkan bergantung pada suasana dan keadaan ruhani mereka masing-masing. Semenjak kebahagiaan selalu terletak di dalam hati, maka keterbatasan raga seperti apapun yang dimiliki oleh manusia pada dasarnya tak akan pernah menjadi penghalang bagi kebahagiaan mereka. Kita mungkin sering mendapati pemandangan di mana orang-orang yang cacat fisik ternyata bisa tersenyum menikmati hidup mereka tanpa perlu mengeluhkan nasib atau kekurangan pada tubuhnya. Mereka tampak bisa berbahagia meskipun kenyataannya mereka mengalami kesulitan jasmani. Dan itu semua tak lain adalah karena mereka telah terbiasa mengelola suasana batin mereka di samping kenyataan fisik yang mereka alami tersebut. Justru salah satu hal yang dapat merampas kebahagiaan mereka tersebut adalah ketika mereka membanding-bandingkankan nasib mereka dengan orang lain, atau berangan-angan untuk bertukar nasib dengan mereka yang utuh anggota badannya.
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa salah satu sebab yang dapat ditempuh oleh manusia untuk dapat meraih kebahagiaan, yaitu adalah dengan menghilangkan belenggu yang mengikat dan mengekang hati mereka. Belenggu tersebut adalah segala bentuk suasana batin yang berupa keresahan dan ketidaknyamanan, yang mana bentuk usaha dalam menghilangkannya adalah dengan belajar meredam emosi negatif dalam diri kita, misalnya meredam kemarahan ketika kita sangat berhak untuk marah; ataupun ketika kita sebenarnya berhak untuk mengembalikan gangguan yang telah ditujukan kepada kita, maka kita justru berusaha untuk menepisnya atau merelakannya saja; dan seterusnya. Karena pada dasarnya, kemarahan dan segala bentuk emosi lain yang semacam itu adalah merupakan bentuk-bentuk belenggu yang banyak merampas kemerdekaan hati kita sendiri, sehingga dengan berusaha untuk melepaskan belenggu-belenggu tersebut, maka kita pun akan merasa semakin bebas dan tenang. Begitu juga sebaliknya, ketika kita membiarkan belenggu tersebut melilit hati kita, maka kita justru akan banyak terkekang dan lebih sering mengalami keresahan.
Namun bagaimanapun, melepaskan belenggu emosi tersebut bukan berarti akan mengharuskan kita untuk menghilangkan potensinya sama sekali. Tentu setiap manusia tidak mungkin menghapus potensi kemarahan dalam dirinya, karena potensi semacam itu adalah justru merupakan bentuk anugerah. Kemarahan adalah emosi yang sangat wajar dan manusiawi. Dan pada dasarnya, setiap manusia juga memiliki beragam jenis emosi yang sama, namun komposisinya saja yang mungkin berbeda. Jadi, sebenarnya potensi hati yang berupa kemarahan, kebencian, kekecewaan, dan potensi-potensi lain yang semacam itu, adalah justru bentuk anugerah yang harus dikelola dengan seimbang dan sesuai dengan takarannya, dan bukan untuk dihilangkan atau dihapus, agarjustru tarik-ulur antara beragam emosi tersebut dapat menciptakan keseimbangan perasaan dan sikap dalam diri kita. Tentu kita akan harus marah ketika agama Allah SWT dinistakan, benci dengan penistaan tersebut, dan kecewa jika yang menistakan tidak bertaubat.
Demikianlah. Dan salah satu bentuk usaha dalam mengelola potensi-potensi emosi tersebut agar tidak berlebihan dalam sisi negatifnya, dan agar sesuai pada tempat dan ukurannya,maka kita bisa mengatur sudut pandang kita dalam menilai suatu keadaan. Dengan sudut pandang yang positif, maka suatu keadaan yang tampak negatif sekalipun akan bisa saja berubah menjadi positif. Begitu juga sebaliknya, sebuah keadaan yang sebenarnya positif justru akan dapat berubah menjadi negatif, hanya karena masalah sudut pandang juga. Maka dari itu, sebenarnya kita akan dapat merasakan banyak kenyamanan jika kita dianugerahi kemudahan untuk banyak berfikir positif dalam segala bentuk keadaan kita. Sehingga, ketika misalnya kita sedang mengeringkan pakaian di jemuran, maka kita tak akan perlu mengeluhkan hujan yang ternyata turun tiba-tiba, karena ketika itu kita melihat keadaan tersebut dengan sudut pandang yang positif, yaitu melihat kebahagiaan para petani dan pemilik kebun yang justru telah menantikan hujan tersebut sebelumnya. Dan dengan merelakan kebahagiaan para petani dan pemilik kebun tersebut, maka basahnya pakaian kita pun tak akan menjadi permasalahan yang perlu dikeluhkan, karena kita sadar bahwa manfaat beragam tanaman di sawah dan kebun tentu akan lebih banyak dirasakan oleh semua orang daripada sejumlah pakaian di jemuran kita, dan bahkan kita sendiri pun juga akan ikut merasakan hasil sawah dan kebun tersebut nantinya.
Demikianlah makna sudut pandang positif yang mana akan selalu dapat membuat kita berbahagia dalam segala keadaan. Namun, kaidah kebahagiaan semacam itu ternyata tidak hanya dapat diraih oleh kita orang-orang yang beriman saja, melainkan oleh siapapun yang memiliki hati dan menginginkan kebahagiaan di dunia ini. Kita tentu sering mendapati kenyataan bahwa orang-orang non-Muslim pun ternyata juga bisa berbahagia dengan keadaan mereka di dunia ini. Mereka juga merasa damai ketika mampu menguasai beban dalam hatinya, senang ketika telah berhasil menolong orang lain, bersemangat dalam berbuat baik untuk manusia dan kemanusiaan. Mereka bahkan juga benar-benar menangis tulus ketika berdoa dan sembahyang, meskipun Tuhan yang mereka seru bukanlah Allah SWT semata. Mereka juga terharu ketika melihat bencana alam atau musibah, murka ketika menyaksikan tindak kejahatan, ingin menolong ketika ada yang teraniaya, dan beragam kebaikan hati lainnya yang dapat dimiliki oleh manusia. Namun demikianlah kapasitas ruhani manusia yang berupa hati, yaitu tempat bagi kebahagiaan dan perasaan-perasaan lainnya, yang dapat dimiliki oleh orang-orang yang tak beriman sekalipun.
Adapun bagi kita orang-orang yang beriman, maka makna kebahagiaan yang sesungguhnya bukanlah sekedar perasaan damai dan tentram di dunia ini saja, melainkan terlebih ketika kita diberi anugerah kebenaran oleh Allah SWT yang mana akan menjadi sebab keselamatan dan kedamaian kita di akhirat kelak. Anugerah kebenaran inilah yang tidak dimiliki oleh orang-orang kafir non-Muslim. Dialah anugerah Allah SWT yang berupa hidayah iman dan Islam. Memang, kita mengakui bahwa orang-orang non-Muslim pun juga banyak yang telah beramal kebaikan, namun tentu antara kebaikan dan kebenaran itu tak akan bisa disamakan. Kebaikan akan bisa dimiliki oleh siapa saja yang mengusahakannya, sedangkan kebenaran, yaitu kebenaran dalam arti yang mutlak, maka ia hanya akan dimiliki oleh ummat yang mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya saja. Kebenaran inilah yang merupakan anugerah tertinggi dan sumber kebahagiaan puncak yang tak mungkin terbeli meskipun dengan dua kali lipat nilai dunia dan seisinya.
Dengan dianugerahi hidayah iman dan Islam, usaha manusia dalam beramal kebaikan pun tidak hanya akan dibalas dengan kebaikan di dunia ini saja, melainkan juga dibalas di akhirat yang lebih abadi kelak. Allah SWT telah menjanjikan hal tersebut di dalam al-Qur’an, di mana Dia memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman bahwa barangsiapa bertaqwa kepada-Nya dan senantiasa berusaha untuk berbuat baik serta bersabar dalam ketaatan kepada-Nya, maka pahala bagi mereka adalah kebahagiaan hidup di dunia ini dan juga di akhirat nantinya. Di dalam al-Qur’an disebutkan yang artinya:
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu. (Balasan) bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini adalah kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.’” (Az-Zumar: 10)
“Karena itulah Allah memberikan kepada mereka pahala (kebaikan) di dunia (ini) dan pahala yang baik di akhirat (kelak). Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Aali ‘Imraan: 148)
“Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan, (maka) akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Asy-Syuuraa: 23)
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka; Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang telah mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”(Al-Baqarah: 201-202)
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang bersabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, (sesungguhnya) Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”(Al-Ahzaab: 35)
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia; Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang bersabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35)
“Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al-An’aam: 160)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir (terdapat) seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(Al-Baqarah: 261)
Demikianlah beberapa ayat pembangkit semangat agar kita cenderung untuk senantiasa berusaha berbuat kebaikan, sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan kita masing-masing. Meskipun kita belum tentu termasuk dalam golongan yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut, namun setidaknya kita bisa menggali semangat dari nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya, bahwa dengan berusaha untuk senantiasa menempuh kebaikan, maka niscaya kita pun akan dimudahkan dalam segala kebaikan yang kita harapkan di dunia ini dan di akhirat kelak, insyaa’Allah. Dan itulah kebahagiaan orang-orang yang beriman.
Oleh karena itu, seharusnyalah kita meyakini dengan sepenuh hati bahwa janji-janji Allah SWT itu pasti akan terwujud dan ditepati. Karena sejauh kita meragukan janji-janji-Nya, maka akan sejauh itu pulalah jarak kita dari kebahagiaan yang sesungguhnya. Ketika kita membaca atau mendengarkan sebuah janji kebaikan di dalam al-Qur’an, meskipun hanya dari satu ayat saja, namun benar-benar kita tancapkan dengan kuat di dalam hati, maka pasti kita tidak akan pernah kecewa dengan meyakininya, karena pasti tiada yang lebih benar perkataannya dari perkataan Allah SWT. Dan yang sebenarnya banyak menjadi keresahan dalam hidup kita adalah ketika kita menyimpan keraguan terhadap janji-janji Allah SWT tersebut.
Dan selain janji-janji Allah SWT yang telah disampaikan tersebut, Allah SWT juga telah berjanji bahwa ummat Islam yang pernah berselisih selama di dunia ini, kelak di dalam surga akan dikumpulkan dalam keadaan bersih dari belenggu hati, yang mana telah banyak menciptakan jarak di antara mereka. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai, dan mereka berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran.’ Dan diserukan kepada mereka: ‘Itulah surga yang diwariskan kepada kalian, disebabkan oleh apa yang dahulu telah kalian kerjakan.’” (Al-A’raaf: 43)
Demikianlah kebahagiaan orang-orang yang beriman, yaitu ketika mereka dikumpulkan di dalam surga setelah memperoleh ridha-Nya. Memang, kita tak pernah bisa memastikan posisi kita di akhirat kelak, namun yang telah pasti adalah janji Allah SWT bahwa barangsiapa berusaha untuk mengejar ridha-Nya, mengharapkan pertemuan dengan-Nya kelak di akhirat, maka sesungguhnya Allah SWT telah mempersiapkan balasan terbaik bagi hamba tersebut.
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itulah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (Al-Israa’: 19)
“Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-‘Ankabuut: 5)
Demikianlah Allah SWT menjanjikan kebaikan bagi orang-orang yang beriman. Jika saja ummat Islam di tanah air kita dikehendaki oleh Allah SWT, dan semoga demikian, untuk dapat bersatu dalam semangat mengejar ridha-Nya, dengan cara menerapkan syari’at Islam sebagai dasar hukum negara, yang dengannya agama mereka, jiwa mereka, akal mereka, keturunan mereka, serta harta mereka akan dapat terjaga dan terpelihara, maka niscaya tak akan ada lagi saling menghina dan menyakiti antara sesama saudara seiman. Bahkan dalam berdakwah menyeru orang non-Muslim pun juga tak akan ada penghinaan ataupun pemaksaan secara fisik, melainkan dengan cara yang baik sesuai sunnah Rasulullah SAW, karena yang sebenarnya diserukan adalah hidayah iman, sedangkan iman itu letaknya di dalam hati, dan bukan pada fisik manusia. Dan tentunya untuk dapat membuka hati, tentunya tidak mungkin dengan cara menghina dan mencela, apalagi dengan kekerasan fisik. Kekerasan fisik hanyalah diperbolehkan ketika memang kita telah diperangi secara fisik juga.
Jika syari’at Islam diterapkan, maka negara akan memisahkan dengan tegas antara agama Islam dengan agama Ahmadiyah yang menabikan imamnya, yang mana selama ini sering menjadi permasalahan yang menimbulkan kekerasan fisik; begitu juga dengan agama Syi’ah yang berlebihan mengkultuskan Ali RA dan para imamnya, yang hingga mengkafirkan para sahabat Rasulullah SAW, dan juga aliran-aliran menyimpang lainnya. Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dan bukan yang menyelisihi dua sumber kebenaran tersebut. Dan di samping itu, negara juga akan harus menutup tempat-tempat maksiat yang telah banyak menjadi sumber kerusakan moral di masyarakat, namun juga harus menyediakan lapangan pekerjaan yang layak sebagai penggantinya. Dan masih banyak lagi perkara-perkara lain yang akan dapat diperbaiki dengan syari’at Islam.
Dan mungkin, untuk keadaan saat ini, usaha yang tampaknya bisa ditempuh untuk dapat menuju ke arah itu adalah dengan bersatunya partai-partai yang memperjuangkan Islam, agar ummat Islam yang beragam latar belakangnya dapat diarahkan kepada usaha penerapan syari’at Islam sebagai dasar hukum negara. Dan jika hal tersebut benar-benar terwujud, dan semoga dapat terwujud, maka itulah bentuk kebahagiaan orang-orang yang beriman di dunia ini, di mana semuanya bersatu dalam ketaatan kepada hukum Allah SWT. Dan kelak di akhirat mereka akan dianugerahi kebahagiaan yang lebih baik lagi, dengan kehendak Allah SWT.
Sesungguhnya, kemampuan untuk beramal kebaikan ataupun menghindari keburukan hanyalah rahmat dari Allah SWT semata, dan bukan dihasilkan oleh kemampuan manusia itu sendiri. Segala bentuk keberhasilan manusia dalam urusannya ataupun keselamatan mereka dari kesulitan hidup, pada hakikatnya hanyalah tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, dan bukan tanda-tanda kekuasaan mereka sendiri, karena semua manusia hanyalah makhluq yang sama-sama lemah dan tak berdaya tanpa pertolongan Allah SWT. Tiada manusia yang sanggup memasukkan dirinya sendiri ke dalam surga, ataupun menyelamatkan dirinya sendiri dari neraka, melainkan semuanya hanyalah melalui rahmat Allah SWT. Jika sebuah usaha kebaikan saja belum tentu diridhai oleh Allah SWT, maka setidaknya kita tidak sampai berniat untuk berbuat jahat, yang sudah pasti tidak diridhai-Nya. Dan jika ternyata kita telah terlanjur berbuat salah tanpa sadar sebelumnya, maka sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Semoga kita termasuk orang-orang beriman yang dianugerahi kebahagiaan yang sejati, di dunia ini dan terlebih di akhirat kelak. Dan hanya dari dan milik Allah SWT sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.

Kepala Nabi Yahya ’alaihis salam Dipenggal untuk Pelacur



Hal itu dikatakan kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu oleh Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha di suatu tempat di Masjidil Haram. Demikian itu ketika Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu disalib, lalu Ibnu Umar menoleh ke Asma’ seraya berkata: Jasad (anakmu) ini sebenarnya bukan apa-apa, sedang yang di sisi Allah adalah arwahnya. Maka bertaqwalah kamu kepada Allah subhanahu wata’ala dan bersabarlah.
Lalu Asma’ menjawab, Apa yang menghalangiku (untuk bersabar), sedangkan kepala Yahya bin Zakaria ’alaihis salam (saja) sungguh telah dihadiahkan kepada seorang pelacur dari Bani Israel.
Kenyataan dari kisah ini adalah Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan dibunuhnya Nabi Yahya ’alaihis salam itu karena (permintaan) pelacur. Di sini kita lihat puncak kekuasaan iblis atas orang-orang elit dengan dorongan syahwat seks di mana sampai membunuh seorang nabi Allah yaitu Yahya bin Zakaria ’alaihimas salam. Walaupun berbeda-beda kitab-kitab tarikh dalam rincian peristiwa itu, hanya saja intinya adalah; Seorang raja masa itu di Damskus ada yang menginginkan kawin dengan sebagian mahramnya atau wanita yang tidak halal baginya untuk dikawini. Lalu Nabi Yahya ’alaihis salam mencegahnya, sedangkan wanita itu menginginkan raja itu, maka ada suatu (ganjalan) yang menetap di dalam jiwa wanita dan raja itu terhadap Nabi Yahya ’alaihis salam. Maka ketika antara wanita dan raja itu terjadi percintaan, wanita itu minta agar diberi darah Yahya, lalu raja akan memberikan padanya. Maka raja mengutus orang untuk mendatangi Nabi Yahya ’alaihis salam dan membunuhnya, dan membawakan kepala Yahya kepada wanita itu!
Demikianlah kondisi orang-orang terlaknat yang tidak menahan diri untuk tidak membunuh nabi-nabi Allah. Bagaimana mereka tidak dilaknat? Sedangkan Nabi-nabi Allah itu penyulut hidayah dan pemegang bendera kebenaran dan Tauhid, sedangkan iblis terlaknat itu pembawa bendera neraka dan panji-panji kekafiran serta syirik.

MERAMAIKAN PESTA RAKYAT

Al-hamdulillah pada hari Senen tanggal 20 Oktober 2014 Ketua Yayasan Al-Jazirah mendapat undangan ke Jakarta dalam rangka ikut meramaikan pesta rakyat menyambut Pemimpin Baru Pilihan Rakyat dan juga menghadiri undangan dari Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang bertempat di Mellennium Hotel.
Sebagai rasa syukur marilah kita baca fatihah yang pahalanya dihadiahkan pada semua pemimpin bangsa Indonesia yang telah purna tugas dan yang akan bertugas memimpin, semoga Alloh swt. memberi kekuatan baginya, amien...

Nikah = 1/2 Agama

Salah satu bagian dari syariat di dalam Islam yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya adalah pernikahan antar seorang lelaki dengan wanita.
Sebagaimana kita ketahui, ada banyak ketentuan syariat yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim seperti shalat, puasa, zakat,haji, perekonomian, perang dan sebagainya. Disamping masalah syariat yang berkaitan erat dengan hukum, masih ada lagi hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang rinciannya juga cukup banyak, baik dalam kaitan dengan hubungan kepada Allah swt maupun dengan sesama makhluk-Nya.
Semua ini memang diatur di dalam agama kita, yaitu Islam. Namun dalam konteks ajaran Islam, ada satu hadits yang penting untuk kita kaji, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَزَوَّجَ أَحْرَرَ نِصْفَ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ اْلآخَرِ
Barangsiapa kawin (beristeri), maka dia melindungi (menguasai) separuh agamanya, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara separuhnya lagi (HR. Hakim)
Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:
مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ اْلإِيْمَانِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ اْلبَاقِى
Barangsiapa kawin (beristeri), maka dia menyempurnakan separuh iman, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separuh sisanya (HR. Thabrani)
Hadits ini menjadi amat penting untuk kita kaji karena Rasulullah saw menyebutkan nikah itu sebagai setengah agama. Tentu kita tidak bisa menafsirkan hadits di atas dengan mengatakan “bila kita sudah melangsungkan aqad nikah, maka berarti separuh urusan Islam sudah kita amalkan, apalagi kalau nikahnya lebih dari satu kali, maka sempurnalah keislaman kita, sedangkan yang menikah empat kali menjadi lebih sempurna lagi”.
Hal ini karena kita yakin, yang menjadi persoalan bukanlah semata-mata aqad nikah atau ijab qabulnya yang pengucapannya bisa diselesaikan dalam waktu satu menit bahkan kurang dari itu, tapi konsekuensi apa yang akan terjadi dan harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
Sudut Pandang
Paling tidak ada beberapa sudut pandang untuk menjawab pertanyaan mengapa pernikahan itu dinyatakan sebagai setengah dari agama. Pertama, ajaran Islam terdiri dari aqidah, syariah dan akhlak, karenanya pernikahan amat terkait dengan tiga hal ini. Pernikahan erat kaitannya dengan aqidah yang merupakan bukti keberadaan dan kebesaran Allah swt sebagai Tuhan yang benar, karena itu orang yang sudah menikah atau berumah tangga seharusnya memiliki iman yang semakin kokoh, karena ia sudah merasakan kebesaran dan kekuasaan Allah swt melalui hubungan suami isteri, apalagi sampai melahirkan anak yang merupakan anugerah sekaligus amanah dari Allah swt.
Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rum [30]:21).
Bahkan oleh Allah swt, nikah itu merupakan suatu perjanjian yang amat kuat yang diistilahkan dengan miytsaqan ghaliyzha dan penyebutan ini adalah sama dengan penyebutan pernjanjian para Nabi kepada Allah swt dalam mengemban amanah perjuangan, karenanya pernikahan seharusnya membuat seorang muslim semakin kuat ikatannya kepada Allah swt.
Dalam konteks syariah, pernikahan merupakan pelaksanaan dari syariat dan perjalanan kehidupan rumah tangga selanjutnya juga amat terkait dengan ketentuan-ketentuan Allah swt, mulai dari kepada siapa nikah dibolehkan dan tidak dibolehkan, keharusan menafkahi bagi suami dan bapak, keharusan mentaati suami bagi sang isteri dalam kebenaran dan berbagai ketentuan yang amat banyak dalam kehidupan rumah tangga sampai masalah yang berkaitan dengan harta keluarga hingga ketentuan dan segala konsekuensi yang berkaitan dengan perceraian.
Begitu juga dengan akhlak yang harus ditunjukkan dengan baik antar suami dengan isteri, orang tua dengan anak dan anak dengan orang tuanya. Keharusan kita untuk berakhlak yang baik harus dimulai dari rumah kita sendiri, karenanya bagaimana mungkin seseorang bisa berakhlak baik kepada orang lain bila kepada anggota keluarganya saja ia tidak berlaku baik.
Kedua, penguatan pribadi, hal ini karena keluarga adalah sebuah arena efektif yang dapat menumbuhkan keseimbangan rohani dan jasmani, individu dan sosial yang dari sini seharusnya bisa membuahkan kekuatan kepribadian. Yang harus dilakukan keluarga muslim adalah merealisasikan konsep pembentukan manusia berkualitas yang berkepribadian dalam posisinya sebagai makhluk sosial.
Ketiga, kedudukan nikah yang amat penting dan ia amat terkait dengan nilai-nilai Islam yang lain dalam kehidupan manusia. DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyyatul Aulad Fil Islam merinci menjadi tujuh hal, yaitu memelihara kelangsungan jenis manusia, keturunan. keselamatan masyarakat dari kerusakan moral, keselamatan masyarakat dari penyakit, ketentraman jiwa, saling bahu membahu dalam membina keluarga dan mendidik anak serta menghaluskan rasa kebapakan dan keibuan.
Keempat, pernikahan merupakan batu bata pembangunan masyarakat. Karenanya pembangunan suatu masyarakat, bangsa dan negara tidak bisa dipisahkan dari pembangunan keluarga. Karena itu, Prof. DR. Nazaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Depag menyatakan: “Dalam Al-Quran 80 persen ayat membicarakan tentang penguatan bangunan rumah tangga, hanya sebagian kecil yang membicarakan masalah penguatan negara, bangsa apalagi masyarakat, sebab keluarga adalah sendi dasar terciptanya masyarakat yang ideal, mana mungkin negara dibangun di atas bangunan keluarga yang berantakan.” ujarya.
Nazaruddin mencontohkan, di negara Eropa nasehat sebelum perkawinan diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah satu semester, sementara untuk di Indonesia hanya 7 menit saat berhadapan dengan penghulu. Karena itu, BP4 diminta dapat mengoptimalkan tugasnya. Ia menyatakan, banyaknya perceraian itu sebagai dampak globalisai arus informasi melalui media massa salah satunnya tayangan infotainment yang menampilkan figur artis dengan bangga mengungkap kasus perceraiannya.
Kelima, pernikahan bisa menjadi sarana dakwah yang efektif. Karenanya Rasulullah saw diperintahkan untuk menikah lagi dengan beberapa wanita untuk membuka jalur dakwah dan menguatkan bangunan dakwah yang sudah ada. Oleh karena itu, pernikahan tidak hanya kita pahami sebagai bertemunya dua orang lelaki dan perempuan, tetapi juga mempertemukan dua keluarga besar, bahkan bisa jadi dua suku dan bangsa yang sangat potensial bagi penguatan dakwah. Dalam konteks inilah, dakwah keluarga harus dilakukan dengan menggunakan sarana yang ada dan momentum yang tidak boleh berlalu begitu saja.
Keenam, Islam adalah agama jihad, agama yang harus diperjuangkan dan ditegakkan. Pembentukan keluarga melalui pernikahan bisa menjadi sarana bagi upaya memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam, bahkan keluarga bisa memberi konstribusi yang besar dalam jihad, karena dorongan keluarga diakui sangat besar dalam perjuangan seorang mujahid.
Dengan demikian, keluarga memiliki kedudukan yang amat strategis, baik dalam konteks pembentukan sumber daya manusia, pembentukan masyarakat dan bangsa, maupun dalam membangun peradaban manusia dari berbagai sisi kehidupannya.