Senin, 14 September 2015

Potret Pemimpin Jujur

Di masa keemasan Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu pernah minta tambah gajinya sebagai khalifah. Ehm…..
Sebelum membahas hal ini, mari kita simak hadits Nabi shalallahu’alaihi wassallam yang resmi memberikan fasilitas bagi para pejabat publik:
“Siapa yang menjadi pejabat kami, maka milikilah istri jika belum punya istri. Jika belum punya pembantu, maka milikilah pembantu. Jika belum punya tempat/rumah, maka milikilah tempat/rumah. Abu Bakar berkata: Aku diberitahu bahwa Nabi bersabda, “Siapa yang mengambil selain itu maka dia adalah pencuri.” (HR. Abu Dawud no. 2945, dishahihkan oleh al-Albani)
Jadi, siapapun Anda sebagai pejabat publik, telah difasilitasi langsung oleh Nabi shalallahu’alaihi wassallam. Luar biasa bukan. Amanah besar seorang pejabat diiringi dengan fasilitas. Sah! Untuk mengambilnya. Halal! Untuk menikmatinya. Pasangan hidup, staf, tempat tinggal.
Nah, sekarang mari kita lihat kisah shahabat paling mulia itu minta tambahan gaji dengan posisinya sebagai orang nomer satu di pemerintahan Islam. Kisahnya ditulis oleh pakar sejarah Islam Prof. DR. Akram Dhiya’ al-‘Umari dalam bukunya: (‘Ashr al-Khilafah al-Rasyidah h. 228-230). Inilah kalimat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang memakai bahasa langsung dan jelas:
“Tambahi untukku (gajiku) karena aku punya keluarga. Kalian telah menyibukkan aku dari bisnisku.”
Akram Dhiya’ menyebutkan gaji awal Abu Bakar adalah 2000 Dirham setiap tahun. Kemudian setelah beliau meminta tambahan, ditambahi menjadi 2500 Dirham per tahun.
2000 Dirham adalah jumlah gaji yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Dan dengan tanpa malu dan basa-basi, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu meminta tambahan. Dalam riwayat yang diambil oleh DR. Ali ash-Shalaby (Abu Bakar ash-Shiddiq, h. 109, MW), Abu Bakar berkata kepada Umar sebagai menteri keadilan/hukum,
“Aku tidak butuh dengan jabatanku memimpin kalian. Kalian memberiku gaji yang tidak cukup untukku dan keluargaku.”
Di samping gaji tersebut, masih ada fasilitas 1 kambing per hari plus sedikit lemak dan susu. Kambing digunakan untuk jamuan para tamu yang datang. Dan keluarga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berhak mendapatkan kepala dan kaki kambing tersebut.
Ternyata yang pernah minta tambahan gaji, bukan hanya Abu Bakar sang Khalifah. Para pejabatnya di daerah juga meminta tambahan gaji:
“Tambahilah gaji kami, kalau tidak angkatlah orang lain untuk jabatan ini!”
Untuk melengkapi cara pandang kita, ada hal yang harus diketahui lagi. Yaitu: masyarakat mendapatkan tunjangan tahunan. Inilah konsep Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu saat memimpin negara yang saat itu belum mempunyai banyak kekayaan negara:
“Sesungguhnya hidup ini, keteladanan lebih baik daripada mementingkan diri sendiri.”
Subhanallah…!

Himbauan Belajar Selajar menurut Surat Al-Fatihah

Hasil gambar untuk gambar kaligrafi al-fatihah
Surat al-Fatihah, awal surat dalam al-Qur’an itu ternyata menyiratkan perintah untuk belajar sejarah. Mungkin banyak yang tidak sadar, walau setiap hari setiap muslim pasti mengucapkannya. Tidak sekali bahkan. Tetapi banyak yang tidak menyadari sebagaimana banyak yang tidak mempunyai kesadaran untuk membaca, mengkaji, mendalami sejarah Islam.
Bermula dari doa seorang muslim setiap harinya:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. al-Fatihah [1] : 6)
Jalan lurus, yang oleh para mufassir ditafsirkan sebagai dienullah Islam itu, dengan gamblang digambarkan dengan ayat selanjutnya dalam al-Fatihah:
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Di sinilah perintah tersirat untuk belajar sejarah itu bisa kita dapatkan. Ada tiga kelompok yang disebutkan dalam ayat terakhir ini;
  1. Kelompok yang telah diberi nikmat oleh Allah
  2. Kelompok yang dimurkai Allah
  3. Kelompok yang sesat
Ketiga kelompok ini adalah generasi yang telah berlalu. Generasi di masa lalu yang telah mendapatkan satu dari ketiga hal tersebut.
Kelompok pertama, generasi yang merasakan nikmat Allah.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibnu Katsir 1/140, al-Maktabah al-Syamilah) menjelaskan bahwa kelompok ini dijelaskan lebih detail dalam Surat an-Nisa: 69-70,
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. an-Nisa [4] : 69-70)
“Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”
Ada kata penghubung yang sama antara ayat ini dengan ayat dalam al-Fatihah di atas. Yaitu kata (أنعم) yaitu mereka yang telah dianugerahi nikmat. Sehingga Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat dalam al-Fatihah tersebut dengan ayat ini.
Mereka adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan para shalihin. Kesemua yang hadir dalam dalam doa kita, adalah mereka yang telah meninggal.
Ini adalah perintah tersirat pertama agar kita rajin melihat sejarah hidup mereka. Untuk tahu dan bisa meneladani mereka. Agar kita bisa mengetahui nikmat seperti apakah yang mereka rasakan sepanjang hidup. Agar kemudian kita bisa mengikuti jalan lurus yang pernah mereka tempuh sekaligus bisa merasakan nikmat yang telah mereka merasakan.
Perjalanan hidup mereka tercatat rapi dalam sejarah. Ukiran sejarah abadi mengenang, agar menjadi pelajaran bagi setiap pembacanya.
Kelompok kedua, mereka yang dimurkai Allah.
Imam Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 1/141, al-Maktabah al-Syamilah) kembali menjelaskan bahwa mereka yang mendapat nikmat adalah mereka yang berhasil menggabungkan antara ilmu dan amal. Adapun kelompok yang dimurkai adalah kelompok yang mempunyai ilmu tetapi kehilangan amal. Sehingga mereka dimurkai.
Kelompok ini diwakili oleh Yahudi. Sejarah memang mencatat bahwa mereka yang menentang Nabi Muhammad SAW sekalipun, sesungguhnya tahu dengan yakin bahwa Muhammad SAW adalah Nabi yang dijanjikan dalam kitab suci mereka akan hadir di akhir zaman.
Sekali lagi, mereka bukanlah masyarakat yang tidak berilmu. Justru mereka telah mengantongi informasi ilmu yang bahkan belum terjadi dan dijamin valid. Informasi itu bersumber pada wahyu yang telah mereka ketahui dari para pemimpin agama mereka.
“Demi Allah, sungguh telah jelas bagi kalian semua bahwa dia adalah Rasul yang diutus. Dan dialah yang sesungguhnya yang kalian jumpai dalam kitab kalian….” kalimat ini bukanlah kalimat seorang shahabat yang sedang berdakwah di hadapan Yahudi. Tetapi ini adalah pernyataan Ka’ab bin Asad, pemimpin Yahudi Bani Quraidzah. Dia sedang membuka ruang dialog dengan masyarakatnya yang dikepung oleh 3.000 pasukan muslimin, untuk menentukan keputusan yang akan mereka ambil.
Maka benar, bahwa Yahudi telah memiliki ilmu yang matang, tetapi mereka tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Inilah yang disebut oleh Surat al-Fatihah sebagai masyarakat yang dimurkai. Para ulama menjelaskan bahwa tidaklah kaum Bani Israil itu diberi nama Yahudi dalam al-Qur’an kecuali dikarenakan setelah menjadi masyarakat yang rusak.
Rangkaian doa kita setiap hari ini menyiratkan pentingnya belajar sejarah. Untuk bisa mengetahui detail bangsa dimurkai tersebut, bagaimana mereka, seperti apa kedurhakaan mereka, ilmu apa saja yang mereka ketahui dan mereka langgar sendiri, apa saja ulah mereka dalam menutup mata hati mereka sehingga mereka berbuat tidak sejalan dengan ilmu kebenaran yang ada dalam otak mereka. Sejarah mereka mengungkap semuanya.
Kelompok ketiga, mereka yang sesat.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa bagian dari penafsirannya adalah masyarakat Nasrani. Masyarakat ini disebut sesat karena mereka memang tidak mempunyai ilmu. Persis seperti orang yang hendak berjalan menuju suatu tempat tetapi tidak mempunyai kejelasan ilmu tentang tempat yang dituju. Pasti dia akan tersesat jalan.
Kelompok ketiga ini kehilangan ilmu walaupun mereka masih beramal.
Masyarakat ini mengikuti para pemimpin agamanya tanpa ilmu. Menjadikan mereka perpanjangan lidah tuhan. Sehingga para pemimpin agamanya bisa berbuat semaunya, menghalalkan dan mengharamkan sesuatu.
Sebagaimana yang jelas tercantum dalam ayat:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. at-Taubah [9] : 31)
Kisah’ Adi bin Hatim berikut ini menjelaskan dan menguatkan ayat di atas,
Dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu anhu berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan di leherku ada salib terbuat dari emas, aku kemudian mendengar beliau membaca ayat: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.Aku menyatakan: Ya Rasulullah sebenarnya mereka tidak menyembah rahib-rahib itu.Nabi menjawab: Benar. Tetapi para rahib itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka itulah peribadatan kepada para rahib itu. (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dihasankan oleh Syekh al-Albani)
Bagaimanakah mereka masyarakat nasrani menjalani kehidupan beragama mereka? Bagaimanakah mereka menjadikan pemimpin agama mereka menjadi perwakilan tuhan dalam arti boleh membuat syariat sendiri? Di manakah kesesatan mereka dan apa efeknya bagi umat Islam dan peradaban dunia?
Semuanya dicatat oleh sejarah.
Inilah doa yang selama ini kita mohonkan dalam jumlah yang paling sering dalam keseharian kita.
Al-Fatihah yang merupakan surat pertama. Bahkan surat pertama yang biasanya dihapal terlebih dahulu oleh masyarakat ini. Surat utama yang paling sering kita baca. Surat yang mengandung doa yang paling sering kita panjatkan.
Siratan perintah untuk belajar sejarah sangat kuat terlihat. Maka sangat penting kita memperhatikan kandungan surat yang paling akrab dengan kita ini.
Agar terbukti dengan baik dan benar doa kita;
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah [1] : 6-7)