Dan hari ini, media sedang bergerak menjadikan artis, atlet dan
siapa pun menjadi idola. Kita tak mengenal mereka, kita tak mengetahui
akhlaknya
Oleh:
Mohammad Fauzil Adhim
MITOS besar itu adalah remaja merupakan masa krisis
identitas. Kita manggut-manggut dan percaya, lalu memberi toleransi yang
sebesar-besarnya terhadap berbagai perilaku yang tidak patut.
Alasannya? Mitos lagi: remaja sedang mencari identitas diri. Lho,
memangnya identitas mereka ketinggalan dimana? Jika hilang, apa sebabnya
identitas diri mereka hilang begitu memasuki usia remaja? Jika mereka
belum memiliki identitas diri yang jelas, pertanyaan serius yang perlu
kita jawab adalah, “Apa saja yang kita kerjakan selama bertahun-tahun
sehingga membiarkan anak-anak kita memasuki usia remaja tanpa memiliki
identitas diri yang jelas?”
Apa akibat serius mempercayai mitos ini?
Pertama, kita abai terhadap keharusan menyiapkan anak-anak
kita agar memiliki identitas diri yang kuat semenjak usia kanak-kanak.
Kita abai karena menganggap belum masanya, sehingga mereka benar-benar
mengalami krisis identitas saat memasuki usia remaja. Mereka mengalami
krisis karena kita memang mengabaikan tanggung-jawab untuk menumbuhkan,
menyemai dan menguatkan.
Kedua, tanpa identitas diri yang kuat, anak lebih mudah
terpengaruh teman sebaya. Bukan bersibuk mengejar apa yang menjadi
tujuannya karena ia memang belum memilikinya secara kuat. Ini pun
menyisakan pertanyaan penting, yakni mengapa ada anak yang mudah
terpengaruh oleh temannya, sementara yang lain justru menjadi sumber
pengaruh.
Ketiga, dalam kondisi tak memiliki identitas diri yang kuat,
remaja cenderung mengidentifikasikan diri dengan sosok yang dianggap
besar. Inilah idolatry (pemujaan, pengidolaan). Siapa yang mereka
idolakan? Tergantung kemana media membawa mereka dan apa yang paling
membekas dalam diri mereka. Dan hari ini, media sedang bergerak
menjadikan artis, atlet dan siapa pun menjadi idola. Kita tak mengenal
mereka, kita tak mengetahui akhlaknya (atau justru sudah sampai pada
tingkat tidak mau tahu), tetapi media menggambarkan mereka sebagai sosok
luar biasa, sehingga remaja dapat mengalami histeria karena memperoleh
apa-apa yang berhubungan dengan idola. Rasanya, “sesuatu banget” (gue
banget).
Masalahnya adalah, orang-orang yang mereka idolakan itutidak memberi
arah hidup yang jelas. Kita hanya memperoleh info sepotong-potong. Dan
masalah yang jauh lebih serius, sosok tersebut bahkan tidak memiliki
integritas pribadi yang dapat diandalkan. Apatah lagi kalau kita
bertanya tentang keteguhan iman dan kelurusan aqidah….
Jadi, ada dua hal penting yang perlu kita benahi dalam diri kita
dalam masalah remaja. Pertama, mengoreksi diri sendiri agar tidak
menganggap remeh persoalan-persoalan yang muncul pada para remaja
sebagai kewajaran. Kaidah pentingnya, tidak akan muncul masalah jika
tidak ada yang salah. Begitu kita mengabaikan, maka kita tidak cepat
tanggap sehingga persoalan dapat berkembang sedemikian jauh. Kita
menganggap biasa persoalan yang seharusnya diselesaikan segera. Kedua,
menyiapkan anak-anak memasuki masa remaja semenjak mereka masih
kanak-kanak. Ini bukan terutama dengan memberi keterampilan atau
mengasah kecerdasan. Tetapi yang jauh lebih penting adalah: membangun
orientasi hidup yang jelas, tujuan hidup yang kuat serta orientasi
belajar. Lebih lengkap lagi jika semenjak awal anak diajak untuk
mengenali diri sendiri dan menerima sepenuhnya kelebihan maupun
kekurangannya.
Hanya membekali anak dengan keterampilan dan kemampuan akademik
maupun kesenian, tidak menjadikan mereka memiliki arah hidup yang jelas.
Mereka tak mempunyai pegangan yang kokoh. Boleh jadi mereka cerdas,
tapi tanpa orientasi yang kuat memudahkan mereka mengalami krisis
kepribadian (salah satunya krisis identitas) begitu mereka memasuki masa
remaja atau bahkan sebelum itu. Nah, mari kita bertanya, siapakah yang
salah jika remaja bermasalah sementara kita hanya bekali mereka dengan
keterampilan dan pengetahuan saja saat kanak-kanak?
Mengenali dan menerima sepenuhnya kelebihan dan kekurangan ini sangat
penting bagi anak agar tidak minder tatkala berada di tengah-tengah
teman sebaya. Jika pengenalan diri ini disertai dengan empati (dan ini
perlu kita tumbuhkan dalam diri mereka, bukan hanya berharap) anak akan
lebih mudah menghargai orang lain, ringan hati memberi tahniah (ucapan
selamat) saat ada teman yang meraih prestasi, dan ringan langkah
membantu temannya yang lemah. Dalam lingkup kelas, ini memudahkan
pembentukan iklim kelas yang positif (positive classroom climate) dimana
yang cemerlang akan berkembang, sementara yang lemah akan memperoleh
dukungan dari teman sekelas untuk mengatasi kelemahannya. Mereka merasa
menjadi “satu keluarga”. Inilah yang agaknya kerap terlalaikan dari
sekolah-sekolah kita.
Pertanyaannya, bukankah buku-buku psikologi modern menyatakan bahwa
krisis identitas sebagai keniscayaan? Ya. Dan inilah akibat arogansi
Amerika yang menganggap fakta di negerinya sebagai realitas yang berlaku
untuk warga seluruh dunia. Padahal di banyak negara, terutama
negeri-negeri timur, remaja tidak mengalami itu. Yang menarik kita
perhatikan, remaja di Timur Tengah tak mengalami krisis identitas sampai
negeri mereka mengadopsi model pendidikan a la Amerika. Lebih lanjut,
silakan baca buku
The 50 Great Myths in Popular Psychology.
Empat Sebab Kenakalan
Di luar masalah krisis identitas, bisa saja remaja maupun anak-anak
melakukan perilaku yang tidak patut secara sengaja. Ada empat sebab anak
bertindak demikian.
Pertama, anak melakukan tindakan-tindakan tidak menyenangkan tersebut
untuk memperoleh perhatian. Dalam hal ini, yang dapat kita lakukan
adalah menunjukkan kepada mereka apa yang perlu mereka lakukan untuk
memperoleh perhatian. Disamping itu, kita berusaha memberi perhatian
yang memadai.
Kedua, anak bertingkah karena motif kekuasaan, yakni mereka
bertingkah untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak dapat dipaksa. Anak
semacam ini antara lain dapat “dikendalikan” antara lain dengan
memberinya tanggung-jawab mengatur.
Ketiga, anak bertingkah sebagai balas dendam. Tindakan dilakukan
untuk maksud menyakiti hati (orangtua atau guru) dan bahkan sampai ke
taraf ingin mempermalukan. Anak tak peduli resiko yang dihadapi.
Keempat, anak bertingkah karena merasa dirinya tidak akan berhasil.
Ia merasa pasti gagal. Maka, untuk menjadikan kegagalan (yang belum
tentu menimpanya) sebagai hal yang wajar terjadi, ia justru nakal. Dalam
hal ini, kenakalan terjadi untuk“menghindari kegagalan”.
Salah satu kunci untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengetahui
secara tepat apa yang menjadikan anak melakukan kenakalan. Ada empat
sebab, tetapi hanya ada satu yang benar-benar mendorong anak bertingkah
tidak patut; apakah untuk mencari perhatian, kekuasaan, balas dendam
atau menghindari kegagalan. Mengetahui sebabnya dengan pasti memudahkan
kita mengambil langkah penanganan.
‘
Alaa kulli haal, kitalah yang bertanggung-jawab
mengantarkan anak-anak memasuki masa remaja dengan orientasi hidup yang
jelas, tujuan hidup yang kuat serta orientasi belajar yang mantap. Jika
anak-anak menampakkan gejala melakukan kenakalan, kita perlu berbenah
agar anak tak salah arah.
Terakhir…. Ada satu pertanyaan serius. Anak-anak kita telah tampak
kehebatannya saat usia TK atau SD kelas bawah. Mereka sudah pandai
membaca dan terampil berhitung, di saat teman-temannya yang di Jepang
dan berbagai negara lain bahkan belum mampu mengeja. Tetapi, mengapa
para remaja di Jepang mencapai kegilaannya belajar setelah memasuki SLTA
dan terutama saat kuliah? Sementara anak-anak di negeri kita yang
semata wayang ini justru memperoleh kemerdekaan sebesar-besarnya setelah
lulus SLTA. Sekolah menjadi penjara, sehingga kelulusan mereka rayakan
dengan hura-hura!
Penulis adalah motivator dan penulis buku-buku parenting. Twitter Mohammad Fauzil Adhim @Kupinang