Dengan modal iman, anak akan merasakan ma’rifatullah dan muraqabatullah (merasakan pengawasan Allah)
ADALAH Syaikh Ali An Nadawi pernah mengatakan,
jika iman bekerja sebagaimana mestinya akan mendatangkan kejayaan,
kemenangan, kesuksesan yang sejati (lahir dan batin). Sebaliknya, ketika
iman mengalami disfungsi, identik dengan menyediakan diri untuk dijajah
(
qabiliyyah littaghallub). Dijajah oleh rayuan
syubhat (kerusakan pikiran),
syahwat (kerusakan hati) dan
ghoflah (lalai dari misi kehidupan).
Tidak sebagaimana harta yang mudah diwariskan, mewarisi keimanan
memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Seorang Nabi (manusia pilihan
Allah Subhanahu Wata’ala) tidak otomatis melahirkan keturunan yang
memiliki kualitas keimanan seperti orang tuanya. Tidakkah putra dan
istri dua hamba pilihan Allah Subhanahu Wata’ala yang shalih (Nabi Nuh,
Nabi Luth), berani secara transparan menentang perjuangannya!
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ
وَاِمْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا
صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ
شَيْئاً وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan
bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang
hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua isteri itu
berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada
dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan
(kepada keduanya): "Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang
masuk (jahannam)." (QS: At Tahrim (66) : 10).
Bahkan Nabi-nabi sekalipun tidak dapat membela isteri-isterinya atas azab Allah apabila mereka menentang agama.
Merenungkan arahan Allah Subhanahu Wata’ala di atas, semoga kita
memilih sekolah kita dengan harap-harap cemas. Karena takut terhadap
masa depan anak kita. Berbekal rasa takut, kita siapkan mereka agar
tidak menjadi generasi yang lemah dalam keyakinan, lemah dalam ibadah,
lemah dalam akhlak, lemah dalam bidang ekonomi, lemah dalam karakter
keagamaan.
Berbekal rasa takut, kita tiru Sahab Luqman Al Hakim, agar anak kita kelak memiliki aqidah yang lurus (
salimul aqidah), ibadah yang benar (
shahihul ‘ibadah), mulai akhlaknya (
karimul akhlak), pejuang bagi agamanya (
mujahidun fi dinihi), yakin dengan kepemimpinan islam (
ats tsiqah bil jamaah), cerdas pikirannya (
mutsaqqaful fikr), sholih ritual dan shalih sosial (
sholihun linafsihi wa shalihun lighoirihi).
Kita pantau mereka kalau-kalau ada bagian dari fase kehidupan mereka
saat ini yang menjadi penyebab datanganya kerumitan dan kehinaan di masa
mendatang. Berbekal rasa takut, kita berusaha dengan sungguh-sungguh
agar mereka memiliki bekal yang cukup untuk mengarungi samudera
kehidupan ini dengan kepala tegak dan iman yang kokoh, serta bermartabat
dengan penuh kemuliaan.
Betapa mahalnya membangun keimanan pada diri anak kita. Bukankah
dengan aqidah yang kokoh menjadikan anak tegar, teguh dan gigih dalam
memegang prinsip yang diyakini. Prinsip itulah yang menjadi landasan
yang kuat dalam berpikir dan bertindak. Dengan bekal keyakinan yang
terhunjam di dalam jiwa, ia akan tenang, survive dalam menghadapi
tantangan kehidupan yang semakin hari tidak bertambah ringan. Bagaikan
karang di tengah samudera yang luas tidak bertepi. Kehidupan yang
mengalami pasang surut, fluktuatif (naik-turun), timbul dan tenggelam,
dan dekadensi moral yang menggurita , tidak mudah dan tidak sederhana
ini, mustahil dapat dihadapi oleh seorang anak yang memiliki iman
biasa-biasa saja.
Iman itulah yang memberi dorongan internal, motivasi intrinstik (
indifa’ dzati),
energi pemiliknya yang tidak ada habis-habisnya laksana sumur zam-zam,
untuk menyemai kebaikan di taman kehidupan. Dan selalu mencegah
kemungkaran dengan segala konsekwensinya, dengan cara bijak hingga ajal
menjemput. Tanpa pura-pura dan tanpa pamrih. Tidak mengharapkan balasan
dan ucapan terima kasih.
Itulah sebabnya para Nabi dan orang shalih terdahulu tidak mewariskan
kepada anak keturunannya dengan dirham, dinar, dan kekayaan duniawi
lainnya, tetapi mewariskan nilai-nilai immaterial (keimanan). Pusaka
yang tidak ternilai harganya, yang tidak lekang oleh panas dan tidak
lapuk oleh guyuran hujan. Dengan iman itulah menjadikan kehidupan mereka
bermakna dan prospektif (menjanjikan masa depan yang cerah). Kehidupan
tanpa dibekali dengan iman, menjadikan para pemburunya kecewa. Mereka
rapuh sikap mentalnya. Mereka
Nasihat Rasululullah untuk Pelajar
Berikut ini adalah hadits yang berisi nasihat Rasulullah kepada
sorang anak muda Ibnu Abbas, untuk memperkuat spirit keimanan. Dengan
keimanan yang kuat, anak akan merasakan
ma’rifatullah (mengenal Allah Subhanahu Wata’ala dengan pengenalan yang benar),
muraqabatullah (merasakan pengawasan Allah),
ma’iyyatullah (merasa disertai oleh Allah),
ihsanullah (dan merasakan kebaikan Allah yang melimpah),
nashrullah (pertolongan Allah). Dengan nasihat tersebut diharapkan anak memiliki sandaran spiritual yang kokoh.
“Wahai Abbas, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa
kalimat ini sebagai nasihat bagimu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Dia
pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah,
niscaya Allah akan selalu berada di hadapanmu. Apabila engkau
menginginkan sesuatu mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau meminta
(urusan dunia dan akhirat), mintalah kepada Allah, dan apabila
menginginkan pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu
Wata’ala. Ketahuilah, bahwa apabila seluruh umat manusia berkumpul untuk
memberi manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali
apa yang dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu. Juga sebaliknya,
apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak
akan mampu mencelakaimu sedikitpun kecuali atas kehendak Allah. Pena
telah diangkat dan lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi).
Betapa dahsyatnya arahan yang diberikan oleh Rasulullah. Dengan
nasihat tersebut anak muda akan memiliki kepribadian yang kuat. Ia kokoh
bukan karena kelebihan, harta, kekuasaan, jabatan, potensi,
popularitas, dan pengaruh yang dimilikinya, tetapi terhubungnya dirinya
dengan Allah Subhanahu Wata’ala. Siapapun yang terhubung dengan Allah,
manusia yang tidak diperhitungkan, diangkat dan dimuliakan oleh-Nya
dalam sekejab. Demikian pula, manusia yang paling kuat melebihi Fir’aun
tidak berdaya menolak keputusan dari-Nya (mati tenggelam di laut merah).
Jangankan menghindari datangnya musibah dan kematian, menolak rasa
ngantuk saja tidak mampu. Alangkah lemahnya manusia itu. Manusia adalah
makhluk yang hina. Makhluk yang faqir. Makhluk yang miskin. Makhluk yang
lemah. Seandainya ada kelebihan, itu hanyalah karunia dari Allah.
Dalam riwayat lain selain Imam Tirmidzi sisebutkan,
“Jagalah
Allah niscaya kamu akan mendapati-Nya di hadapanmu. Ketahuilah bahwa apa
yang ditetapkan lolos darimu maka hal itu tidak akan menimpamu, dan apa
yang ditetapkan akan menimpamu hal itu tidak akan lolos darimu.
Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan
bersama kesusahan, dan kesulitan bersama kemudahan.” (HR. Abu bin Humaid).
Nasihat Rasulullah dengan riwayat lain ini pula menggambarkan sebuah
arahan yang pendek tapi padat berisi. Dengan nasihat ini anak dididik,
dibimbing, dipandu untuk menggantungkan urusan dirinya hanya kepada
Allah Subhanahu Wata’ala. Dengan menjaga hukum-hukum Allah SWT seorang
akan dijaga, dibela dan diberi pertolongan oleh-Nya. Apa yang menimpa
diri sesorang baik yang menguntungkan dan membahayakan, atas izin dan
restu Allah belaka. Adakah kekuatan yang dapat mengungguli/melebihi
kekuatan yang bersumber dari Zat Yang Maha Perkasa!.
Hadits tersebut pula mengajarkan kita untuk berjiwa besar. Jika dalam
kesenangan jangan lupa daratan, tetapi harus pandai bersyukur. Karena
kesusahan selalu melambaikan tangan kepadanya. Demikian pula ketika
dalam kesulitan jangan larut dalam kesedihan, sesungguhnya kemudahan
selalu melambaikan tangan untuknya.
Jika tertimpa sakit yang menahun, bukankah Nabi Ayyub dan beribu-ribu
orang sudah merasakan sakit yang sama. Kita bukan orang yang pertama
merasakannya. Jika didzalimi, bukankah Nabi Yusuf dipenjara, padahal dia
bukan orang yang bersalah. Jika jatuh miskin, bukankah keluarga
Ahlul Bait
(Ali dan Fatimah) adalah termasuk keluarga sederhana, tetapi keluarga
ahlul jannah. Bukan kesuksesan dan kegagalan yang kita takutkan, tetapi
apakah kedua kondisi yang kontradiktif itu menambah kebaikan diri dan
keluarga kita. Seringkali sesuatu yang kita benci, itu baik untuk kita.
Dan sesuatu yang kita senangi, ternyata mendatangkan madharat untuk
kita.
Dalam riwayat salafus shalih juga menceritakan anak-anak yang
memiliki aqidah yang kuat. Suatu hari khalifah Umar bin Khathab melewati
sekumpulan anak-anak sedang bermain. Semua anak berlarian karena takut
kepada Amirul Mukminin kecuali satu anak. Dialah Ibnuz Zubair. Umar
bertanya kepadanya,”Mengapa engkau tidak lari seperti teman-temanmu,
anakku! Dia menjawab, ”Aku adalah anak yang tidak bersalah denganmu,
mengapa aku harus lari darimu. Jalan pun demikian luas, mengapa aku
harus menepi. Dialah putra Asma binti Abi Bakar. Ketika remaja menjadi
seksi logistik, sehingga menyelamatkan Rasulullah Subhanahu Wata’ala dan
Abu Bakar dari kelaparan dalam tempat persembunyiannya di Gua Tsur.
Dialah saudari Aisyah ra. Istri seorang sahabat yang termasuk 10 sahabat
yang dijamin masuk surga, yaitu: Abdullah ibnu Zubair.”
Dalam riwayat lain, ketika Umar bin Khathab mengadakan perjalan di
hutan, dia menjumpai seorang anak gembala. Yang menggembalakan 20 ekor
kambing. Umar ingin membeli seekor kambing. Ia bertanya dengan
penggembala, aku ingin membeli seekor kambingmu !. Ia menjawab, kambing
itu bukan milikku. Tetapi, kepunyaan majikanku. Umar melanjutkan,
katakan kepada majikanmu, seekor kambing telah di makan kawanan
serigala. Anak tersebut menjawab dengan tegas : Dimanakah Allah! Dia
bersamamu, di mana pun kamu berada! Benar, majikanku dapat aku bohongi.
Tetapi, dapatkah aku menipu Allah. Jawaban anak gembala yang melukiskan
kedalaman iman tersebut menyambar hati Umar bagaikan petir. Sehingga
menggetarkan hati beliau untuk kontak dan zikir kepada-Nya. Kesadaran
iman inilah harta yang paling mahal. Dan kalimat tersebut yang
memerdekakannya dari status budak.
Demikian pula cerita masa kecil seorang alim, yang zahid bernama Sahl
At Tusturi. Anak ini setiap jam 03.00 bangun dari tidur. Pada saat
yang sama, pamannya selalu membisikkan lewat telinganya, Allah
Melihatku, Allah Mendengarku, Allah bersamaku. Kata-kata itu
diulang-diulang selama bertahun-tahun. Sehingga mempengaruhi struktur
kepribadiannya. Pada suatu hari pamannya bertanya, jika Allah Subhanahu
Wata’ala selalu menyaksikanmu, tidakkah kamu takut bermaksiat kepada-Nya
!. Sejak itu ia terbentuk menjadi remaja yang shalih, alim dan zahid.
Kisah terakhir adalah seorang Kiai lebih mencintai satu santri
melebihi yang lain. Sehingga menimbulkan kecemburuan santri yang lain.
Maka Kiai tersebut menjelaskan di hadapan mereka. Tahukah kalian mengapa
saya mencintai santri yang satu ini mengungguli yang lain !. Baiklah
agar kecintaanku ini beralasan, semua santri panggil ke sini. Dan
masing-masing saya beri seekor ayam. Kemudian saya memberikan arahan,
semua santri dipersilahkan menyembelih di suatu lokasi yang tidak
dilihat oleh seorang pun. Semua santri pergi dengan membawa ayam, untuk
disembelih di tempat yang sepi. Hanya satu santri yang dicintai Kiai
tadi. Akhirnya Kiai bertanya, Mengapa kalian tidak pergi seperti
teman-teman kalian. Santri tersebut menjawab, adakah suatu tempat yang
disitu tidak dimonitor oleh Allah. Bukankah tidak ada yang tersembunyi
bagi-Nya baik di ujung langit maupun di ujung bumi. Dari sini kita dapat
memahami, hanya santri yang sudah mengenal Allah Subhanahu Wata’ala.*
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah