Sabtu, 17 Oktober 2015

Belajar Episode Cinta Zulaikha

Hasil gambar untuk gambar wanita muslimah 
MARI kita mengingat kembali sebuah kisah yang diabadikan lebih dari empat belas abad silam dalam Al-Quran, tatkala Nabi Yusuf a.s. mendapat kesempatan melakukan apa pun dengan seorang wanita cantik istri seorang raja pada waktu itu. Akan tetapi, Yusuf a.s. adalah seorang Nabi Allah yang amat menaati syariat-Nya. Maka kesempatan itu pun tidak digunakan, karena rasa takut mendalam kepada Allah.
Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata, “Marilah ke sini.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung. (Yusuf: 23)
Luar biasa. Seorang wanita nan cantik jelita telah secara vulgar menawarkan diri kepada seorang pemuda tampan, Yusuf. Kisah ini menjadi sebuah pelajaran bahwa godaan syahwat lawan jenis tidak hanya menimpa manusia ‘pada umumnya’ atau yang biasa disebut sebagai orang awam. Nabi Allah, manusia pilihan, sekalipun, ternyata juga mendapatkan godaan seperti itu. Namun, lihatlah apa yang dilakukan oleh Yusuf a.s. dalam menghadapi godaan itu. “Aku berlindung kepada Allah,” sangat tegas sikap Yusuf.
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (Yusuf: 24)
Inilah sisi-sisi kemanusiaan Yusuf dan Zulaikha, yang ditampakkan dengan jelas oleh Al-Quran. Keduanya memiliki ketertarikan satu sama lain. Wanita istri raja tersebut memiliki ketertarikan terhadap Yusuf, tetapi ternyata ia tidak sepihak. Yusuf juga memiliki ketertarikan. Hanya saja, Allah telah menunjukkan bahwa ketertarikan tersebut tidak boleh diekspresikan secara salah.
Dan kedua-duanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak, dan keduanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata, “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” Yusuf berkata, “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)…” (Yusuf: 25-26)
Kisah yang diabadikan dalam Al-Quran tersebut memberikan banyak pelajaran berharga kepada kita, terutama dalam kaitannya dengan hubungan pasangan jenis. Bahwa karena interaksi antara Yusuf dengan Zulaikha maka akhirnya menimbulkan ketertarikan yang besar –terutama pada Zulaikha. Ketertarikan itu sesungguhnya timbal balik, sebagaimana telah diungkapkan Al-Quran mengenai hal itu.
Akan tetapi, ketertarikan tersebut tatkala tidak segera diredam atau disalurkan secara benar, punya kecenderungan membesar menjadi perasaan lain yang sangat khusus. Kendatipun berstatus sebagai istri sah dari raja, rasa ketertarikan kepada pemuda Yusuf yang amat tampan itu tak bisa dipadamkan. Gagal membujuk Yusuf di dalam kamar yang telah terkunci, Zulaikha tidak putus asa. Ia masih mengejar Yusuf dan berhasil menarik baju gamis Yusuf bagian belakang hingga sobek.
Namun, karena perbuatan tersebut memang suatu aib yang sangat memalukan, begitu mereka membuka pintu kamar dan mendapatkan sang raja telah berdiri di hadapan mereka berdua, dengan sangat cepat Zulaikha menutup aib dirinya, “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” Mengapa Zulaikha tidak mengusulkan agar Yusuf dihukum mati, atau dibuang jauh? Mengapa ia mengusulkan agar dipenjarakan atau dihukum berat?
Ya, mudah memahaminya. Terlalu dalam cinta Zulaikha kepada Yusuf. Masih banyak harapan yang bisa diberikan kepada Yusuf, apabila hukumannya adalah penjara. Kalau dihukum mati atau dibuang jauh, harapan itu menjadi sirna. Dengan dipenjara maka masih terbuka peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan Zulaikha untuk mendekati Yusuf. Namun, Yusuf tidak mau mendapatkan fitnah itu, segera ia membeberkan kebenaran, “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya).”
Perbuatan Zulaikha yang menggoda Yusuf menunjukkan sebuah kecenderungan nafsu yang tidak dilandasi dengan cinta kepada Allah. Sedangkan sikap Yusuf yang berlindung kepada Allah tatkala mendapatkan kesempatan untuk berselingkuh dengan istri raja, kendatipun ia memiliki kecenderungan pula kepada wanita tersebut, menunjukkan bahwa ia mampu menundukkan keinginan nafsunya. Inilah saatnya cinta harus berpisah dengan nafsu; karena tidak halal bagi Yusuf untuk berduaan apalagi bermesraan dengan Zulaikha maka ia memilih melarikan diri dari kamar tersebut.
Dalam membangun rumah tangga, diperlukan cinta dan diperlukan pula nafsu. Akan tetapi, pada saat nafsu telah meninggalkan cinta, ia menjadi tidak beraturan dan tidak bertanggung jawab. Nafsu menjadi tidak terkendali, liar, mencari mangsa, dan tidak pernah terpuaskan.
Sifat dasar dari nafsu kebendaan adalah tidak pernah terpuaskan. Seseorang yang tidak merasa puas dengan pelayanan istrinya, lalu mencari wanita lain untuk menghibur diri, sebanyak apa pun wanita yang telah diajak berkencan, tak akan pernah memberikan kepuasan hakiki kepada dirinya. Nafsu telah mendorong untuk semakin haus dan tidak akan pernah menemukan kepuasan dengan sepuluh, seratus, atau seribu wanita temannya berkencan.
Seorang istri yang merasa dikecewakan suami, lalu mencari kesenangan dan kepuasan dari lelaki lain, ia pun tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan. Nafsu akan terus menyeretnya ke dalam petualangan yang tiada henti. Ia akan lari dari satu pelukan lelaki ke pelukan lelaki lain, seperti piala bergilir. Ia tidak akan mendapatkan apa yang ia cari, kecuali setelah bertobat dan menemukan kembali cintanya karena Allah.

Bulan Muharrom

Hasil gambar untuk gambar bulan 
Karakteristik bulan Muharram
Karakteristik Pertama:  Menguatkan Kembali Semangat Hijrah
Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Besok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Kita ini hanya terikat oleh tiga masa. Masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama ‘Tahun Muhammad’ atau ‘Tahun Umar’. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).
Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu. Ia malah menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi nilainya bagi agama dan umat Islam.
Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).
Dalam sejarah hijrah nabi dari Makkah ke madinah terlihat jalinan ukhuwah kaum Ansor dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam yang  angat kokoh. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya, kuat dan disegani.
 Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Hadis Rasulullah yang sangat populer menyatakan, ‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.”
Karakteristik Kedua: Di sunnahkan berpuasa
Pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari ‘asyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa AS.
Dari Ibnu Abbas RA, ketika Rasulullah صلى الله عليه و سلم  tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah صلى الله عليه و سلم  bertanya, “Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa. “Rasulullah صلى الله عليه و سلم  bersabda, “Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian.” (HR. Abu Daud).
Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa  bulan Ramadhan.
Rasululllah صلى الله عليه و سلم  bersabda: Dari Abu Hurairah RA, Rasululllah صلى الله عليه و سلم  bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tarmizi, dan Nasa’i ).
Puasa pada bulan Muharram yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ‘asyuura.
Aisyah RA pernah ditanya tentang puasa ‘asyuura, ia menjawab, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah   صلى الله عليه و سلم  puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharram.” (HR Muslim).
Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari  ‘Asyura(10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.
Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah صلى الله عليه و سلم  ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: ”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.” (HR. Muslim).
Disamping itu disunnahkan untuk berpuasa sehari sebelum  ‘Asyuraya itu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه و سلم  yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan/cita2 Nabi tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya) :
Ibnu Abbas RA menyebutkan, Rasulullah صلى الله عليه و سلم  melakukan puasa ‘asyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, “Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani.
Maka Rasulullah صلى الله عليه و سلم . bersabda, “Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharram.” Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).
Berdasar pada hadis ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharram. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari : 9, 10, 11 Muharram.
Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah صلى الله عليه و سلم . bersabda, “Puasalah pada hari ‘asyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum dan sehari sesudahnya.” (HR Ahmad).
Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharram. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh.