Senin, 01 September 2014
Kesombongan Menghalangi Pertolongan Allah
Jumlah yang besar tidak menjadi jaminan akan kemenangan. Kesombongan yang bersemayam dalam diri pasukan yang mengandalkan jumlah justru membawa mereka kepada kekalahan.
Perang Hunain terjadi pada bulan Syawal tahun kedelapan Hijriah, tidak lama setelah Makkah berhasil dibuka oleh kaum Muslim. Jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum Muslim menunjukkan telah berakhirnya dominasi kaum kafir Quraisy atas wilayah itu selama berabad-abad. Meskipun demikian, posisi kota Makkah belum dikatakan aman secara geografis, karena beberapa kabilah yang memusuhi Rasulullah saw masih bercokol di kawasan selatan Makkah. Itulah kabilah-kabilah yang pernah menolak ajakan Rasulullah saw ketika beliau masih berdakwah di kota Makkah. Kabilah-kabilah tersebut pernah menolak seruan Nabi saw dan mengusir beliau dengan cara yang amat keji.
Berita kemenangan yang diperoleh Rasulullah saw dan kaum Muslim tampaknya tidak menyenangkan para pemuka kabilah yang berada di sekitar Makkah, yang masih musyrik. Kekhawatiran mereka terhadap pertumbuhan kekuatan kaum Muslim bukan lagi sekadar ilusi, melainkan kenyataan yang harus mereka hadapi.
Salah seorang tokoh Hawazin, yakni Malik bin Auf an-Nashri, behasil memprovokasi beberapa kabilah lainnya, dan bersiap-siap menghadapi pasukan kaum Muslim dengan mengumpulkan kekuatan yang sangat besar di daerah Authas (terletak antara Makkah dan Thaif). Dalam kesempatan itu ia menyertakan juga anak-anak, kaum wanita, bahkan seluruh harta kekayaan mereka. Hal itu dilakukannya guna mencegah anggota-anggota kabilah melarikan diri dari peperangan, sekaligus untuk menyemangati mereka, karena harta kekayaannya, anak-anak, dan kaum wanitanya terdapat di tengah-tengah mereka.
Selain kabilah Hawazin yang bergabung dengan Malik bin Auf, juga turut serta seluruh penduduk Tsaqif. Begitu pula seluruh penduduk kabilah Nashr, kabilah Jusyam, Saad bin Bakr, dan beberapa orang dari Bani Hilal. Malik bin Auf an-Nashri berkata kepada pasukannya, “Apabila kalian melihat mereka, patahkan sarung pedang kalian, lalu bersatu padulah kalian bagaikan satu tubuh.”
Untuk menghadapi musuh ini, Rasulullah saw berangkat bersama 2.000 warga kota Makkah dan 10.000 sahabat yang turut serta bersama beliau saat penaklukan Makkah. Keberangkatannya terjadi pada tanggal 6 Syawal.
Mengenai perang ini Jabir bin Abdullah menceritakan, “Tatkala kami berjalan ke Hunain, kami menuruni salah satu lembah Tihamah yang amat luas. Kami semestinya turun secara perlahan-lahan, namun kami melakukannya dengan tergesa-gesa. Hal itu terjadi di tengah malam yang amat gelap. Di sisi lain, ternyata orang-orang dari kabilah Hawazin telah mendahului kami tiba di lembah itu. Mereka bersembunyi dari penglihatan kami di salah satu tempat tersembunyi dari penglihatan kami. Mereka telah siap sedia dan bertekad bulat untuk menyergap pasukan kaum Muslim. Demi Allah, tidak ada yang menakutkan kami saat kami turun melainkan rombongan pasukan mereka yang menyergap kami dengan kompak, ibarat serangan satu orang. Kami pun berlarian tercerai-berai, dalam kondisi tidak seorang pun yang menoleh kepada yang lainnya. Di tengah kepanikan tersebut Rasulullah saw. berseru, “Hai manusia, kembalilah, aku ini Rasulullah. Aku Muhammad bin Abdullah.”
Seruan beliau tidak didengar, sementara itu unta maupun manusia saling berlarian berpencar, hanya tertinggal beberapa orang dari kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan Ahlul Bait yang tetap bertahan bersama-sama Rasulullah saw. Di antara para sahabat yang tetap bertahan bersama-sama beliau dari kaum Muhajirin adalah Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab; dari Ahlul Bait adalah Ali bin Abu Thalib, Abbas bin Abu Thalib, Abu Sufyan bin al-Harits bersama anaknya al-Fadhl bin Abbas, Rabiah bin al-Harits, Usamah bin Zaid, dan Aiman bin Ummu Aiman bin Ubaid yang saat itu gugur sebagai syahid.
Meski sebagian besar pasukannya berlarian tercerai-berai, Rasulullah saw tak beranjak dari tempat berdirinya. Beliau bersabda, “Hai Abbas, berteriaklah. Hai seluruh orang-orang Anshar, wahai seluruh orang-orang pemilik samurah.” Mereka lalu menjawab bersahutan, “Ya, kami menyambut panggilanmu.” Tidak lama kemudian, pasukan mampu dikonsolidasikan kembali.
Tekanan peperangan berbalik menyudutkan pasukan musuh. Allah Swt mengalahkan orang-orang musyrik dalam Perang Hunain dan memberikan kemenangan kepada Rasulullah saw. Tatkala orang-orang dari kabilah Hawazin kalah, korban dari pihak Tsaqif (Bani Malik) amat banyak; 70 orang dari mereka tewas di bawah bendera perang mereka, termasuk di dalamnya Utsman bin Abdullah bin Rabiah bin al-Harits bin Habib. Orang-orang musyrik yang kalah dalam Perang Hunain melarikan diri ke Thaif bersama Malik bin Auf an-Nashri.
Perang Hunain mengajarkan kepada kita bahwa sombong dan silau dengan jumlah pasukan yang banyak ternyata justru menghalangi pasukan Muslim untuk memperoleh kemenangan di permulaan perang. Alqur’an menggambarkan hal tersebut melalui firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.“ (QS. At-Taubah : 25)
Hal itu diingatkan oleh Rasulullah saat menjelaskan bahwa tidak ada daya dan kekuatan selain pertolongan Allah, beliau berdoa, “Ya Allah, dengan (bantuan-Mu) aku berusaha, dengan (bantuan-Mu) aku menyergap, dengan (bantuan-Mu) aku berperang.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar