Suatu Saat, Imam Abu Yusuf, murid dari Imam Abu Hanifah
mengimami shalat Jumat menggantikan khalifah saat itu. Namun beliau lupa
bahwa beliau berhadats. Setelah shalat selesai beliau baru ingat bahwa
beliau mengimami dalam keadaan berhadats, maka beliau pun mengulang
shalat namun tidak menyuruh makmum untuk mengulang shalat. Dan ketika
ditanya apakah beliau tidak menyuruh para makmum untuk mengulang, beliau
pun menjawab,”Kemungkinan mereka akan memperoleh kesempitan, maka kita
mengambil pendapat ahlul Madinah bagi para penduduk”.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pendapat Madzhab Hanafi, jika Imam lupa bahwa ia berhadats, maka imam dan makmum harus mengulangi. Namun pendapat ahlul madinah cukup bagi imam yang mengulangi. Kisah yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al Fatawa (20/364,365), itu menunjukkan bahwa adanya ikhtilaf dalam masalah furu’ justru memberi kelapangan dan kemudahan.
Kisah yang lain mengenai Imam Abu Yusuf disebutkan oleh Syah Waliyullah Ad Dihlawi ulama ternama dari India. Suatu saat Imam Abu Yusuf mandi jumat untuk melaksanakan shalat jumat bersama para jamaah. Namun setelah selesai shalat ada yang menyampaikan kabar bahwa di sumur yang airnya digunakan untuk mandi terdapat bangkai tikus. Sedangkan madzhab Abu Hanifah menyatakan bahwa air bebas dari najis jika jumlahnya banyak, yakni tidak bergerak air di sisi ujung jika air di sisi lainnya digerakkan. Akhirnya Abu Yusuf menyatakan,”Jika demikian, kita mengambil pendapat saudara-sadara kita penduduk Madinah, bahwa jika banyaknya air sampai dua kullah, maka ia tidak najis.” (Lihat, Al Inshaf hal. 71)
Adanya perbedaan pendapat mengenai kadar yang membebaskan air dari najis memberi kemudahan kepada para penganut madzhab Hanafi dalam melaksanakan syari’at. Hingga mereka tidak perlu mengulangi shalat jumat, disebabkan karena mandi dengan air yang menurut madzhab yang mereka anut termasuk sebagai air yang najis.
Imam Az Zarkasyi Asy Syafi’i juga menyampaikan kisah Qadhi Abu Thayyib dari kalangan Syafi’iyah, bahwa di saat hendak shalat Jumat dan hendak melakukan takbiratul ihram tiba-tiba seekor burung menjatuhkan kotorannya ke badan beliau. Namun beliau kemudian berkata,”Saya Hanbali”, kemudian bertakbir. Apa yang diamalkan dengan madzhab beliau (As Syafi’i), tidak menghalangi untuk bertaklid kepada madzhab lainnya, jika ada keperluan. (Faidh Al Qadir, 1/211)
Adanya ikhtilaf pendapat akan najisnya kotoran hewan yang beoleh dimakan antara madzhab As Syafi'i yang memandang najis dan madzhab Hanbali yang memandang suci ternyata memberikan solusi.
Penerapan di Masa Kontemporer
Pendapat utama dalam madzhab As Syafi’i menyatakan bahwa bersentuhan kulit antar lawan jenis yang bukan mahram setelah baligh membatalkan wudhu bagi yang menyentuh dan yang disentuh. Sedangkan untuk menghindari persentuhan kulit antar jamaah di kala melaksanakan thawwaf amatlah susah, sedangkan tempat wudhu juga jaraknya cukup jauh dari lokasi ibadah tersebut. Maka jalan keluar yang ditempuh adalah mengambil pendapat kedua madzhab As Syafi’i yang menyatakan bahwa wudhu batal karena menyentuh saja, sedangkan jika disentuh tidak batal.
Solusi inilah yang pernah difatwakan oleh Mufti Brunei pada tahun 2004 lalu, guna memberi kemudahan kepada penganut As Syafi’iyah ketika mereka melaksanakan haji. Inilah salah satu hikmah adanya dua pendapat dalam madzhab As Syafi’i dalam masalah ini.
Yang juga memperoleh kemudahan karena adanya perbedaan pendapat adalah mereka yang terjebak macet dalam kendaraan dan tidak memungkinkan untuk shalat baik di dalam maupun di luar kendaraan.
Jumhur ulama memang tidak membolehkan menjamak shalat dalam keadaan seperti ini jika jarak perjalanan belum mencapai jarak safar. Namun, Ibnu Sirin membolehkan hal itu, jika ada hajat dan bukan untuk dilakukan terus menerus (lihat Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 4/322).
Dan Mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah meski bermadzhab As Syafi’i, dengan berpedoman kepada hadits riwayat Imam Muslim yang artinya,”Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melaksanakan shalat dhuhur, ashar, maghrib dan isya dengan cara dijamak bukan karena takut atau safar,” mengeluarkan fatwa mengenai bolehnya menjamak dua shalat ketika terjebak kemacetan, namun hal itu tidak boleh dijadikan adat kebiasaan. Melaksanakan pendapat itu lebih baik dari pada akhirnya menqadha’ shalat karena tidak bisa melaksanakannya di waktu yang telah ditentukan oleh syara’.
Bukan Ikhtilaf tapi Kelapangan
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah menyatakan,”Tidak membuat aku gembira ketika para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak ada iktilaf. Karena jika mereka sepakat dengan satu pendapat, dan seseorang menyelisihinya, maka orang itu sesat. Namun jika mereka berbeda pendapat, hingga ada seorang yang mengambil dari ini, dan yang lain mengambil dari itu, maka perkaranya akan menjadi lapang.” (lihat, Al Majmu’ah Al Fatawa, 30/79-81)
Bahkan para ulama berupaya menghapus istilah ikhtilaf itu sendiri dan menggantinya dengan “kelapangan”. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa suatu saat seseorang menulis sebuah kitab yang mengupas masalah ikhtilaf. Maka Imam Ahmad pun menyampaikan,”Jangan dinamai sebagai Kitab Ikhtilaf, namun beri nama ia sebagai Kitab Kelapangan.” (lihat, Al Majmu’ah Al Fatawa, 30/79-81)
Walhasil, dari perkataan dan perbuatan para salaf, khalaf hingga mu’ashirin menunjukkan bahwa sebenarnya adanya ikhtilaf para ulama mujtahid dalam masalah furu’ fiqih merupakan sebuah kelapangan yang memberikan solusi alternatif bagi masing-masing pribadi Muslim tatkala mengalami kesulitan menerapkan “pendapat ideal” bagi mereka.
Dan hal ini bukan termasuk tattabu’ rukhas (mencari-cari pendapat yang paling mudah), yang dilarang oleh sebagian ulama, dikarenakan ada kebutuhan untuk melakukannya.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pendapat Madzhab Hanafi, jika Imam lupa bahwa ia berhadats, maka imam dan makmum harus mengulangi. Namun pendapat ahlul madinah cukup bagi imam yang mengulangi. Kisah yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al Fatawa (20/364,365), itu menunjukkan bahwa adanya ikhtilaf dalam masalah furu’ justru memberi kelapangan dan kemudahan.
Kisah yang lain mengenai Imam Abu Yusuf disebutkan oleh Syah Waliyullah Ad Dihlawi ulama ternama dari India. Suatu saat Imam Abu Yusuf mandi jumat untuk melaksanakan shalat jumat bersama para jamaah. Namun setelah selesai shalat ada yang menyampaikan kabar bahwa di sumur yang airnya digunakan untuk mandi terdapat bangkai tikus. Sedangkan madzhab Abu Hanifah menyatakan bahwa air bebas dari najis jika jumlahnya banyak, yakni tidak bergerak air di sisi ujung jika air di sisi lainnya digerakkan. Akhirnya Abu Yusuf menyatakan,”Jika demikian, kita mengambil pendapat saudara-sadara kita penduduk Madinah, bahwa jika banyaknya air sampai dua kullah, maka ia tidak najis.” (Lihat, Al Inshaf hal. 71)
Adanya perbedaan pendapat mengenai kadar yang membebaskan air dari najis memberi kemudahan kepada para penganut madzhab Hanafi dalam melaksanakan syari’at. Hingga mereka tidak perlu mengulangi shalat jumat, disebabkan karena mandi dengan air yang menurut madzhab yang mereka anut termasuk sebagai air yang najis.
Imam Az Zarkasyi Asy Syafi’i juga menyampaikan kisah Qadhi Abu Thayyib dari kalangan Syafi’iyah, bahwa di saat hendak shalat Jumat dan hendak melakukan takbiratul ihram tiba-tiba seekor burung menjatuhkan kotorannya ke badan beliau. Namun beliau kemudian berkata,”Saya Hanbali”, kemudian bertakbir. Apa yang diamalkan dengan madzhab beliau (As Syafi’i), tidak menghalangi untuk bertaklid kepada madzhab lainnya, jika ada keperluan. (Faidh Al Qadir, 1/211)
Adanya ikhtilaf pendapat akan najisnya kotoran hewan yang beoleh dimakan antara madzhab As Syafi'i yang memandang najis dan madzhab Hanbali yang memandang suci ternyata memberikan solusi.
Penerapan di Masa Kontemporer
Pendapat utama dalam madzhab As Syafi’i menyatakan bahwa bersentuhan kulit antar lawan jenis yang bukan mahram setelah baligh membatalkan wudhu bagi yang menyentuh dan yang disentuh. Sedangkan untuk menghindari persentuhan kulit antar jamaah di kala melaksanakan thawwaf amatlah susah, sedangkan tempat wudhu juga jaraknya cukup jauh dari lokasi ibadah tersebut. Maka jalan keluar yang ditempuh adalah mengambil pendapat kedua madzhab As Syafi’i yang menyatakan bahwa wudhu batal karena menyentuh saja, sedangkan jika disentuh tidak batal.
Solusi inilah yang pernah difatwakan oleh Mufti Brunei pada tahun 2004 lalu, guna memberi kemudahan kepada penganut As Syafi’iyah ketika mereka melaksanakan haji. Inilah salah satu hikmah adanya dua pendapat dalam madzhab As Syafi’i dalam masalah ini.
Yang juga memperoleh kemudahan karena adanya perbedaan pendapat adalah mereka yang terjebak macet dalam kendaraan dan tidak memungkinkan untuk shalat baik di dalam maupun di luar kendaraan.
Jumhur ulama memang tidak membolehkan menjamak shalat dalam keadaan seperti ini jika jarak perjalanan belum mencapai jarak safar. Namun, Ibnu Sirin membolehkan hal itu, jika ada hajat dan bukan untuk dilakukan terus menerus (lihat Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 4/322).
Dan Mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah meski bermadzhab As Syafi’i, dengan berpedoman kepada hadits riwayat Imam Muslim yang artinya,”Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melaksanakan shalat dhuhur, ashar, maghrib dan isya dengan cara dijamak bukan karena takut atau safar,” mengeluarkan fatwa mengenai bolehnya menjamak dua shalat ketika terjebak kemacetan, namun hal itu tidak boleh dijadikan adat kebiasaan. Melaksanakan pendapat itu lebih baik dari pada akhirnya menqadha’ shalat karena tidak bisa melaksanakannya di waktu yang telah ditentukan oleh syara’.
Bukan Ikhtilaf tapi Kelapangan
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah menyatakan,”Tidak membuat aku gembira ketika para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak ada iktilaf. Karena jika mereka sepakat dengan satu pendapat, dan seseorang menyelisihinya, maka orang itu sesat. Namun jika mereka berbeda pendapat, hingga ada seorang yang mengambil dari ini, dan yang lain mengambil dari itu, maka perkaranya akan menjadi lapang.” (lihat, Al Majmu’ah Al Fatawa, 30/79-81)
Bahkan para ulama berupaya menghapus istilah ikhtilaf itu sendiri dan menggantinya dengan “kelapangan”. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa suatu saat seseorang menulis sebuah kitab yang mengupas masalah ikhtilaf. Maka Imam Ahmad pun menyampaikan,”Jangan dinamai sebagai Kitab Ikhtilaf, namun beri nama ia sebagai Kitab Kelapangan.” (lihat, Al Majmu’ah Al Fatawa, 30/79-81)
Walhasil, dari perkataan dan perbuatan para salaf, khalaf hingga mu’ashirin menunjukkan bahwa sebenarnya adanya ikhtilaf para ulama mujtahid dalam masalah furu’ fiqih merupakan sebuah kelapangan yang memberikan solusi alternatif bagi masing-masing pribadi Muslim tatkala mengalami kesulitan menerapkan “pendapat ideal” bagi mereka.
Dan hal ini bukan termasuk tattabu’ rukhas (mencari-cari pendapat yang paling mudah), yang dilarang oleh sebagian ulama, dikarenakan ada kebutuhan untuk melakukannya.
Rep:
Sholah Salim
Editor: Thoriq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar