Rabu, 22 Oktober 2014
Makin Sulit Semakin Manis Terasa
“Ani, nanti selesai liqo jangan pulang dulu ya, aku mau ngomong sedikit,”kata Ustadzah Aminah.
“Iya deh, mbak. Kebetulan aku juga nggak ada acara,” Jawab Furyani
Rasanya nggak tenang menunggu selesainya acara liqo, karena penasaran, ada apakah gerangan sehingga ustadzah menahanku seusai liqo ini. Baca alquran, setor hafalan, kultum dan info dunia Islam telah terlewati. Sekarang acara materi inti yang membahas masalah Membina Keluarga Samara (Sakinah Mawaddah Wa Rahmah). Walaupun disampaikan dengan jelas dan perlahan, namun aku sulit mencerna karena pikiranku susah untuk konsentrasi, menebak nebak apa yang hendak diomongkan ustadzah kepadaku nanti.
Seusai acara, teman teman pada pulang dan aku sendiri yang masih bertahan di rumah Ustadzah.
“Begini Ani, maaf sebelumnya kalau terlalu mencampuri urusan pribadi. Namun sebagai sesama muslim tidak ada jeleknya kalau kita saling berbagi rasa dan nasehat menasehati. Dalam kelom-pok liqo ini, kan tinggal Ani yang belum nikah tuh, kira kira bagaimana, apakah sudah ada rencana? Nikah kan bernilai setengah agama pasti ingin dong mendapatkannya? Insya Alloh kami siap untuk membantu.”
“Afwan Ustadzah, dan terimakasih atas perhatiannya. Sebenarnya siapa sih tak tak ingin menikah. Sejak kuliah dulu Ani juga sudah kepingin nikah, tapi rasanya kepedihan masa lalu masih belum benar benar sirna. Bagaimana nggak sakit, kalau sudah merencanakan nikah, bahkan ketika kuliah aku juga sering membantu biaya kuliahnya, buat skripsi dan sebagainya, eh ternyata setelah lulus dia malah MBA (married by accident) dengan teman kuliahku. Astaghfirulloh, walaupun itu masalalu, namun luka itu kadang masih terasa.”
“Ya, kami memahami. Memang masa lalu yang pahit kadang selalu menghantui pikiran kita. Namun kita tak boleh hanyut oleh masa lalu. Tataplah masa depan. Usahakan lebih baik lagi dan semoga tak terulang peristiwa kelam masa lalu. Sekarang mari kita pikirkan dan rencanakan masa depan dengan lebih baik. Adakah keinginan Ani untuk mendapatkan setengah agama?
“Ya, tentu sangat mau Ustadzah, namun sampai saat ini belum ada yang sreg. Orang tua sih sudah sering mendesak, bahkan mau menjodohkan aku dengan pilihan mereka. Cuma aku nggak tertarik padanya.”
“Kalau masalah prinsip yang nggak cocok itu alasan yang penting, tapi kalau masalah teknis kiranya tak perlu jadi masalah.”
“Iya ustadzah, ini masalah prinsip. Salah satunya adalah ia sholatnya aja bolong bolong. Sering tidaknya daripada mengerjakannya.”
“Wah kalau itu masalah penting. Itu menunjukkan kadar keimanan, kefahaman dan pengetahuan Islamnya. Padahal Nabi menyuruh kita dalam memilih pasangan harus mengutamakan faktor agamanya. Karena suami adalah teman selama hidup kita, bukan sehari dua hari, sehingga sangat mempengaruhi perilaku kita.” “Itulah, makanya aku nggak setuju dengan pilihan orang tuaku, namun mereka selalu mendesakku.
Masalahnya, aku ingin mendapatkan suami yang sholeh, yang bisa membimbingku, namun sampai saat ini aku bingung sendiri bagaimana caranya.”
“Nah, ini dia. Maksud saya menahan kamu sekarang adalah mau omongkan masalah ini. Begini, kemarin saat Abinya Fatma acara Usroh di Reggae, ada ikhwan yang minta dicarikan akhwat untuk diajak menikah. Bahkan sudah ngasih biodata. Dia sudah ikut tarbiyah lebih dari empat tahun, jadi wawasan dan ghiroh keIslamannya bagus. Dialah yang selama ini aktif ngurusi kalau ada kegiatan kegiatan keagamaan di Reggae. Lagi pula, kalau sudah sama sama di sini, kan nggak perlu susah susah bikin visa, he he. Kalau Ani mau dan serius, nanti akan kami bicarakan dengan Abinya Fatma. Gemana?”
“Iya,ustadzah. InsyaAlloh aku serius. Mudah mudahan cocok dan Alloh beri kemudahan”.
“Ya, insyaAlloh untuk proses selanjutnya akan kami beritahu. Banyak banyak do’a ya”
Hari hari terasa indah bagi Furyani. Ia makin ceria dan semangat. Setelah lama menunggu nunggu akhirnya tiba juga saatnya. Semoga Alloh memudahkan untuk mengakhiri masa lajangnya. Setelah tahajud dan istikhoroh dalam beberapa hari ia merasa mantap dengan ikhwan yang dita’arufkan oleh ustadzahnya. Ia pun memberi tahu orang tuanya. Dengan bergegas ia membeli kartu Delta three untuk menelpon orang tuanya, bahkan sampai tiga kartu ia beli sekaligus.
“Hallo, assalamu alaikum…”
“Wa alaikum salam. Oh Ani. Sudah lama ibu nunggu nunggu telpon dari kamu. Gemana kabarmu, sehat kan?”
“Iya bu, alhamdulillah Ani baik baik saja. Maaf bu lama nggak nelpon.”
“Bapakmu selalu nanya, apa Ani telpon? Soalnya keluarga Anton selalu nanyakan jawaban Ani. Gemana, setuju kan? Kalau setuju, bulan depan mau lamaran. Kurang gemana coba si Anton itu. Anaknya orang kaya dan terpandang. Lulusan Amerika. Anak satu satunya lagi. Jadi kalau menikah dengan dia, Ani nggak perlu merantau jauh jauh ke Kuwait. Gemana sayang, setuju kan?“
“Ee..em.maaf bu. Bukannya aku menolak kemauan ibu, bukannya aku membantah keinginan orang tua, tapi menikah kan bukan masalah sepele. Dan suami adalah teman untuk selama hidup. Ani rasa, tak cocok dengan Anton, karena perbedaan prinsip yang cukup mendasar. Ani tak mau punya suami yang sholatnya aja nggak karuan, bagaimana dengan pola pikirnya, bagaimana mungkin jadi pejuang agama, bagaimana mau berdakwah, bagaimana…
“Stop Ani, jangan teruskan alasan alasanmu itu. Katanya kamu sekarang rajin mengaji. Kok bukannya patuh pada orang tua, tapi malah suka membantah…”
“Mm.maaf.. bu. Bukannya aku mau membantah. Sungguh, Ani sangat ingin berbakti dan membahagiakan orang tua. Tapi masalah suami adalah masalah yang sangat penting Bu. Salah memilih suami, akibatnya bukan hanya di dunia, tapi bisa sampai akherat Bu.
Ibunda sayang, justru saat ini Ani mau membicarakan calon pilihan Ani. Insya Alloh orangnya sholeh, tanggung jawab dan baik akhlaknya. …
“Ani, kalau kau masih menganggap ibu sebagai orang tua, kau harus menuruti kata ibu. Di mana wajah ibu mau ditaruh. Ibu dan bapakmu sudah mengiyakan lamaran dan berjanji untuk membujuk Ani agar mau menerima Anton. Merekalah yang sudah berjasa membantu kita saat bapakmu terlilit utang. Merekalah yang selama ini selalu …
Perdebatan panjang Ani dan Ibunya tak membuahkan kata sepakat. Susah payah Ani menjelaskan alasan bahkan samapi tiga kartu habis, namun tetap tak ada titik temunya. Bahkan semakin merenggangkan hubungan.
“Bagaimana Ani, apakah orang tuamu setuju?”
“Afwan Ustadzah, mungkin cara pandang kami yang berbeda, sehingga susah payah Ani menjelaskan ke Ibu, namun tetap saja nggak setuju. Bahkan mengancam takkan merestui kalau Ani menikah dengan selain Anton. Bahkan mengancam nggak akan mengakui sebagai anak lagi.”
“Sabarlah Ani. Semua masalah InsyaAlloh ada jalan pemecahannya. Sebagaimana firman Alloh dalam Albaqoroh 153: “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolong bagimu…”
Maka menghadapi masalah ini kita harus bersabar. Rajin rajinlah tahajud dan berdoa semoga Alloh membukakan hati orang tuamu.”
“Iya Ustadzah, mohon bantu doain ya..”
Dalam keheningan malam, seusai tahajud, Ani bermunajat.
“Ya Alloh, Tuhan yang membolak balikkan hati, bukalah hati ayah bundaku, agar mau menerima kebaikan dan kebenaran. Ya robb, sebagaimana Engkau janjikan, bahwa wanita yang baik untuk lelaki yang baik. Maka hamba pun ingin menjadi wanita yang sholehah, maka berilah hambamu ini suami yang sholeh, yang bisa membimbing dan mengarahkanku, agar selalu taat padaMu. Ya robb, yang maha kuasa dan perkasa, yang mengatur segala urusan, mudahkanlah urusan urusan kami, urusan dunia maupun urusan akherat……
Suatu sore, sehabis sholat maghrib, telpon di kamar Ani berdering.
“Hallo assalamu alaikum, oh ibu. Apa kabar Bu. Wah njanur gunung, nggak biasanya ibu telpon. Ada berita penting bu?”
“Iya Ani, maafkan ibu ya. Selama ini ibu memaksa Ani agar mau menerima lamaran Anton. Ibu nggak nyangka kalau Anton itu ternyata bandar narkoba. Tadi siang, ibu lihat diacara Buser di TV, ia ditangkap polisi saat pesta shabu shabu dengan seorang cewek di hotel.
Maafkan ibu ya Nak. Untung Ani nggak menerima lamaran mereka. Kalau jadi betapa malunya kita. Memang ternyata fisik dan materi tak bisa dibandingkan dengan keindahan budi, tak sepadan dengan keluhuran akhlak. Sekarang, ibu setuju dan merestui dengan pilihan Ani. Cepatlah dikenalkan pada keluarga dan kita rencanakan pernikahanmu….
Tanggal 14 Oktober, jam 08.30 wib “Saya terima nikahnya Furyani binti Junaedi dengan mas kawin seperangkat alat sholat, tunai…..
14 Oktober, jam 22.30 WIB “Mas, akhirnya kita menikah juga ya. Tak membayangkan, bagaimana dulu orang tuaku begitu keras menentang kita, tapi dengan kesabaran dan doa akhirnya Alloh memudahkan semuanya.”
“Iya dik, semakin sulit di dapat semakin manis terasa…..Ayo dik, sekarang apa nanti?”
“Sekarang juga boleh mas…..”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar