SETIAP tanggal 10 Dzulhijjah umat Islam memperingati Hari Raya
Kurban. Dzulhijjah adalah di antara bulan-bulan yang memiliki keutamaan
tersendiri. Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam bersabda: “Tidak
ada hari-hari, di mana amalan shaleh di dalamnya lebih dicintai Allah
daripada (amalan shaleh) di 10 hari pertama (bulan Dzulhijjah). Para
Sahabat bertanya: Apakah termasuk jihad di jalan Allah? Beliau bersabda:
Ya, termasuk jihad (yang dilakukan di luar 10 hari tsb), kecuali orang
yang pergi (berjihad) dengan nyawa dan hartanya, dan dia tidak kembali
lagi.” [HR. Bukhari]
Di antara amalan shaleh terpenting di bulan Dzulhijjah, selain ibadah
haji adalah ibadah kurban. Berkenaan dengan fadilah kurban ini dapat
kita simak Hadits berikut ini: Wahai Rasulullah Shallallahu a’alaihi
Wassalam, apakah kurban itu?
Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi
Ibrahim.” Para Sahabat bertanya: “Apa keutamaan yang akan kami peroleh
dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya
adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah
menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR. Bbn
Majah).
Di samping itu, Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam juga
bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kelapangan, namun tidak berkurban,
maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR Sunan Ibn
Majah, 3123)
Makna Kurban
Kurban dalam bahasa arab berakar kata dari qaruba. Akar kata ini
membentuk kata: qurb (dekat), taqarrub (mendekatkan diri) aqriba’
(kerabat) dsb.
Menurut para pakar bahasa Arab, kurban bermakna suatu sarana untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah (lihat: Ma’ani l-Qur’an).
Al-Mawardi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kurban adalah amal
kebajikan yang ditujukan menggapai Rahmat Allah. Sedangkan dalam Mu’jam
Wasith kurban berarti segala bentuk amalan untuk bertaqarrub kepada
Allah, baik berupa penyembelihan maupun lainnya.
Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya mengutip Sabda Nabi kepada Ka’b:
“Wahai Ka’b! Puasa itu adalah perisai dan shalat itu adalah kurban”.
Lebih lanjut dalam kitab Hilyatul Auliya’ dijelaskan sebagai berikut:
“Shalat adalah kurban dari setiap orang yang bertakwa.”
Haji itu adalah bentuk jihad dari setiap orang yang lemah
Zakat badan adalah puasa
Pendakwah tanpa amalan bagai pemanah tanpa busur.
Pancinglah turunnya rizki dengan bersedekah
Bentengilah hartamu dengan zakat”.
Qurb (dekat) yang menjadi derivasi kata Qurban mempunyai arti sebagai
kondisi istiqamah yang sejalan dengan perintah Allah, ketaatan dan
memaksimalkan waktu untuk beribadah kepada-Nya (Lathaif al-I’lam).
Dalam hal ini, Abul Qasim al-Junaid (w.297H) memberi contoh makna
qurb sebagai berikut: Ketahuilah! Sesungguhnya Allah mendekati hati
hamba-hambaNya sesuai apa yang Dia ketahuhi dari kedekatan hati
hamba-hambaNya kepadaNya. Maka perhatikanlah, perihal apakah yang
mendekati pada hatimu?
Takwa dan Kurban
Allah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا
قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ
قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِي
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil)
menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka
diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti
membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban)
dari orang-orang yang bertakwa.” (QS: al-Maidah: 27)
Al-Mawardi dalam tafsirnya menukil pendapat Abdullah bin ‘Umar
tentang sebab diterimanya kurban Habil, dikarenakan beliau
mempersembahkan harta terbaiknya yang berupa tanaman sebagai kurbannya.
Sedangkan ditolaknya kurban Qabil ditolak karena dia bersifat minimalis
dalam mempersembahkan hartanya.
Maka keikhlasan sebagai ruh takwa adalah kualifikasi diterimanya
sebuah kurban. Sebab takwa memiliki makna lahir dan batin. Makna
lahiriyah takwa diukur dari sejauhmana seorang hamba memperhatikan
batasan-batasan (hudud) yang telah ditetapkan Allah. Sedangkan makna
batinnya ditentukan oleh keikhlasan dalam setiap amalannya. (lihat:
al-Risalah al-Qusyairiyyah, I/308)
Allah berfirman:
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ
التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ
عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِي
“Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya
kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah
kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS: al-Hajj: 37)
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Ridha Allah tidak
akan sampai pada pemilik daging-daging yang disedekahkan dan darah-darah
yang mengalir dari hewan yang dikurbankan kecuali jika dia melandasi
amalannya dengan niat ikhlas dan memperhatikan syarat-syarat taqwa saat
berkurban.
Secara kebahasaan, takwa berarti menjaga jiwa dari sesuatu yang
ditakuti (ja’lun nafs fi wiqayatin mimma yakhaf). Makna takwa ini dapat
kita ketahui dari penjelasan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam;
“Hindarilah (ittaqu, dari kata taqwa) api neraka walau dengan sebutir
kurma, jika tidak punya sebutir kurma, maka gunakan kata yang baik.”
(HR. Bukhari)
Sedangkan secara syar’i, takwa berarti menjaga jiwa dari segala yang
mengotorinya, yaitu dengan meninggalkan semua yang dilarang. Orang yang
bertaqwa adalah yang menjadikan ketaatannya hanya untuk Allah dan
mematuhi perintah-Nya sebagai pelindung dari azab-Nya. Kesemuanya ini
berjalan sempurna dengan meninggalkan hal-hal dibolehkan (mubah) tapi
mengandung syubhat, sehingga dia tidak terperosok kedalam hal yang
diharamkan.
Oleh karena itu, Ibn ‘Umar berkata: “Seorang hamba tidak akan
mencapai takwa yang hakiki sehingga dia meninggalkan gejolak (niatan
buruk) dalam dadanya.” (HR Shahih Bukhari, kitabul iman)
Dalam pandangan Sufi yang lurus, takwa menempati maqam tertinggi,
karena takwa menghindari hal-hal yang tidak disukai (makruh). Taqwa
mendindingi seseorang dari segala yang dicintai dan dicarinya; seperti
menjauhi kekufuran dengan keimanan, kesyirikan dengan tauhid, riya’
dengan ikhlas, dusta dengan jujur, curang dengan nasehat, maksiat dengan
taat, bid’ah dengan ittiba’, syubhat dengan wara’, dunia dengan zuhud,
lalai dengan zikir, setan dengan ta’awudz, neraka dengan menjauhi amalan
buruk, dan menghindari semua kejahatan dengan kebaikan yang menjadi
penyelamatnya.
Maka menurut kaum sufi, takwa itu mencakup empat hal:
Pertama, sangat takut dari dosa-dosa di masa silam, di mana
kenikmatannya telah sirna tetapi balasan dosanya masih menghantuinya.
Kedua, sangat khawatir terperosok kedalam dosa-dosa di masa mendatang
Ketiga, sangat takut bila mendapatkan su’ul khatimah.
Keempat, sering bermuhasabah (introspeksi diri)
Mengenai penyebutan daging dan darah dalam QS. Al-Hajj 37, Ibnu
Katsir menjelaskan hal ini karena kebiasaan masyarakat jahiliyah ketika
berkurban mereka menggantungkan daging kurban pada patung tuhan-tuhannya
dan melumuri “tuhan”nya dengan darah kurban. Lalu para Sahabat berkata:
“Kami lebih berhak melakukan hal itu dari mereka”. Maka turunlah ayat:
“Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya”.
Lalu beliau menyitir Hadits Nabi: “Sesungguhnya amalan sedekah itu
telah sampai kepada Allah sebelum sampai ke tangan penerimanya, dan
sungguh (pahala) dari darah (kurban) itu telah sampai kepada Allah
sebelum membasahi bumi.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Dengan demikian hal terpenting dari ibadah kurban adalah sarana
sebagai penggemblengan jiwa untuk lebih bertaqarrub kepada Allah dan
memperbaiki kualitas takwa kita. Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar