"Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu kesaktian," sumpah Brahmana sembari berdiri di atas geladak di buritan kapal layar.
"Jika dia kalah, maka akan aku tebas batang lehernya. Jika dia yang
menang akau akan bertekuk lutut untuk mencium telapak kakinya. Akan aku
serahkan jiwa ragaku kepadanya," lanjut sumpah Brahmana. Murid-muridnya yang setia berdiri dan mengikutinya dari belakang untuk
menjadi saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah samudera.
Namun ketika kapal yang ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak
laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala
penjuru seolah berkumpul menjadi satu, menghantam air laut sehingga
menimbulkan badai setinggi bukit.
Dengan kesaktiannya, Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang
hendak menerjang kapal layarnya. Satu kali, dua kali hingga empat kali
Brahmana ini dapat menghalau terjangan badai. Namun kali ke lima, dia
sudah mulai kehabisan tenaga hingga membuat kapal layarnya langsung
tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dicabutnya beberapa batang
balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang muridnya
agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan
diri, namun kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk
berdebat dengan Sunan Bonang telah kut tenggelam ke dasar laut.
Padahal kitab-kitab itu didapatkannya dengan susah payah dan cara
mempelajarinya pun juga tidak mudah. Ia harus belajar Bahasa Arab
terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan menjadi murid ulama besar di
negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di perairan Laut Jawa, tiba-tiba
kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah di telan air laut.
Meski demikian, niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut.
Ia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah
dikenalnya. Ia bingung harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia
menoleh ke sana kemari namun tak seorang pun yang lewat di daerah itu.
Pada saat hampir dalam keputusasaan, tiba-tiba di kejauhan ia melihat
seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat.
Ia dan murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan
langkah orang itu. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkahnya dan
menancapkan tongkatnya ke pasir.
"Kisanak, kami datang dari India hendak mencari seorang ulama
besar bernama Sunan Bonang. Dapatkah kisanak memberitahu di mana kami
bisa bertemu dengannya?" tanya sang Brahmana.
"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?" tanya lelaki itu.
"Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan," jawab sang Brahmana.
"Tapi sayang, kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut.
Meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih ada beberapa hal yang
dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan," imbuh sang Brahmana.
Tanpa banyak bicara, lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya.
Mendadak saja tersembur air dari bekas tongkat tersebut dan air itu
membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
"Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut?" tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya kemudian memeriksa kitab-kitab itu, dan
tenyata benar milik sang Brahmana. Berdebarlah hati sang Brahmana
sembari menduga-duga siapakah sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid sang Brahmana yang kehausan sejak tadi segera saja
menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti
memandangnya dengan rasa kuatir, jangan-jangan murid-muridnya itu akan
segera mabuk karena meminum air di tepi laut yang pastilah banyak
mengandung garam.
"Segar...waduuh...segarnya..." seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya.
Brahmana Sakyakirti termenung.Bagaimana mungkin air di tepi pantai
terasa segar. Ia mencicipinya sedikit dan ternyata memang segar rasanya.
Rasa herannya menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan
lelaki berjubah putih itu yang mampu menciptakan lubang air yang
memancar dan mampu menghisap kitab-kitab yang tenggelam ke dasar laut.
Sang Brahmana berpikir bahwa lelaki berjubah putih itu bukanlah lelaki sembarangan. Dia mengira bahwa lelaki itu telah mengeluarkan ilmu sihir, akhirnya dia
mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua itu benar hanya
sihir. Namun setelah dikerahkan segala kemampuannya, ternyata bukan,
bukan ilmu sihir, tapi kenyataan.
Seribu Brahmana yang ada di India pun tak akan mampu melakukan hal itu, pikir Brahmana dalam hati.
Dengan perasaan takut dan was-was, ia menatap wajah lelaki berjubah itu.
"Mungkinkah lelaki ini adalah Sunan Bonang yang termasyhur itu?" gumannya dalam hati.
Akhirnya sang Brahmana memberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki itu.
"Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?" tanya Brahmana dengan hati yang berkebat-kebit.
"Tuan berada di pantai Tuban," jawab lelaki berjubah putih itu.
Begitu mendengar jawaban lelaki itu, jatuh tersungkurlah sang Brahmana beserta murid-muridnya.
Mereka menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah
yakin sekali bahwa lelaki inilah yang bernama Sunang Bonang yang
terkenal sampai ke Negeri India itu.
"Bangunlah, untuk apa kalian berlutut kepadaku? Bukankah sudah kalian
ketahui dari kitab-kitab yang kalian pelajari bahwa sangat terlarang
bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada
Allah Yang Maha Agung," kata lelaki berjubah putih itu yang tak lain
memang benar Sunan Bonang.
"Ampun...Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya...," rintih sang Brahmana meminta dikasihani.
"Bukankah Tuan ingin berdebat denganku dan mengadu kesaktian?" tukas Sunan Bonang.
"Mana saya berani melawan paduka, tentulah ombak dan badai yang
menyerang kapal kami juga ciptaan paduka, kesaktian paduka tak terukur
tingginya. Ilmu paduka tak terukur dalamnya," kata Brahmana Sakyakirti.
"Engkau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai, hanya Allah
SWT saja yang mampu menciptakan dan menggerakkan seluruh makhluk. Allah
melindungi orang yang percaya dan mendekat kepada-Nya dari segala macam
bahaya dan niat jahat seseorang," ujar Sunan Bonang.
Memang kedatangannya bermaksud jahat ingin membunuh Sunan Bonag melalui adu kepandaian dan kesaktian.
Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab yang telah dipelajari telah terbukti.
Bahwa Barangsiapa yang memusuhi para wali-Nya, maka Allah
mengumumkan perang kepadanya. Menantang Sunan Bonang sama saja dengan
menantang Allah SWT yang mengasihi Sunan Bonang sendiri.
Setelah kejadian tersebut sang Brahmana dan murid-muridnya
rela memeluk agama islam atas kemauannya sendiri tanpa paksaan. Sang Brahmana dan pengikutnya telah menjadi murid dari Sunan Bonang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar