“Aku ingin agar dia dipuji, di langit dan di bumi.”
BEGITU ‘Abdul Muthalib berkata sembari menimang sang
bayi yang berwajah cahaya. Senyumnya bangga, rautnya gembira, air
mukanya renjana. Dengan teguh dijawabnya para tetua Quraisy yang tadi
menggugat, “Mengapa kauberi nama dia Muhammad; nama yang tak pernah
digunakan oleh para leluhur kita yang hebat?”
Dan Muhammad senantiasa terpuji, hingga para pembencinya tak mampu
mencaci. Ibn Ishaq meriwayatkan dalam Sirah-nya; bahwa setelah turun
Surah Al Lahab yang menyebut Ummu Jamil sebagai ‘wanita pembawa kayu
bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut’, perempuan itupun
mencari-cari Kanjeng Nabi.
Di salah satu sudut Masjidil Haram, diapun berjumpa Abu Bakr Ash
Shiddiq. Maka segera dia menghardik, “Di mana sahabatmu itu hai putra
Abu Quhafah? Dia pikir hanya dia yang sanggup bersyair hah? Sungguh
akupun pandai menyusun sajak tuk membuatnya susah!” Lalu diapun mulai
mendaras gubahannya.
Mudzammam ‘si tercela’ kami abaikan
Agamanya kami benci bersangatan
Perintahnya kami tentang sekalian
Bakdanya, wanita keji yang hobi menabur duri di laluan Baginda Nabi
ini bersungut-sungut pergi. Maka Ash Shiddiq pun menoleh dengan wajah
pias-pias terkesima pada sosok yang ada di sebelahnya. “Apakah dia tak
melihat engkau Ya RasulaLlah? Dia datang dan menanyakanmu, lalu mencaci
maki seakan kau tak di sini; padahal di sisiku Paduka berdiri?”
Senyum tersungging di bibir mulia, lalu lisan Al Mushthafa memekarkan
sabda, “Allah mentabiri pandangannya dari diriku duhai Aba Bakr.” Abu
Bakr mengangguk, iman di dadanya kian berduduk, jiwa dan raganya
sempurna tunduk.
“Tidakkah kau perhatikan bagaimana Allah menjaga diri dan namaku hai
Aba Bakr?”, ujar Sang Nabi dengan renyah, “Mereka menghina dan menista
Mudzammam, padahal aku adalah Muhammad.”
Betapa dahsyat nama Muhammad. Hingga yang hendak menjelekkannya pun
tak bisa tidak harus memuji jika menyebut asmanya. Atau jika membalik
namanya dari Muhammad ‘si terpuji’ pada Mudzammam ‘si tercela’, menjadi
salah-sasaranlah cercaannya.
Tetapi orang terpuji tidaklah terlepas dari uji. Maka Al Amin, yang
tepercaya, yang menjunjung kejujuran sebagai permata hidupnya akan
terhenyak ketika pada suatu hari dia digrambyang, “Dusta kau hai
Muhammad!”
Mari bayangkan 40 tahun hidup yang bersih tanpa cacat; semua orang
berkata padanya, “Benarlah kau duhai Muhammad! Janjimu tepat! Kau
tunaikan amanat!” Lalu ketika kebenaran samawi bahwa tiada Ilah selain
Rabb mereka dipikulkan ke pundaknya, tiba-tiba semua berkata, “Engkau
dusta!”
Semua kan diuji atas hal yang paling dijunjung tinggi hati. Ibrahim
pada cintanya hingga penyembelihan putra, Maryam pada kesuciannya hingga
hamil tanpa sentuhan pria, Muhammad pada kejujurannya hingga dituduh
berdusta. Shalawat bagi mereka yang telah lulus sempurna. Bagaimana
dengan kita?
sepenuh cinta
Salim A. Fillah, @Salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar