Sahabat Anas berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw shalat bersama
kami. Setelah selesai shalat kemudian beliau menghadap kami seraya
bersabda :
“Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imammu. Karena itu janganlah
kamu mendahuluiku ketika ruku’, ketika berdiri, dan ketika menyelesaikan
shalat. Sebab aku mengetahui apa yang kamu lakukan, baik didepanku
maupun dibelakangku.” Selanjutnya Rasulullah bersabda :”Demi dzat yang
diri Muhammad berada dalam kekuasaanNya, seandainya kamu bisa melihat
apa yang aku lihat, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak
menangis berurai air mata.” Lalu para sahabat bertanya :” Wahai
Rasulullah, apa yang engkau lihat ?” Jawab Rasulullah :”Aku melihat
sorga dan neraka.” (HR Muslim).
Dari hadits tersebut, dalam shalat berjama’ah, makmum shalat harus
mengikuti dan tidak boleh mendahului imam, dari mulai takbiratul ihram
sampai salam. Demikian juga bagi makmum yang terlambat (masbuq), ia
harus mengikuti imam sampai imam salam, baru kemudian melanjutkan
shalatnya untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal.
Ketentuan mengikuti imam hanya selama bacaan dan gerakan imam benar.
Jika imam keliru, makmum wajib menegur imam dengan bacaan subhanallah
(bagi laki-laki) dan memberi isyarat dengan bertepuk tangan (bagi
wanita) agar shalat tidak sia-sia, dan imam wajib memperhatikan teguran
tersebut. Jika tidak, atau membuat kesalahan fatal, maka makmum berhak
memisahkan diri. Oleh karena itu, untuk menjadi imam, tidak boleh
sembarang orang.
Seorang imam shalat, bukan hanya yang banyak hafalan bacaan Qur’an
saja, tetapi yang memiliki ketinggian ilmu (agama), memahami dan mampu
melaksanakan Qur’an dan Sunnah, berakhlak mulia sehingga disukai
makmumnya dan bisa pegang amanah (berdasarkan hadits-hadits riwayat
Muslim dari Abu Masna, Abu Dawud dari Abu Amer ibn Ash, Ahmad dalam
risalah ash shalah, dan Bukhari dari Abi Hurairah).
Ada satu lagi sebagai syarat menjadi imam yaitu bukan sebagai tamu,
kecuali atas keikhlasan permintaan para makmumnya untuk mengimami mereka
(HR Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Sebagai suatu tarbiyah tentang kepemimpinan dalam shalat berjamaah
dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dengan
berdasarkan firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri (pemimpin) dari kamu,” (QS An Nisaa’59)
Kata athii’u hanya didepan Allah dan Rasul tetapi tidak untuk ulil
amri, menunjukkan bahwa ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya adalah
hal yang tidak dapat ditawar lagi karena kebenarannya tidak perlu
diragukan lagi. Berbeda dengan ketaatan kepada ulil amri yang notabene
manusia biasa yang tak pernah lepas dari kesalahan, identik dengan
ketaatan kepada imam shalat dalam shalat berjamaah, sebagaimana juga
ditegaskan oleh Rasulullah dengan sabdanya :
“Seorang muslim harus taat dan mendengar (pemimpinnya) dalam hal apa
saja yang ia senangi atau tidak, kecuali jika pemimpin itu menyuruh yang
tidak benar (melanggar aturan Allah dan RasulNya). Jika demikian, maka
ia tidak boleh taat dan mendengar lagi pemimpin itu.” (HR Muslim dari
Ibnu Umar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar