Rabu, 22 Oktober 2014
Pidato Pertama Umar Bin Abdul Aziz Menangis
TATKALA Khalifah demi khalifah datang pergi silih berganti, disebut-sebutlah nama Umar bin Abdul Azir untuk menjadi penggantinya. Nama Umar bin Abdul Aziz digadang-gadang menjadi calon khalifah yang baru.
Tapi apa kata Umar?
“Jangan sebut-sebut nama saya, katakan bahwa saya tidak menyukainya. Dan jika tidak ada yang menyebut namanya, maka katakan, jangan mengingatkan nama saya,” ujar Umar bin Abdul Aziz.
Umar Bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah, hari Jum’at tanggal 10 Shafar tahun 99 Hijriyah, menggantikan khalifah sebelumnya, Sulaiman Bin Abdul Malik. Saat diumumkan di depan publik namanya disebut sebagai pengganti, seluruh hadirin pun serentak menyatakan persetujuannya. Tapi tidak dengan Umar. Sang Khalifah menangis terisak-isak. Ia memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesunggukan.
Ia justru terkejut, seperti mendengar petir di siang bolong. Bukan hanya terkejut, Umar bin Abdul Aziz bahkan mengucapkan Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’uun, bukannya Alhamdulillah atau mengadakan pesta, sebagaimana kebanyakan pejabat di negeri ini.
“Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara rahasia ataupun terang-terangan,” ujar cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab ini.
Di atas mimbar Umar Bin Abdul Aziz berpidato: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah dibebani dengan pekerjaan ini tanpa meminta pendapatku lebih dulu, dan bukan pula atas permintaanku sendiri, juga tidak pula atas musyawarah kaum muslimin. Dan sesungguhnya aku ini membebaskan saudara-saudara sekalian dari baiat di atas pundak saudara-saudara, maka pilihlah siapa yang kamu sukai untuk dirimu sekalian dengan bebas!”
Ketika semua hadirin telah memilihnya dan melantiknya, Umar berpidato dengan ucapan yang menggugah. “Taatlah kamu kepadaku selama aku ta’at kepada Allah. Jika aku durhaka kepada Allah, maka tak ada keharusan bagimu untuk taat kepadaku.”
Dalam pidato di hari kedua memegang amanah, Umar mengatakan tiada nabi selepas Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam dan tiada kitab selepas Al-Quran.
“Aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah.”
Usai berpidato, khalifah menangis kemudian melanjutkan, “Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku.”
Jika kebanyakan pejabat berpesta ria saat kenaikan pangkat dan meraih kekuasaan, Umar bin Abdul Aziz malah banjir air mata karena takut pertanggungjawabanya di hadapan Allah pada hari kiamat kelak tak mampu dipikulnya.
Sikapnya tak hanya ditunjukkan di mimbar. Iia justru hidup dalam kezuhudan dan wara’. Ketika ia disodori kendaraan “dinas” yang supermewah berupa beberapa ekor kuda tunggangan, lengkap dengan kusirnya, Umar menolak, dan malah menjual semua kendaraan itu, lalu uang hasil penjualannya diserahkan ke Baitul Maal. Termasuk semua tenda, permadani dan tempat alas kaki yang biasanya disediakan untuk khalifah yang baru.
Dalam sejarah peradaban Islam disebutkan, Umar bin Abdul Aziz merupakan Khalifah Dinasti Umayyah yang membawa Daulah Umayyah mencapai puncak kejayaan. Menurut para ahli sejarah, gaya kepemimpinannyamirip dengan gaya kepemimpinan khulafaur Rasyidin. Dialah satu-satunya khalifah Bani Umayyah yang tidak dicela oleh para khalifah Bani Umayyah pada masa selanjutnya.
Beginilah Sudut Pandang Manusia
Ada bermacam pandangan terhadap kamera yang menyorot diri kita, ada yang merasa perlu konsentrasi, ada yang merasa perlu pasang wajah lugu dan menghiba, ada yang memandang perlu untuk sekedar tersenyum simpul, ada yang acuh tidak acuh, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali.
Ini merupakan anugerah Alloh swt. terhadap manusia yang diciptakan dengan perbedaan-perbedaan yang tidak perlu diperdebatkan apalagi dibesar-besarkan.
Makin Sulit Semakin Manis Terasa
“Ani, nanti selesai liqo jangan pulang dulu ya, aku mau ngomong sedikit,”kata Ustadzah Aminah.
“Iya deh, mbak. Kebetulan aku juga nggak ada acara,” Jawab Furyani
Rasanya nggak tenang menunggu selesainya acara liqo, karena penasaran, ada apakah gerangan sehingga ustadzah menahanku seusai liqo ini. Baca alquran, setor hafalan, kultum dan info dunia Islam telah terlewati. Sekarang acara materi inti yang membahas masalah Membina Keluarga Samara (Sakinah Mawaddah Wa Rahmah). Walaupun disampaikan dengan jelas dan perlahan, namun aku sulit mencerna karena pikiranku susah untuk konsentrasi, menebak nebak apa yang hendak diomongkan ustadzah kepadaku nanti.
Seusai acara, teman teman pada pulang dan aku sendiri yang masih bertahan di rumah Ustadzah.
“Begini Ani, maaf sebelumnya kalau terlalu mencampuri urusan pribadi. Namun sebagai sesama muslim tidak ada jeleknya kalau kita saling berbagi rasa dan nasehat menasehati. Dalam kelom-pok liqo ini, kan tinggal Ani yang belum nikah tuh, kira kira bagaimana, apakah sudah ada rencana? Nikah kan bernilai setengah agama pasti ingin dong mendapatkannya? Insya Alloh kami siap untuk membantu.”
“Afwan Ustadzah, dan terimakasih atas perhatiannya. Sebenarnya siapa sih tak tak ingin menikah. Sejak kuliah dulu Ani juga sudah kepingin nikah, tapi rasanya kepedihan masa lalu masih belum benar benar sirna. Bagaimana nggak sakit, kalau sudah merencanakan nikah, bahkan ketika kuliah aku juga sering membantu biaya kuliahnya, buat skripsi dan sebagainya, eh ternyata setelah lulus dia malah MBA (married by accident) dengan teman kuliahku. Astaghfirulloh, walaupun itu masalalu, namun luka itu kadang masih terasa.”
“Ya, kami memahami. Memang masa lalu yang pahit kadang selalu menghantui pikiran kita. Namun kita tak boleh hanyut oleh masa lalu. Tataplah masa depan. Usahakan lebih baik lagi dan semoga tak terulang peristiwa kelam masa lalu. Sekarang mari kita pikirkan dan rencanakan masa depan dengan lebih baik. Adakah keinginan Ani untuk mendapatkan setengah agama?
“Ya, tentu sangat mau Ustadzah, namun sampai saat ini belum ada yang sreg. Orang tua sih sudah sering mendesak, bahkan mau menjodohkan aku dengan pilihan mereka. Cuma aku nggak tertarik padanya.”
“Kalau masalah prinsip yang nggak cocok itu alasan yang penting, tapi kalau masalah teknis kiranya tak perlu jadi masalah.”
“Iya ustadzah, ini masalah prinsip. Salah satunya adalah ia sholatnya aja bolong bolong. Sering tidaknya daripada mengerjakannya.”
“Wah kalau itu masalah penting. Itu menunjukkan kadar keimanan, kefahaman dan pengetahuan Islamnya. Padahal Nabi menyuruh kita dalam memilih pasangan harus mengutamakan faktor agamanya. Karena suami adalah teman selama hidup kita, bukan sehari dua hari, sehingga sangat mempengaruhi perilaku kita.” “Itulah, makanya aku nggak setuju dengan pilihan orang tuaku, namun mereka selalu mendesakku.
Masalahnya, aku ingin mendapatkan suami yang sholeh, yang bisa membimbingku, namun sampai saat ini aku bingung sendiri bagaimana caranya.”
“Nah, ini dia. Maksud saya menahan kamu sekarang adalah mau omongkan masalah ini. Begini, kemarin saat Abinya Fatma acara Usroh di Reggae, ada ikhwan yang minta dicarikan akhwat untuk diajak menikah. Bahkan sudah ngasih biodata. Dia sudah ikut tarbiyah lebih dari empat tahun, jadi wawasan dan ghiroh keIslamannya bagus. Dialah yang selama ini aktif ngurusi kalau ada kegiatan kegiatan keagamaan di Reggae. Lagi pula, kalau sudah sama sama di sini, kan nggak perlu susah susah bikin visa, he he. Kalau Ani mau dan serius, nanti akan kami bicarakan dengan Abinya Fatma. Gemana?”
“Iya,ustadzah. InsyaAlloh aku serius. Mudah mudahan cocok dan Alloh beri kemudahan”.
“Ya, insyaAlloh untuk proses selanjutnya akan kami beritahu. Banyak banyak do’a ya”
Hari hari terasa indah bagi Furyani. Ia makin ceria dan semangat. Setelah lama menunggu nunggu akhirnya tiba juga saatnya. Semoga Alloh memudahkan untuk mengakhiri masa lajangnya. Setelah tahajud dan istikhoroh dalam beberapa hari ia merasa mantap dengan ikhwan yang dita’arufkan oleh ustadzahnya. Ia pun memberi tahu orang tuanya. Dengan bergegas ia membeli kartu Delta three untuk menelpon orang tuanya, bahkan sampai tiga kartu ia beli sekaligus.
“Hallo, assalamu alaikum…”
“Wa alaikum salam. Oh Ani. Sudah lama ibu nunggu nunggu telpon dari kamu. Gemana kabarmu, sehat kan?”
“Iya bu, alhamdulillah Ani baik baik saja. Maaf bu lama nggak nelpon.”
“Bapakmu selalu nanya, apa Ani telpon? Soalnya keluarga Anton selalu nanyakan jawaban Ani. Gemana, setuju kan? Kalau setuju, bulan depan mau lamaran. Kurang gemana coba si Anton itu. Anaknya orang kaya dan terpandang. Lulusan Amerika. Anak satu satunya lagi. Jadi kalau menikah dengan dia, Ani nggak perlu merantau jauh jauh ke Kuwait. Gemana sayang, setuju kan?“
“Ee..em.maaf bu. Bukannya aku menolak kemauan ibu, bukannya aku membantah keinginan orang tua, tapi menikah kan bukan masalah sepele. Dan suami adalah teman untuk selama hidup. Ani rasa, tak cocok dengan Anton, karena perbedaan prinsip yang cukup mendasar. Ani tak mau punya suami yang sholatnya aja nggak karuan, bagaimana dengan pola pikirnya, bagaimana mungkin jadi pejuang agama, bagaimana mau berdakwah, bagaimana…
“Stop Ani, jangan teruskan alasan alasanmu itu. Katanya kamu sekarang rajin mengaji. Kok bukannya patuh pada orang tua, tapi malah suka membantah…”
“Mm.maaf.. bu. Bukannya aku mau membantah. Sungguh, Ani sangat ingin berbakti dan membahagiakan orang tua. Tapi masalah suami adalah masalah yang sangat penting Bu. Salah memilih suami, akibatnya bukan hanya di dunia, tapi bisa sampai akherat Bu.
Ibunda sayang, justru saat ini Ani mau membicarakan calon pilihan Ani. Insya Alloh orangnya sholeh, tanggung jawab dan baik akhlaknya. …
“Ani, kalau kau masih menganggap ibu sebagai orang tua, kau harus menuruti kata ibu. Di mana wajah ibu mau ditaruh. Ibu dan bapakmu sudah mengiyakan lamaran dan berjanji untuk membujuk Ani agar mau menerima Anton. Merekalah yang sudah berjasa membantu kita saat bapakmu terlilit utang. Merekalah yang selama ini selalu …
Perdebatan panjang Ani dan Ibunya tak membuahkan kata sepakat. Susah payah Ani menjelaskan alasan bahkan samapi tiga kartu habis, namun tetap tak ada titik temunya. Bahkan semakin merenggangkan hubungan.
“Bagaimana Ani, apakah orang tuamu setuju?”
“Afwan Ustadzah, mungkin cara pandang kami yang berbeda, sehingga susah payah Ani menjelaskan ke Ibu, namun tetap saja nggak setuju. Bahkan mengancam takkan merestui kalau Ani menikah dengan selain Anton. Bahkan mengancam nggak akan mengakui sebagai anak lagi.”
“Sabarlah Ani. Semua masalah InsyaAlloh ada jalan pemecahannya. Sebagaimana firman Alloh dalam Albaqoroh 153: “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolong bagimu…”
Maka menghadapi masalah ini kita harus bersabar. Rajin rajinlah tahajud dan berdoa semoga Alloh membukakan hati orang tuamu.”
“Iya Ustadzah, mohon bantu doain ya..”
Dalam keheningan malam, seusai tahajud, Ani bermunajat.
“Ya Alloh, Tuhan yang membolak balikkan hati, bukalah hati ayah bundaku, agar mau menerima kebaikan dan kebenaran. Ya robb, sebagaimana Engkau janjikan, bahwa wanita yang baik untuk lelaki yang baik. Maka hamba pun ingin menjadi wanita yang sholehah, maka berilah hambamu ini suami yang sholeh, yang bisa membimbing dan mengarahkanku, agar selalu taat padaMu. Ya robb, yang maha kuasa dan perkasa, yang mengatur segala urusan, mudahkanlah urusan urusan kami, urusan dunia maupun urusan akherat……
Suatu sore, sehabis sholat maghrib, telpon di kamar Ani berdering.
“Hallo assalamu alaikum, oh ibu. Apa kabar Bu. Wah njanur gunung, nggak biasanya ibu telpon. Ada berita penting bu?”
“Iya Ani, maafkan ibu ya. Selama ini ibu memaksa Ani agar mau menerima lamaran Anton. Ibu nggak nyangka kalau Anton itu ternyata bandar narkoba. Tadi siang, ibu lihat diacara Buser di TV, ia ditangkap polisi saat pesta shabu shabu dengan seorang cewek di hotel.
Maafkan ibu ya Nak. Untung Ani nggak menerima lamaran mereka. Kalau jadi betapa malunya kita. Memang ternyata fisik dan materi tak bisa dibandingkan dengan keindahan budi, tak sepadan dengan keluhuran akhlak. Sekarang, ibu setuju dan merestui dengan pilihan Ani. Cepatlah dikenalkan pada keluarga dan kita rencanakan pernikahanmu….
Tanggal 14 Oktober, jam 08.30 wib “Saya terima nikahnya Furyani binti Junaedi dengan mas kawin seperangkat alat sholat, tunai…..
14 Oktober, jam 22.30 WIB “Mas, akhirnya kita menikah juga ya. Tak membayangkan, bagaimana dulu orang tuaku begitu keras menentang kita, tapi dengan kesabaran dan doa akhirnya Alloh memudahkan semuanya.”
“Iya dik, semakin sulit di dapat semakin manis terasa…..Ayo dik, sekarang apa nanti?”
“Sekarang juga boleh mas…..”
Selasa, 21 Oktober 2014
Schedule dan Rutinitas
Saat seperti inilah yang sering mendatangkan rasa strees tinggi, duduk dengan pekerjaan menumpuk, yang dipandang cuma jadwal dan waktu meeting yang selalu menunggu kesiapan kita untuk beraksi. mari kita usaha bagaimana setiap langkah kita dapat membawa gairah untuk kehidupan dimasa depan.
Senin, 20 Oktober 2014
Orang Beriman adalah Orang yang Paling Bahagia
Kebahagiaan adalah sebuah
keadaan di mana hati manusia merasakan kedamaian dan ketentraman.
Keadaan tersebut tidak bergantung pada wujud kebendaan atau raga
manusia, melainkan bergantung pada suasana dan keadaan ruhani mereka
masing-masing. Semenjak kebahagiaan selalu terletak di dalam hati, maka
keterbatasan raga seperti apapun yang dimiliki oleh manusia pada
dasarnya tak akan pernah menjadi penghalang bagi kebahagiaan mereka.
Kita mungkin sering mendapati pemandangan di mana orang-orang yang cacat
fisik ternyata bisa tersenyum menikmati hidup mereka tanpa perlu
mengeluhkan nasib atau kekurangan pada tubuhnya. Mereka tampak bisa
berbahagia meskipun kenyataannya mereka mengalami kesulitan jasmani. Dan
itu semua tak lain adalah karena mereka telah terbiasa mengelola
suasana batin mereka di samping kenyataan fisik yang mereka alami
tersebut. Justru salah satu hal yang dapat merampas kebahagiaan mereka
tersebut adalah ketika mereka membanding-bandingkankan nasib mereka
dengan orang lain, atau berangan-angan untuk bertukar nasib dengan
mereka yang utuh anggota badannya.
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa salah satu sebab yang dapat
ditempuh oleh manusia untuk dapat meraih kebahagiaan, yaitu adalah
dengan menghilangkan belenggu yang mengikat dan mengekang hati mereka.
Belenggu tersebut adalah segala bentuk suasana batin yang berupa
keresahan dan ketidaknyamanan, yang mana bentuk usaha dalam
menghilangkannya adalah dengan belajar meredam emosi negatif dalam diri
kita, misalnya meredam kemarahan ketika kita sangat berhak untuk marah;
ataupun ketika kita sebenarnya berhak untuk mengembalikan gangguan yang
telah ditujukan kepada kita, maka kita justru berusaha untuk menepisnya
atau merelakannya saja; dan seterusnya. Karena pada dasarnya, kemarahan
dan segala bentuk emosi lain yang semacam itu adalah merupakan
bentuk-bentuk belenggu yang banyak merampas kemerdekaan hati kita
sendiri, sehingga dengan berusaha untuk melepaskan belenggu-belenggu
tersebut, maka kita pun akan merasa semakin bebas dan tenang. Begitu
juga sebaliknya, ketika kita membiarkan belenggu tersebut melilit hati
kita, maka kita justru akan banyak terkekang dan lebih sering mengalami
keresahan.Namun bagaimanapun, melepaskan belenggu emosi tersebut bukan berarti akan mengharuskan kita untuk menghilangkan potensinya sama sekali. Tentu setiap manusia tidak mungkin menghapus potensi kemarahan dalam dirinya, karena potensi semacam itu adalah justru merupakan bentuk anugerah. Kemarahan adalah emosi yang sangat wajar dan manusiawi. Dan pada dasarnya, setiap manusia juga memiliki beragam jenis emosi yang sama, namun komposisinya saja yang mungkin berbeda. Jadi, sebenarnya potensi hati yang berupa kemarahan, kebencian, kekecewaan, dan potensi-potensi lain yang semacam itu, adalah justru bentuk anugerah yang harus dikelola dengan seimbang dan sesuai dengan takarannya, dan bukan untuk dihilangkan atau dihapus, agarjustru tarik-ulur antara beragam emosi tersebut dapat menciptakan keseimbangan perasaan dan sikap dalam diri kita. Tentu kita akan harus marah ketika agama Allah SWT dinistakan, benci dengan penistaan tersebut, dan kecewa jika yang menistakan tidak bertaubat.
Demikianlah. Dan salah satu bentuk usaha dalam mengelola potensi-potensi emosi tersebut agar tidak berlebihan dalam sisi negatifnya, dan agar sesuai pada tempat dan ukurannya,maka kita bisa mengatur sudut pandang kita dalam menilai suatu keadaan. Dengan sudut pandang yang positif, maka suatu keadaan yang tampak negatif sekalipun akan bisa saja berubah menjadi positif. Begitu juga sebaliknya, sebuah keadaan yang sebenarnya positif justru akan dapat berubah menjadi negatif, hanya karena masalah sudut pandang juga. Maka dari itu, sebenarnya kita akan dapat merasakan banyak kenyamanan jika kita dianugerahi kemudahan untuk banyak berfikir positif dalam segala bentuk keadaan kita. Sehingga, ketika misalnya kita sedang mengeringkan pakaian di jemuran, maka kita tak akan perlu mengeluhkan hujan yang ternyata turun tiba-tiba, karena ketika itu kita melihat keadaan tersebut dengan sudut pandang yang positif, yaitu melihat kebahagiaan para petani dan pemilik kebun yang justru telah menantikan hujan tersebut sebelumnya. Dan dengan merelakan kebahagiaan para petani dan pemilik kebun tersebut, maka basahnya pakaian kita pun tak akan menjadi permasalahan yang perlu dikeluhkan, karena kita sadar bahwa manfaat beragam tanaman di sawah dan kebun tentu akan lebih banyak dirasakan oleh semua orang daripada sejumlah pakaian di jemuran kita, dan bahkan kita sendiri pun juga akan ikut merasakan hasil sawah dan kebun tersebut nantinya.
Demikianlah makna sudut pandang positif yang mana akan selalu dapat membuat kita berbahagia dalam segala keadaan. Namun, kaidah kebahagiaan semacam itu ternyata tidak hanya dapat diraih oleh kita orang-orang yang beriman saja, melainkan oleh siapapun yang memiliki hati dan menginginkan kebahagiaan di dunia ini. Kita tentu sering mendapati kenyataan bahwa orang-orang non-Muslim pun ternyata juga bisa berbahagia dengan keadaan mereka di dunia ini. Mereka juga merasa damai ketika mampu menguasai beban dalam hatinya, senang ketika telah berhasil menolong orang lain, bersemangat dalam berbuat baik untuk manusia dan kemanusiaan. Mereka bahkan juga benar-benar menangis tulus ketika berdoa dan sembahyang, meskipun Tuhan yang mereka seru bukanlah Allah SWT semata. Mereka juga terharu ketika melihat bencana alam atau musibah, murka ketika menyaksikan tindak kejahatan, ingin menolong ketika ada yang teraniaya, dan beragam kebaikan hati lainnya yang dapat dimiliki oleh manusia. Namun demikianlah kapasitas ruhani manusia yang berupa hati, yaitu tempat bagi kebahagiaan dan perasaan-perasaan lainnya, yang dapat dimiliki oleh orang-orang yang tak beriman sekalipun.
Adapun bagi kita orang-orang yang beriman, maka makna kebahagiaan yang sesungguhnya bukanlah sekedar perasaan damai dan tentram di dunia ini saja, melainkan terlebih ketika kita diberi anugerah kebenaran oleh Allah SWT yang mana akan menjadi sebab keselamatan dan kedamaian kita di akhirat kelak. Anugerah kebenaran inilah yang tidak dimiliki oleh orang-orang kafir non-Muslim. Dialah anugerah Allah SWT yang berupa hidayah iman dan Islam. Memang, kita mengakui bahwa orang-orang non-Muslim pun juga banyak yang telah beramal kebaikan, namun tentu antara kebaikan dan kebenaran itu tak akan bisa disamakan. Kebaikan akan bisa dimiliki oleh siapa saja yang mengusahakannya, sedangkan kebenaran, yaitu kebenaran dalam arti yang mutlak, maka ia hanya akan dimiliki oleh ummat yang mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya saja. Kebenaran inilah yang merupakan anugerah tertinggi dan sumber kebahagiaan puncak yang tak mungkin terbeli meskipun dengan dua kali lipat nilai dunia dan seisinya.
Dengan dianugerahi hidayah iman dan Islam, usaha manusia dalam beramal kebaikan pun tidak hanya akan dibalas dengan kebaikan di dunia ini saja, melainkan juga dibalas di akhirat yang lebih abadi kelak. Allah SWT telah menjanjikan hal tersebut di dalam al-Qur’an, di mana Dia memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman bahwa barangsiapa bertaqwa kepada-Nya dan senantiasa berusaha untuk berbuat baik serta bersabar dalam ketaatan kepada-Nya, maka pahala bagi mereka adalah kebahagiaan hidup di dunia ini dan juga di akhirat nantinya. Di dalam al-Qur’an disebutkan yang artinya:
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu. (Balasan) bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini adalah kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.’” (Az-Zumar: 10)
“Karena itulah Allah memberikan kepada mereka pahala (kebaikan) di dunia (ini) dan pahala yang baik di akhirat (kelak). Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Aali ‘Imraan: 148)
“Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan, (maka) akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Asy-Syuuraa: 23)
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka; Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang telah mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”(Al-Baqarah: 201-202)
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang bersabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, (sesungguhnya) Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”(Al-Ahzaab: 35)
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia; Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang bersabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35)
“Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al-An’aam: 160)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir (terdapat) seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(Al-Baqarah: 261)
Demikianlah beberapa ayat pembangkit semangat agar kita cenderung untuk senantiasa berusaha berbuat kebaikan, sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan kita masing-masing. Meskipun kita belum tentu termasuk dalam golongan yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut, namun setidaknya kita bisa menggali semangat dari nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya, bahwa dengan berusaha untuk senantiasa menempuh kebaikan, maka niscaya kita pun akan dimudahkan dalam segala kebaikan yang kita harapkan di dunia ini dan di akhirat kelak, insyaa’Allah. Dan itulah kebahagiaan orang-orang yang beriman.
Oleh karena itu, seharusnyalah kita meyakini dengan sepenuh hati bahwa janji-janji Allah SWT itu pasti akan terwujud dan ditepati. Karena sejauh kita meragukan janji-janji-Nya, maka akan sejauh itu pulalah jarak kita dari kebahagiaan yang sesungguhnya. Ketika kita membaca atau mendengarkan sebuah janji kebaikan di dalam al-Qur’an, meskipun hanya dari satu ayat saja, namun benar-benar kita tancapkan dengan kuat di dalam hati, maka pasti kita tidak akan pernah kecewa dengan meyakininya, karena pasti tiada yang lebih benar perkataannya dari perkataan Allah SWT. Dan yang sebenarnya banyak menjadi keresahan dalam hidup kita adalah ketika kita menyimpan keraguan terhadap janji-janji Allah SWT tersebut.
Dan selain janji-janji Allah SWT yang telah disampaikan tersebut, Allah SWT juga telah berjanji bahwa ummat Islam yang pernah berselisih selama di dunia ini, kelak di dalam surga akan dikumpulkan dalam keadaan bersih dari belenggu hati, yang mana telah banyak menciptakan jarak di antara mereka. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai, dan mereka berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran.’ Dan diserukan kepada mereka: ‘Itulah surga yang diwariskan kepada kalian, disebabkan oleh apa yang dahulu telah kalian kerjakan.’” (Al-A’raaf: 43)
Demikianlah kebahagiaan orang-orang yang beriman, yaitu ketika mereka dikumpulkan di dalam surga setelah memperoleh ridha-Nya. Memang, kita tak pernah bisa memastikan posisi kita di akhirat kelak, namun yang telah pasti adalah janji Allah SWT bahwa barangsiapa berusaha untuk mengejar ridha-Nya, mengharapkan pertemuan dengan-Nya kelak di akhirat, maka sesungguhnya Allah SWT telah mempersiapkan balasan terbaik bagi hamba tersebut.
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itulah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (Al-Israa’: 19)
“Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-‘Ankabuut: 5)
Demikianlah Allah SWT menjanjikan kebaikan bagi orang-orang yang beriman. Jika saja ummat Islam di tanah air kita dikehendaki oleh Allah SWT, dan semoga demikian, untuk dapat bersatu dalam semangat mengejar ridha-Nya, dengan cara menerapkan syari’at Islam sebagai dasar hukum negara, yang dengannya agama mereka, jiwa mereka, akal mereka, keturunan mereka, serta harta mereka akan dapat terjaga dan terpelihara, maka niscaya tak akan ada lagi saling menghina dan menyakiti antara sesama saudara seiman. Bahkan dalam berdakwah menyeru orang non-Muslim pun juga tak akan ada penghinaan ataupun pemaksaan secara fisik, melainkan dengan cara yang baik sesuai sunnah Rasulullah SAW, karena yang sebenarnya diserukan adalah hidayah iman, sedangkan iman itu letaknya di dalam hati, dan bukan pada fisik manusia. Dan tentunya untuk dapat membuka hati, tentunya tidak mungkin dengan cara menghina dan mencela, apalagi dengan kekerasan fisik. Kekerasan fisik hanyalah diperbolehkan ketika memang kita telah diperangi secara fisik juga.
Jika syari’at Islam diterapkan, maka negara akan memisahkan dengan tegas antara agama Islam dengan agama Ahmadiyah yang menabikan imamnya, yang mana selama ini sering menjadi permasalahan yang menimbulkan kekerasan fisik; begitu juga dengan agama Syi’ah yang berlebihan mengkultuskan Ali RA dan para imamnya, yang hingga mengkafirkan para sahabat Rasulullah SAW, dan juga aliran-aliran menyimpang lainnya. Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dan bukan yang menyelisihi dua sumber kebenaran tersebut. Dan di samping itu, negara juga akan harus menutup tempat-tempat maksiat yang telah banyak menjadi sumber kerusakan moral di masyarakat, namun juga harus menyediakan lapangan pekerjaan yang layak sebagai penggantinya. Dan masih banyak lagi perkara-perkara lain yang akan dapat diperbaiki dengan syari’at Islam.
Dan mungkin, untuk keadaan saat ini, usaha yang tampaknya bisa ditempuh untuk dapat menuju ke arah itu adalah dengan bersatunya partai-partai yang memperjuangkan Islam, agar ummat Islam yang beragam latar belakangnya dapat diarahkan kepada usaha penerapan syari’at Islam sebagai dasar hukum negara. Dan jika hal tersebut benar-benar terwujud, dan semoga dapat terwujud, maka itulah bentuk kebahagiaan orang-orang yang beriman di dunia ini, di mana semuanya bersatu dalam ketaatan kepada hukum Allah SWT. Dan kelak di akhirat mereka akan dianugerahi kebahagiaan yang lebih baik lagi, dengan kehendak Allah SWT.
Sesungguhnya, kemampuan untuk beramal kebaikan ataupun menghindari keburukan hanyalah rahmat dari Allah SWT semata, dan bukan dihasilkan oleh kemampuan manusia itu sendiri. Segala bentuk keberhasilan manusia dalam urusannya ataupun keselamatan mereka dari kesulitan hidup, pada hakikatnya hanyalah tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, dan bukan tanda-tanda kekuasaan mereka sendiri, karena semua manusia hanyalah makhluq yang sama-sama lemah dan tak berdaya tanpa pertolongan Allah SWT. Tiada manusia yang sanggup memasukkan dirinya sendiri ke dalam surga, ataupun menyelamatkan dirinya sendiri dari neraka, melainkan semuanya hanyalah melalui rahmat Allah SWT. Jika sebuah usaha kebaikan saja belum tentu diridhai oleh Allah SWT, maka setidaknya kita tidak sampai berniat untuk berbuat jahat, yang sudah pasti tidak diridhai-Nya. Dan jika ternyata kita telah terlanjur berbuat salah tanpa sadar sebelumnya, maka sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Semoga kita termasuk orang-orang beriman yang dianugerahi kebahagiaan yang sejati, di dunia ini dan terlebih di akhirat kelak. Dan hanya dari dan milik Allah SWT sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.
Kepala Nabi Yahya ’alaihis salam Dipenggal untuk Pelacur
Hal itu dikatakan kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu oleh Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha di suatu tempat di Masjidil Haram. Demikian itu ketika Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu disalib, lalu Ibnu Umar menoleh ke Asma’ seraya berkata: Jasad (anakmu) ini sebenarnya bukan apa-apa, sedang yang di sisi Allah adalah arwahnya. Maka bertaqwalah kamu kepada Allah subhanahu wata’ala dan bersabarlah.
Lalu Asma’ menjawab, Apa yang menghalangiku (untuk bersabar), sedangkan kepala Yahya bin Zakaria ’alaihis salam (saja) sungguh telah dihadiahkan kepada seorang pelacur dari Bani Israel.
Kenyataan dari kisah ini adalah Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan dibunuhnya Nabi Yahya ’alaihis salam itu karena (permintaan) pelacur. Di sini kita lihat puncak kekuasaan iblis atas orang-orang elit dengan dorongan syahwat seks di mana sampai membunuh seorang nabi Allah yaitu Yahya bin Zakaria ’alaihimas salam. Walaupun berbeda-beda kitab-kitab tarikh dalam rincian peristiwa itu, hanya saja intinya adalah; Seorang raja masa itu di Damskus ada yang menginginkan kawin dengan sebagian mahramnya atau wanita yang tidak halal baginya untuk dikawini. Lalu Nabi Yahya ’alaihis salam mencegahnya, sedangkan wanita itu menginginkan raja itu, maka ada suatu (ganjalan) yang menetap di dalam jiwa wanita dan raja itu terhadap Nabi Yahya ’alaihis salam. Maka ketika antara wanita dan raja itu terjadi percintaan, wanita itu minta agar diberi darah Yahya, lalu raja akan memberikan padanya. Maka raja mengutus orang untuk mendatangi Nabi Yahya ’alaihis salam dan membunuhnya, dan membawakan kepala Yahya kepada wanita itu!
Demikianlah kondisi orang-orang terlaknat yang tidak menahan diri untuk tidak membunuh nabi-nabi Allah. Bagaimana mereka tidak dilaknat? Sedangkan Nabi-nabi Allah itu penyulut hidayah dan pemegang bendera kebenaran dan Tauhid, sedangkan iblis terlaknat itu pembawa bendera neraka dan panji-panji kekafiran serta syirik.
MERAMAIKAN PESTA RAKYAT
Al-hamdulillah pada hari Senen tanggal 20 Oktober 2014 Ketua Yayasan Al-Jazirah mendapat undangan ke Jakarta dalam rangka ikut meramaikan pesta rakyat menyambut Pemimpin Baru Pilihan Rakyat dan juga menghadiri undangan dari Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang bertempat di Mellennium Hotel.
Sebagai rasa syukur marilah kita baca fatihah yang pahalanya dihadiahkan pada semua pemimpin bangsa Indonesia yang telah purna tugas dan yang akan bertugas memimpin, semoga Alloh swt. memberi kekuatan baginya, amien...
Sebagai rasa syukur marilah kita baca fatihah yang pahalanya dihadiahkan pada semua pemimpin bangsa Indonesia yang telah purna tugas dan yang akan bertugas memimpin, semoga Alloh swt. memberi kekuatan baginya, amien...
Nikah = 1/2 Agama
Salah satu bagian dari syariat di dalam Islam yang harus dipahami dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya adalah pernikahan antar seorang
lelaki dengan wanita.
Sebagaimana kita ketahui, ada banyak ketentuan syariat yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim seperti shalat, puasa, zakat,haji, perekonomian, perang dan sebagainya. Disamping masalah syariat yang berkaitan erat dengan hukum, masih ada lagi hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang rinciannya juga cukup banyak, baik dalam kaitan dengan hubungan kepada Allah swt maupun dengan sesama makhluk-Nya.
Semua ini memang diatur di dalam agama kita, yaitu Islam. Namun dalam konteks ajaran Islam, ada satu hadits yang penting untuk kita kaji, Rasulullah saw bersabda:
Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:
Hadits ini menjadi amat penting untuk kita kaji karena Rasulullah saw menyebutkan nikah itu sebagai setengah agama. Tentu kita tidak bisa menafsirkan hadits di atas dengan mengatakan “bila kita sudah melangsungkan aqad nikah, maka berarti separuh urusan Islam sudah kita amalkan, apalagi kalau nikahnya lebih dari satu kali, maka sempurnalah keislaman kita, sedangkan yang menikah empat kali menjadi lebih sempurna lagi”.
Hal ini karena kita yakin, yang menjadi persoalan bukanlah semata-mata aqad nikah atau ijab qabulnya yang pengucapannya bisa diselesaikan dalam waktu satu menit bahkan kurang dari itu, tapi konsekuensi apa yang akan terjadi dan harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
Sudut Pandang
Paling tidak ada beberapa sudut pandang untuk menjawab pertanyaan mengapa pernikahan itu dinyatakan sebagai setengah dari agama. Pertama, ajaran Islam terdiri dari aqidah, syariah dan akhlak, karenanya pernikahan amat terkait dengan tiga hal ini. Pernikahan erat kaitannya dengan aqidah yang merupakan bukti keberadaan dan kebesaran Allah swt sebagai Tuhan yang benar, karena itu orang yang sudah menikah atau berumah tangga seharusnya memiliki iman yang semakin kokoh, karena ia sudah merasakan kebesaran dan kekuasaan Allah swt melalui hubungan suami isteri, apalagi sampai melahirkan anak yang merupakan anugerah sekaligus amanah dari Allah swt.
Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rum [30]:21).
Bahkan oleh Allah swt, nikah itu merupakan suatu perjanjian yang amat kuat yang diistilahkan dengan miytsaqan ghaliyzha dan penyebutan ini adalah sama dengan penyebutan pernjanjian para Nabi kepada Allah swt dalam mengemban amanah perjuangan, karenanya pernikahan seharusnya membuat seorang muslim semakin kuat ikatannya kepada Allah swt.
Dalam konteks syariah, pernikahan merupakan pelaksanaan dari syariat dan perjalanan kehidupan rumah tangga selanjutnya juga amat terkait dengan ketentuan-ketentuan Allah swt, mulai dari kepada siapa nikah dibolehkan dan tidak dibolehkan, keharusan menafkahi bagi suami dan bapak, keharusan mentaati suami bagi sang isteri dalam kebenaran dan berbagai ketentuan yang amat banyak dalam kehidupan rumah tangga sampai masalah yang berkaitan dengan harta keluarga hingga ketentuan dan segala konsekuensi yang berkaitan dengan perceraian.
Begitu juga dengan akhlak yang harus ditunjukkan dengan baik antar suami dengan isteri, orang tua dengan anak dan anak dengan orang tuanya. Keharusan kita untuk berakhlak yang baik harus dimulai dari rumah kita sendiri, karenanya bagaimana mungkin seseorang bisa berakhlak baik kepada orang lain bila kepada anggota keluarganya saja ia tidak berlaku baik.
Kedua, penguatan pribadi, hal ini karena keluarga adalah sebuah arena efektif yang dapat menumbuhkan keseimbangan rohani dan jasmani, individu dan sosial yang dari sini seharusnya bisa membuahkan kekuatan kepribadian. Yang harus dilakukan keluarga muslim adalah merealisasikan konsep pembentukan manusia berkualitas yang berkepribadian dalam posisinya sebagai makhluk sosial.
Ketiga, kedudukan nikah yang amat penting dan ia amat terkait dengan nilai-nilai Islam yang lain dalam kehidupan manusia. DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyyatul Aulad Fil Islam merinci menjadi tujuh hal, yaitu memelihara kelangsungan jenis manusia, keturunan. keselamatan masyarakat dari kerusakan moral, keselamatan masyarakat dari penyakit, ketentraman jiwa, saling bahu membahu dalam membina keluarga dan mendidik anak serta menghaluskan rasa kebapakan dan keibuan.
Keempat, pernikahan merupakan batu bata pembangunan masyarakat. Karenanya pembangunan suatu masyarakat, bangsa dan negara tidak bisa dipisahkan dari pembangunan keluarga. Karena itu, Prof. DR. Nazaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Depag menyatakan: “Dalam Al-Quran 80 persen ayat membicarakan tentang penguatan bangunan rumah tangga, hanya sebagian kecil yang membicarakan masalah penguatan negara, bangsa apalagi masyarakat, sebab keluarga adalah sendi dasar terciptanya masyarakat yang ideal, mana mungkin negara dibangun di atas bangunan keluarga yang berantakan.” ujarya.
Nazaruddin mencontohkan, di negara Eropa nasehat sebelum perkawinan diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah satu semester, sementara untuk di Indonesia hanya 7 menit saat berhadapan dengan penghulu. Karena itu, BP4 diminta dapat mengoptimalkan tugasnya. Ia menyatakan, banyaknya perceraian itu sebagai dampak globalisai arus informasi melalui media massa salah satunnya tayangan infotainment yang menampilkan figur artis dengan bangga mengungkap kasus perceraiannya.
Kelima, pernikahan bisa menjadi sarana dakwah yang efektif. Karenanya Rasulullah saw diperintahkan untuk menikah lagi dengan beberapa wanita untuk membuka jalur dakwah dan menguatkan bangunan dakwah yang sudah ada. Oleh karena itu, pernikahan tidak hanya kita pahami sebagai bertemunya dua orang lelaki dan perempuan, tetapi juga mempertemukan dua keluarga besar, bahkan bisa jadi dua suku dan bangsa yang sangat potensial bagi penguatan dakwah. Dalam konteks inilah, dakwah keluarga harus dilakukan dengan menggunakan sarana yang ada dan momentum yang tidak boleh berlalu begitu saja.
Keenam, Islam adalah agama jihad, agama yang harus diperjuangkan dan ditegakkan. Pembentukan keluarga melalui pernikahan bisa menjadi sarana bagi upaya memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam, bahkan keluarga bisa memberi konstribusi yang besar dalam jihad, karena dorongan keluarga diakui sangat besar dalam perjuangan seorang mujahid.
Dengan demikian, keluarga memiliki kedudukan yang amat strategis, baik dalam konteks pembentukan sumber daya manusia, pembentukan masyarakat dan bangsa, maupun dalam membangun peradaban manusia dari berbagai sisi kehidupannya.
Sebagaimana kita ketahui, ada banyak ketentuan syariat yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim seperti shalat, puasa, zakat,haji, perekonomian, perang dan sebagainya. Disamping masalah syariat yang berkaitan erat dengan hukum, masih ada lagi hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang rinciannya juga cukup banyak, baik dalam kaitan dengan hubungan kepada Allah swt maupun dengan sesama makhluk-Nya.
Semua ini memang diatur di dalam agama kita, yaitu Islam. Namun dalam konteks ajaran Islam, ada satu hadits yang penting untuk kita kaji, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَزَوَّجَ أَحْرَرَ نِصْفَ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ اْلآخَرِ
Barangsiapa kawin (beristeri), maka dia melindungi (menguasai)
separuh agamanya, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam
memelihara separuhnya lagi (HR. Hakim)Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:
مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ اْلإِيْمَانِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ اْلبَاقِى
Barangsiapa kawin (beristeri), maka dia menyempurnakan separuh iman,
karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separuh sisanya (HR.
Thabrani)Hadits ini menjadi amat penting untuk kita kaji karena Rasulullah saw menyebutkan nikah itu sebagai setengah agama. Tentu kita tidak bisa menafsirkan hadits di atas dengan mengatakan “bila kita sudah melangsungkan aqad nikah, maka berarti separuh urusan Islam sudah kita amalkan, apalagi kalau nikahnya lebih dari satu kali, maka sempurnalah keislaman kita, sedangkan yang menikah empat kali menjadi lebih sempurna lagi”.
Hal ini karena kita yakin, yang menjadi persoalan bukanlah semata-mata aqad nikah atau ijab qabulnya yang pengucapannya bisa diselesaikan dalam waktu satu menit bahkan kurang dari itu, tapi konsekuensi apa yang akan terjadi dan harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
Sudut Pandang
Paling tidak ada beberapa sudut pandang untuk menjawab pertanyaan mengapa pernikahan itu dinyatakan sebagai setengah dari agama. Pertama, ajaran Islam terdiri dari aqidah, syariah dan akhlak, karenanya pernikahan amat terkait dengan tiga hal ini. Pernikahan erat kaitannya dengan aqidah yang merupakan bukti keberadaan dan kebesaran Allah swt sebagai Tuhan yang benar, karena itu orang yang sudah menikah atau berumah tangga seharusnya memiliki iman yang semakin kokoh, karena ia sudah merasakan kebesaran dan kekuasaan Allah swt melalui hubungan suami isteri, apalagi sampai melahirkan anak yang merupakan anugerah sekaligus amanah dari Allah swt.
Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rum [30]:21).
Bahkan oleh Allah swt, nikah itu merupakan suatu perjanjian yang amat kuat yang diistilahkan dengan miytsaqan ghaliyzha dan penyebutan ini adalah sama dengan penyebutan pernjanjian para Nabi kepada Allah swt dalam mengemban amanah perjuangan, karenanya pernikahan seharusnya membuat seorang muslim semakin kuat ikatannya kepada Allah swt.
Dalam konteks syariah, pernikahan merupakan pelaksanaan dari syariat dan perjalanan kehidupan rumah tangga selanjutnya juga amat terkait dengan ketentuan-ketentuan Allah swt, mulai dari kepada siapa nikah dibolehkan dan tidak dibolehkan, keharusan menafkahi bagi suami dan bapak, keharusan mentaati suami bagi sang isteri dalam kebenaran dan berbagai ketentuan yang amat banyak dalam kehidupan rumah tangga sampai masalah yang berkaitan dengan harta keluarga hingga ketentuan dan segala konsekuensi yang berkaitan dengan perceraian.
Begitu juga dengan akhlak yang harus ditunjukkan dengan baik antar suami dengan isteri, orang tua dengan anak dan anak dengan orang tuanya. Keharusan kita untuk berakhlak yang baik harus dimulai dari rumah kita sendiri, karenanya bagaimana mungkin seseorang bisa berakhlak baik kepada orang lain bila kepada anggota keluarganya saja ia tidak berlaku baik.
Kedua, penguatan pribadi, hal ini karena keluarga adalah sebuah arena efektif yang dapat menumbuhkan keseimbangan rohani dan jasmani, individu dan sosial yang dari sini seharusnya bisa membuahkan kekuatan kepribadian. Yang harus dilakukan keluarga muslim adalah merealisasikan konsep pembentukan manusia berkualitas yang berkepribadian dalam posisinya sebagai makhluk sosial.
Ketiga, kedudukan nikah yang amat penting dan ia amat terkait dengan nilai-nilai Islam yang lain dalam kehidupan manusia. DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyyatul Aulad Fil Islam merinci menjadi tujuh hal, yaitu memelihara kelangsungan jenis manusia, keturunan. keselamatan masyarakat dari kerusakan moral, keselamatan masyarakat dari penyakit, ketentraman jiwa, saling bahu membahu dalam membina keluarga dan mendidik anak serta menghaluskan rasa kebapakan dan keibuan.
Keempat, pernikahan merupakan batu bata pembangunan masyarakat. Karenanya pembangunan suatu masyarakat, bangsa dan negara tidak bisa dipisahkan dari pembangunan keluarga. Karena itu, Prof. DR. Nazaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Depag menyatakan: “Dalam Al-Quran 80 persen ayat membicarakan tentang penguatan bangunan rumah tangga, hanya sebagian kecil yang membicarakan masalah penguatan negara, bangsa apalagi masyarakat, sebab keluarga adalah sendi dasar terciptanya masyarakat yang ideal, mana mungkin negara dibangun di atas bangunan keluarga yang berantakan.” ujarya.
Nazaruddin mencontohkan, di negara Eropa nasehat sebelum perkawinan diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah satu semester, sementara untuk di Indonesia hanya 7 menit saat berhadapan dengan penghulu. Karena itu, BP4 diminta dapat mengoptimalkan tugasnya. Ia menyatakan, banyaknya perceraian itu sebagai dampak globalisai arus informasi melalui media massa salah satunnya tayangan infotainment yang menampilkan figur artis dengan bangga mengungkap kasus perceraiannya.
Kelima, pernikahan bisa menjadi sarana dakwah yang efektif. Karenanya Rasulullah saw diperintahkan untuk menikah lagi dengan beberapa wanita untuk membuka jalur dakwah dan menguatkan bangunan dakwah yang sudah ada. Oleh karena itu, pernikahan tidak hanya kita pahami sebagai bertemunya dua orang lelaki dan perempuan, tetapi juga mempertemukan dua keluarga besar, bahkan bisa jadi dua suku dan bangsa yang sangat potensial bagi penguatan dakwah. Dalam konteks inilah, dakwah keluarga harus dilakukan dengan menggunakan sarana yang ada dan momentum yang tidak boleh berlalu begitu saja.
Keenam, Islam adalah agama jihad, agama yang harus diperjuangkan dan ditegakkan. Pembentukan keluarga melalui pernikahan bisa menjadi sarana bagi upaya memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam, bahkan keluarga bisa memberi konstribusi yang besar dalam jihad, karena dorongan keluarga diakui sangat besar dalam perjuangan seorang mujahid.
Dengan demikian, keluarga memiliki kedudukan yang amat strategis, baik dalam konteks pembentukan sumber daya manusia, pembentukan masyarakat dan bangsa, maupun dalam membangun peradaban manusia dari berbagai sisi kehidupannya.
Minggu, 19 Oktober 2014
Tergantung Pengorbanan
Selagi matahari masih dari timur, maka harapan untuk bangkit lebih baik pasti masih ada, sejauhmana seseorang mengutamakan kehendak tuhannya maka sejauh itu pulalah Alloh mengutamakannya
Marilah Sembelih Kurban
SETIAP tanggal 10 Dzulhijjah umat Islam memperingati Hari Raya
Kurban. Dzulhijjah adalah di antara bulan-bulan yang memiliki keutamaan
tersendiri. Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam bersabda: “Tidak
ada hari-hari, di mana amalan shaleh di dalamnya lebih dicintai Allah
daripada (amalan shaleh) di 10 hari pertama (bulan Dzulhijjah). Para
Sahabat bertanya: Apakah termasuk jihad di jalan Allah? Beliau bersabda:
Ya, termasuk jihad (yang dilakukan di luar 10 hari tsb), kecuali orang
yang pergi (berjihad) dengan nyawa dan hartanya, dan dia tidak kembali
lagi.” [HR. Bukhari]
Di antara amalan shaleh terpenting di bulan Dzulhijjah, selain ibadah haji adalah ibadah kurban. Berkenaan dengan fadilah kurban ini dapat kita simak Hadits berikut ini: Wahai Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam, apakah kurban itu?
Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Para Sahabat bertanya: “Apa keutamaan yang akan kami peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR. Bbn Majah).
Di samping itu, Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam juga bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kelapangan, namun tidak berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR Sunan Ibn Majah, 3123)
Makna Kurban
Kurban dalam bahasa arab berakar kata dari qaruba. Akar kata ini membentuk kata: qurb (dekat), taqarrub (mendekatkan diri) aqriba’ (kerabat) dsb.
Menurut para pakar bahasa Arab, kurban bermakna suatu sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah (lihat: Ma’ani l-Qur’an).
Al-Mawardi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kurban adalah amal kebajikan yang ditujukan menggapai Rahmat Allah. Sedangkan dalam Mu’jam Wasith kurban berarti segala bentuk amalan untuk bertaqarrub kepada Allah, baik berupa penyembelihan maupun lainnya.
Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya mengutip Sabda Nabi kepada Ka’b: “Wahai Ka’b! Puasa itu adalah perisai dan shalat itu adalah kurban”. Lebih lanjut dalam kitab Hilyatul Auliya’ dijelaskan sebagai berikut:
“Shalat adalah kurban dari setiap orang yang bertakwa.”
Haji itu adalah bentuk jihad dari setiap orang yang lemah
Zakat badan adalah puasa
Pendakwah tanpa amalan bagai pemanah tanpa busur.
Pancinglah turunnya rizki dengan bersedekah
Bentengilah hartamu dengan zakat”.
Qurb (dekat) yang menjadi derivasi kata Qurban mempunyai arti sebagai kondisi istiqamah yang sejalan dengan perintah Allah, ketaatan dan memaksimalkan waktu untuk beribadah kepada-Nya (Lathaif al-I’lam).
Dalam hal ini, Abul Qasim al-Junaid (w.297H) memberi contoh makna qurb sebagai berikut: Ketahuilah! Sesungguhnya Allah mendekati hati hamba-hambaNya sesuai apa yang Dia ketahuhi dari kedekatan hati hamba-hambaNya kepadaNya. Maka perhatikanlah, perihal apakah yang mendekati pada hatimu?
Takwa dan Kurban
Allah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِي
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS: al-Maidah: 27)
Al-Mawardi dalam tafsirnya menukil pendapat Abdullah bin ‘Umar tentang sebab diterimanya kurban Habil, dikarenakan beliau mempersembahkan harta terbaiknya yang berupa tanaman sebagai kurbannya. Sedangkan ditolaknya kurban Qabil ditolak karena dia bersifat minimalis dalam mempersembahkan hartanya.
Maka keikhlasan sebagai ruh takwa adalah kualifikasi diterimanya sebuah kurban. Sebab takwa memiliki makna lahir dan batin. Makna lahiriyah takwa diukur dari sejauhmana seorang hamba memperhatikan batasan-batasan (hudud) yang telah ditetapkan Allah. Sedangkan makna batinnya ditentukan oleh keikhlasan dalam setiap amalannya. (lihat: al-Risalah al-Qusyairiyyah, I/308)
Allah berfirman:
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِي
“Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS: al-Hajj: 37)
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Ridha Allah tidak akan sampai pada pemilik daging-daging yang disedekahkan dan darah-darah yang mengalir dari hewan yang dikurbankan kecuali jika dia melandasi amalannya dengan niat ikhlas dan memperhatikan syarat-syarat taqwa saat berkurban.
Secara kebahasaan, takwa berarti menjaga jiwa dari sesuatu yang ditakuti (ja’lun nafs fi wiqayatin mimma yakhaf). Makna takwa ini dapat kita ketahui dari penjelasan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam; “Hindarilah (ittaqu, dari kata taqwa) api neraka walau dengan sebutir kurma, jika tidak punya sebutir kurma, maka gunakan kata yang baik.” (HR. Bukhari)
Sedangkan secara syar’i, takwa berarti menjaga jiwa dari segala yang mengotorinya, yaitu dengan meninggalkan semua yang dilarang. Orang yang bertaqwa adalah yang menjadikan ketaatannya hanya untuk Allah dan mematuhi perintah-Nya sebagai pelindung dari azab-Nya. Kesemuanya ini berjalan sempurna dengan meninggalkan hal-hal dibolehkan (mubah) tapi mengandung syubhat, sehingga dia tidak terperosok kedalam hal yang diharamkan.
Oleh karena itu, Ibn ‘Umar berkata: “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa yang hakiki sehingga dia meninggalkan gejolak (niatan buruk) dalam dadanya.” (HR Shahih Bukhari, kitabul iman)
Dalam pandangan Sufi yang lurus, takwa menempati maqam tertinggi, karena takwa menghindari hal-hal yang tidak disukai (makruh). Taqwa mendindingi seseorang dari segala yang dicintai dan dicarinya; seperti menjauhi kekufuran dengan keimanan, kesyirikan dengan tauhid, riya’ dengan ikhlas, dusta dengan jujur, curang dengan nasehat, maksiat dengan taat, bid’ah dengan ittiba’, syubhat dengan wara’, dunia dengan zuhud, lalai dengan zikir, setan dengan ta’awudz, neraka dengan menjauhi amalan buruk, dan menghindari semua kejahatan dengan kebaikan yang menjadi penyelamatnya.
Maka menurut kaum sufi, takwa itu mencakup empat hal:
Pertama, sangat takut dari dosa-dosa di masa silam, di mana kenikmatannya telah sirna tetapi balasan dosanya masih menghantuinya.
Kedua, sangat khawatir terperosok kedalam dosa-dosa di masa mendatang
Ketiga, sangat takut bila mendapatkan su’ul khatimah.
Keempat, sering bermuhasabah (introspeksi diri)
Mengenai penyebutan daging dan darah dalam QS. Al-Hajj 37, Ibnu Katsir menjelaskan hal ini karena kebiasaan masyarakat jahiliyah ketika berkurban mereka menggantungkan daging kurban pada patung tuhan-tuhannya dan melumuri “tuhan”nya dengan darah kurban. Lalu para Sahabat berkata: “Kami lebih berhak melakukan hal itu dari mereka”. Maka turunlah ayat: “Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”.
Lalu beliau menyitir Hadits Nabi: “Sesungguhnya amalan sedekah itu telah sampai kepada Allah sebelum sampai ke tangan penerimanya, dan sungguh (pahala) dari darah (kurban) itu telah sampai kepada Allah sebelum membasahi bumi.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Dengan demikian hal terpenting dari ibadah kurban adalah sarana sebagai penggemblengan jiwa untuk lebih bertaqarrub kepada Allah dan memperbaiki kualitas takwa kita. Wallahu a’lam bissawab.
Di antara amalan shaleh terpenting di bulan Dzulhijjah, selain ibadah haji adalah ibadah kurban. Berkenaan dengan fadilah kurban ini dapat kita simak Hadits berikut ini: Wahai Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam, apakah kurban itu?
Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Para Sahabat bertanya: “Apa keutamaan yang akan kami peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR. Bbn Majah).
Di samping itu, Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam juga bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kelapangan, namun tidak berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR Sunan Ibn Majah, 3123)
Makna Kurban
Kurban dalam bahasa arab berakar kata dari qaruba. Akar kata ini membentuk kata: qurb (dekat), taqarrub (mendekatkan diri) aqriba’ (kerabat) dsb.
Menurut para pakar bahasa Arab, kurban bermakna suatu sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah (lihat: Ma’ani l-Qur’an).
Al-Mawardi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kurban adalah amal kebajikan yang ditujukan menggapai Rahmat Allah. Sedangkan dalam Mu’jam Wasith kurban berarti segala bentuk amalan untuk bertaqarrub kepada Allah, baik berupa penyembelihan maupun lainnya.
Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya mengutip Sabda Nabi kepada Ka’b: “Wahai Ka’b! Puasa itu adalah perisai dan shalat itu adalah kurban”. Lebih lanjut dalam kitab Hilyatul Auliya’ dijelaskan sebagai berikut:
“Shalat adalah kurban dari setiap orang yang bertakwa.”
Haji itu adalah bentuk jihad dari setiap orang yang lemah
Zakat badan adalah puasa
Pendakwah tanpa amalan bagai pemanah tanpa busur.
Pancinglah turunnya rizki dengan bersedekah
Bentengilah hartamu dengan zakat”.
Qurb (dekat) yang menjadi derivasi kata Qurban mempunyai arti sebagai kondisi istiqamah yang sejalan dengan perintah Allah, ketaatan dan memaksimalkan waktu untuk beribadah kepada-Nya (Lathaif al-I’lam).
Dalam hal ini, Abul Qasim al-Junaid (w.297H) memberi contoh makna qurb sebagai berikut: Ketahuilah! Sesungguhnya Allah mendekati hati hamba-hambaNya sesuai apa yang Dia ketahuhi dari kedekatan hati hamba-hambaNya kepadaNya. Maka perhatikanlah, perihal apakah yang mendekati pada hatimu?
Takwa dan Kurban
Allah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِي
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS: al-Maidah: 27)
Al-Mawardi dalam tafsirnya menukil pendapat Abdullah bin ‘Umar tentang sebab diterimanya kurban Habil, dikarenakan beliau mempersembahkan harta terbaiknya yang berupa tanaman sebagai kurbannya. Sedangkan ditolaknya kurban Qabil ditolak karena dia bersifat minimalis dalam mempersembahkan hartanya.
Maka keikhlasan sebagai ruh takwa adalah kualifikasi diterimanya sebuah kurban. Sebab takwa memiliki makna lahir dan batin. Makna lahiriyah takwa diukur dari sejauhmana seorang hamba memperhatikan batasan-batasan (hudud) yang telah ditetapkan Allah. Sedangkan makna batinnya ditentukan oleh keikhlasan dalam setiap amalannya. (lihat: al-Risalah al-Qusyairiyyah, I/308)
Allah berfirman:
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِي
“Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS: al-Hajj: 37)
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Ridha Allah tidak akan sampai pada pemilik daging-daging yang disedekahkan dan darah-darah yang mengalir dari hewan yang dikurbankan kecuali jika dia melandasi amalannya dengan niat ikhlas dan memperhatikan syarat-syarat taqwa saat berkurban.
Secara kebahasaan, takwa berarti menjaga jiwa dari sesuatu yang ditakuti (ja’lun nafs fi wiqayatin mimma yakhaf). Makna takwa ini dapat kita ketahui dari penjelasan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam; “Hindarilah (ittaqu, dari kata taqwa) api neraka walau dengan sebutir kurma, jika tidak punya sebutir kurma, maka gunakan kata yang baik.” (HR. Bukhari)
Sedangkan secara syar’i, takwa berarti menjaga jiwa dari segala yang mengotorinya, yaitu dengan meninggalkan semua yang dilarang. Orang yang bertaqwa adalah yang menjadikan ketaatannya hanya untuk Allah dan mematuhi perintah-Nya sebagai pelindung dari azab-Nya. Kesemuanya ini berjalan sempurna dengan meninggalkan hal-hal dibolehkan (mubah) tapi mengandung syubhat, sehingga dia tidak terperosok kedalam hal yang diharamkan.
Oleh karena itu, Ibn ‘Umar berkata: “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa yang hakiki sehingga dia meninggalkan gejolak (niatan buruk) dalam dadanya.” (HR Shahih Bukhari, kitabul iman)
Dalam pandangan Sufi yang lurus, takwa menempati maqam tertinggi, karena takwa menghindari hal-hal yang tidak disukai (makruh). Taqwa mendindingi seseorang dari segala yang dicintai dan dicarinya; seperti menjauhi kekufuran dengan keimanan, kesyirikan dengan tauhid, riya’ dengan ikhlas, dusta dengan jujur, curang dengan nasehat, maksiat dengan taat, bid’ah dengan ittiba’, syubhat dengan wara’, dunia dengan zuhud, lalai dengan zikir, setan dengan ta’awudz, neraka dengan menjauhi amalan buruk, dan menghindari semua kejahatan dengan kebaikan yang menjadi penyelamatnya.
Maka menurut kaum sufi, takwa itu mencakup empat hal:
Pertama, sangat takut dari dosa-dosa di masa silam, di mana kenikmatannya telah sirna tetapi balasan dosanya masih menghantuinya.
Kedua, sangat khawatir terperosok kedalam dosa-dosa di masa mendatang
Ketiga, sangat takut bila mendapatkan su’ul khatimah.
Keempat, sering bermuhasabah (introspeksi diri)
Mengenai penyebutan daging dan darah dalam QS. Al-Hajj 37, Ibnu Katsir menjelaskan hal ini karena kebiasaan masyarakat jahiliyah ketika berkurban mereka menggantungkan daging kurban pada patung tuhan-tuhannya dan melumuri “tuhan”nya dengan darah kurban. Lalu para Sahabat berkata: “Kami lebih berhak melakukan hal itu dari mereka”. Maka turunlah ayat: “Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”.
Lalu beliau menyitir Hadits Nabi: “Sesungguhnya amalan sedekah itu telah sampai kepada Allah sebelum sampai ke tangan penerimanya, dan sungguh (pahala) dari darah (kurban) itu telah sampai kepada Allah sebelum membasahi bumi.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Dengan demikian hal terpenting dari ibadah kurban adalah sarana sebagai penggemblengan jiwa untuk lebih bertaqarrub kepada Allah dan memperbaiki kualitas takwa kita. Wallahu a’lam bissawab.
Belajar dari Semut
MUHAMMAD BIN NU’AIM suatu saat mengunjungi Bisyr Al Hafi yang sedang sakit. Kepada ulama besar Baghdad yang dikenal dengan zuhud dan wara’nya itu, Muhammad bin Nu’aim meminta nasihat,”Berihlah saya nasihat!”
Bisyr Al Hafi Al Hafi pun menyampaikan,”Di rumah ini ada semut, yang mengumpulkan biji-bijian di musim panas dan memakannya di musim dingin. Suatu saat aku mengambil biji dari mulutnya, lalu tiba-tiba datanglah seekor burung pipit dan memakan biji itu”.
Bisyr Al Hafi pun menarik kesimpulan dari peristiwa itu,”Maka, tidak semua yang engkau kumpulkan engkau memakannya. Tidak semua harapan yang engkau cita-citakan akan engkau peroleh”.
Adab Memakai Sandal
Memakai sendal atau sepatu sudah menjadi budaya umat manusia sejak dulu kala. Seseorang yang hendak berjalan, biasanya membutuhkan sesuatu sebagai alas kakinya, baik berupa sandal maupun sepatu. Tujuannya adalah untuk menjaga dan melindungi kedua kakinya.
Berkaitan hal ini islam telah memberi tuntutan bagaimana memakai sandal atau sepatu tersebut. Berikut beberapa adab memakai sandal :
1. Niat yang benar
Ketka seorang muslim memakai sandal/ sepatu, hendaknya berniat untuk melindungi kaki dan menjaga kebersihannya serta untuk memperlihatkan nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan kepadanya. Tidak ada niat yang salah (jelek), seperti menunjukan sifat sombong karena memakai sepatu berharga mahal dan lain-lain.
2. Memeriksa kebersihannya
Hendaknya seseorang memeriksa kebersihan sandal atau sepatu dari berbagai najis yang mungkin menempel dibagian telapak atau ujungnya. Sebab terkadang seseorang terpaksa shalat dengan memakai sepatu stelah ia mengusapnya dan yakin akan kebersihannya untuk keabsahannya untuk keabsahan shalat yang akan ia laksanakan.
3. Mendahulukan kaki kanan
Hendaklah mendahuluikan kaki kanan ketika memakai sandal dan mendahulukan kaki kiri ketika melpaskannya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda: “Jika salah seorang kalian memakai sandal, mulailah dengan yang kiri. Jadikan kanan yang pertama dipakaikan dan kiri yang pertama dilepaskan” (HR Bukhari dan Muslim)
4. Tidak memakai sandal sepatu sambil berdiri
Tidak memakai sandal sepatu sambil berdiri berdasar sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Dilarang memakai sandal sambil berdiri”. Mengenai hadits ini, Al Manawi berkata: “Perintah dalam hadits ini merupakan nasehat, karena memakai sandal sambil duduk itu lebih mudah dan lebih memungkinkan”.
(Al silsilah al Shahihah (719)
5. Dimakhrukan memakai satu sandal
Seorang muslim dimakruhkan memakai satu sandal berdasar sabda Nabi Muhammad SAW: “Jika terputus ‘syis’u’ (tali sandal) salah seorang di antara kalian, janganlah ia berjalan dengan sandal sebelahnya hingga ia memperbaikinya (tali sandal yang terputus trsebut)”. (Shahih Al Adab (732)).
Asy-syis’u maknanya adalah tali sandal yang dimasukkan di antara dua jari kaki (saat memakainya). Ujung tali dimasukkan ke dalam lubang yang berada di bagian depan sandal.
Managemen Stress
Di era yang serba modern ini, banyak kemajuan yang tidak dapat dihindari lagi. Kemajuan dan perkembangan yang terjadi di bidang ekonomi, sains dan teknologi, bahkan budaya dan tradisi mengalami perubahan yang begitu signifikan. Bila kita melihat pertumbuhan sektor perekonomian di Indonesia, banyak gedung-gedung bertingkat didirikan, hampir merata di kota-kota seluruh Indonesia. Hal ini, menandakan perekonomian di kota Republik Indonesia mulai mengalami kemajuan. Di segi sains dan teknologi, zaman sekarang sudah mengandalkan penggunaan IPTEK (Ilmu pengetahuan dan Teknologi). Contohnya, seperti pendaftaran sekolah dan kuliah telah menggunakan sistim online semua. Hal ini juga menunjukkan kemajuan di bidang pendidikan. Akan tetapi, kemajuan dan perubahan zaman ini, tidak semua masyarakat dapat mengikutinya dengan baik dan merasa bahagia.
Ada sebagian masyarakat yang mengalami stress akibat perkembangan dan kemajuan zaman yang cenderung tidak dapat diikutinya. Hal ini, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2011, bahwa populasi orang dewasa Indonesia yang mencapai 150 juta jiwa, sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa kecemasan dan depresi (Disampaikan dalam “seminar dalam rangka hari kesehatan jiwa sedunia” 28 September 2011). Selanjutnya hasil riset yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013. Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi RT yang pernah memasang ART gangguan jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal dipedesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
Melihat fakta dilapangan, hal ini menjadi sebuah PR besar bagi semua lini kehidupan, peran serta semua elemen masyarakat untuk menjaga hubungan yang harmonis antara sesama individu masyarakat dan peran pemerintah untuk memberikan stabilitas yang menyangkut masalah kenyamanan opinin masyarakat. Dari paradigma di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak masyarakat yang mengalami stress akibat dari tekanan kehidupan yang dari hari ke hari beragam permasalahannya.
Apa itu stress?
Selye mengatakan stress merupakan respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Apabila individu mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga individu tidak dapat lagi menjalankan fungsi pekerjaan dengan baik, maka individu disebut mengalami distress. Akan tetapi, apabila individu dapat mengatasi tekanan yang datang terhadap dirinya, tanpa ada keluhan fisik maupun mental, maka individu tidak mengalami stress melainkan disebut eustress.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stress
Terdapat sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi atau penyebab timbulnya keadaan stress. Penyebab atau faktor-faktor yang mempengaruhi stress disebut dengan stressor. Dalam kajian ini, akan dijelaskan stressor yang berasal dari stressor psikososial. Menurut Dadang Hawari, stressor psikososial diantaranya: 1) Perkawinan; 2) Problem orang tua; 3) Hubungan interpersonal; 4) Pekerjaan: 5) Lingkungan hidup; 6) Keuangan; 7) Hukum; 8) Perkembangan; 9) Penyakit fisik atau cidera; 10) Keluarga; 11) Trauma.
Berdasarkan pendapat Hawari, dapat di ambil sebuah kesimpulan yang menjadi penyebab seseorang mengalami stress diantaranya: 1) Faktor Fisiologis; 2) Psikologi; 3) Faktor Sosial dan Budaya.
Reaksi terhadap stress
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami stress, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Individu yang mengalami stress, akan menunjukkan reaksi dalam dirinya. Menurut Yusuf dan Nurihsan, gejala stress dapat dilihat dari gejala fisik maupun psikis. Gejala fisik diantaranya, sakit kepala, sakit lambung, tekanan darah meninggi, jantung berdebar-debar, insomnia (sulit tidur), mudah lelah, keluar keringat dingin, kurang selera makan, dan sering buang air kecil. Selanjutnya gejala psikis diantaranya, cemas, konsentrasi menurun, bersikap apatis (masak bodoh), pesimis, hilang rasa humor, pendiam, malas beraktivitas, melamun, menjadi pemarah. Selanjutnya seseorang yang mengalami stress dapat pula dilihat berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada kondisi tubuhnya. Menurut Dadang Hawari, seseorang yang mengalami stress akan mengalami perubahan fisiologis. Perubahan yang terjadi merupakan gangguan fungsional dari organ tubuh individu yang mengalami stress. Keluhan fisik mempengaruhi kondisi mental dan emosional, sehingga individu yang mengalami stress akan menjadi pemarah, pemurung, pencemas, dan mengalami gangguan emosional lainnya.
Strategi Menghadapi Stress
Setelah mengetahui faktor yang mempengaruhi stress dan reaksi tubuh (fisik dan psikologis) terhadap stress. Strategi menghadapi stress harus diketahui oleh setiap individu manusia. Berdasarkan ulasan dari Dadang Hawari, ringkasan upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress diantaranya:
- Menjaga pola makan dan istirahat yang cukup.
- Membiasakan untuk menggerakan badan minimal 2 kali seminggu (olahraga).
- Mengurangi atau bahkan meninggalkan rokok dan minuman keras.
- Menjalin interaksi sosial yang baik.
- Mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kamis, 16 Oktober 2014
Skenario Alloh swt. memang Indah
Pernahkah ingat awal kisah cinta Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah?
Sepupu muda Rasulullah yang disebut-sebut Rasul sebagai gerbang ilmu
pengetahuan ini menaruh hati pada putri Rasulullah SAW di masa-masa
remajanya. Bak seorang remaja yang sedang memasuki masa pubertasnya,
hatinya dipenuhi keinginan untuk menjadi partner 24 jam-nya
Fathimah. Tapi Ali sadar bahwa dirinya tak memiliki apa-apa. Terlebih
lagi tersebar berita bahwa Abu Bakr telah meminang Fathimah. Saat itu
asa pupus. Ali pun menyadari bahwa dirinya hanya seonggok batu kerikil
bila dibandingkan dengan sosok Abu Bakr. Senyum pun tersirat.
Tak lama kemudian, terdengar kabar bahwa lamaran Abu Bakr ditolak
Rasul. Secercah harapan muncul dalam diri Ali. Tapi kembali terhapus
saat Ali mendengar kedatangan Umar mengunjungi kediaman Rasul dengan
niat yang sama seperti Abu Bakr. Perang batin berkecamuk di dalam diri
Ali. Satu sisi mengatakan bahwa Ali ingin sekali menikahi Fathimah,
namun sisi yang lain mengatakan bahwa dirinya tak pantas disandingkan
dengan putri seorang utusan mulia.
Namun skenario Allah tak dapat disangka-sangka. Beberapa lama
kemudian datang Abu Bakr dengan senyum manisnya sembari membawakan
undangan kepada Ali. Undangan dari Rasul. Berbekal rasa penasaran, Ali
segera mendatangi Rasul. Tak ada hari yang paling indah bagi Ali selain
hari dimana Rasul menjodohkan Ali dengan putri kesayangannya itu. Betapa
bahagia hati Ali mendapatkan tawaran khusus dari Rasul. Plot cerita
yang Ali bayangkan ternyata tak dapat mengalahkan kronologi kisah yang
telah Allah buat.
Skenario Allah memang indah..
Ibrahim as. Bapak para nabi ini memiliki segudang kisah inspiratif
yang mengandung jutaan hikmah didalamnya. Gelar bapak para nabi ini
dimulai ketika Ibrahim as ingin memiliki keturunan. Kisahnya bermula
ketika Ibrahim as menikahi anak pamannya nan cantik jelita, Sarah. Di
usia pernikahannya yang sudah cukup lama, Ibrahim as dan Sarah masih
belum dikaruniai seorang anak. Keinginan memiliki keturunan ini begitu
menggebu-gebu. Tak heran. Setiap pasangan pasti ingin memiliki keturunan
yang akan melanjutkan perjuangan dakwahnya. Ibrahim as dan Sarah hanya
bisa pasrah. Karena bagaimanapun di atas sana ada Dzat Yang Maha
Segalanya. Ibrahim as dan Sarah menganggap ini sebagai ujian di dalam
pernikahan mereka.
Suatu hari, Ibrahim dan Sarah hijrah ke Mesir. Kala itu, Mesir
dipimpin oleh raja yang zalim yang hobinya mengoleksi wanita.
Kedatangan Ibrahim as dan Sarah tercium oleh sang raja. Terlebih
kecantikan Sarah yang membuat sang raja ingin memilkinya. Sang raja pun
memaksa Ibrahim menyerahkan Sarah. Ujian kembali menimpa Ibrahim as.
Kedatangan pertamanya ke Mesir harus disambut dengan perlakuan tak
pantas seorang raja. Sarah pun berdoa. Ketika itu sang raja merasa
lehernya tiba-tiba tercekik. Merasa ketakutan, akhirnya Ibrahim as dan
Sarah diminta pergi oleh raja. Sebelum pergi, raja memberikan seorang
hamba sahaya kepada mereka. Namanya Hajar.
Doa Ibrahim pun terjawab, dari pernikahannya dengan Hajar, lahirlah
seorang anak tampan bernama Ismail. Memang sekilas menyakitkan bagi
Sarah. Anak pertama Ibrahim as bukan berasal dari dirinya. Sarah pun
ingin mempunyai anak. Tapi kisahnya tak berhenti sampai di situ. Tak
lama kemudian, Allah mengaruniai anak dari Sarah. Anak itu diberi nama
Ishaq. Kedua putra Ibrahim ini diutus menjadi nabi, pembawa risalah
Islam. Doa Ibrahim dan Sarah terjawab sudah.
Skenario Allah memang indah..
“Barang siapa yang tidak ridha terhadap
ketentuan-Ku, dan tidak sabar atas musibah dari-Ku, maka carilah Tuhan
selain Aku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berbahagialah menjadi seorang Muslim. Di saat cobaan datang
bertubi-tubi, seorang Muslim diajarkan bagaimana mengelola hati sehingga
hatinya tetap sabar dan yakin akan hadirnya sentuhan hangat
tangan Sang Khalik. Di saat nikmat turun dari langit, seorang Muslim
diajarkan bagaimana menata hati sehingga hatinya senantiasa bersyukur dan menepis jauh kemungkinan munculnya dengki.
Terkadang kita selalu berpikir, mengapa seringkali terjadi hal-hal
yang tak sesuai dengan harapan kita. Plot cerita yang telah dirancang
sebelumnya seringkali tidak berjalan mulus dikarenakan hadirnya hal-hal
di luar kendali kita. Tak jarang diri ini tak kuasa menahan emosi yang
muncul. Tapi di situlah letak nikmat dari ujiannya.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui ,”
(Qs. Al-Baqarah : 216)
Jika kita yakin bahwa semua skenario ini telah dirancang dengan rapi oleh Sang Sutradara Alam Semesta, maka tak perlu takut, tersenyumlah. Jika kita tahu bahwa Sang Khalik tak akan pernah menzhalimi hamba-hamba-Nya, maka tak usah gelisah, tersenyumlah. Jika kita faham bahwa hanya Sang Allah yang mengetahui apa yang baik untuk kita, maka tak perlu risau, tersenyumlah. Jika kita mengerti bahwa skenario Allah itu adalah skenario yang paling indah, maka tak usah gundah, tersenyumlah..
Ketika Allah sedang menyulam kehidupan hamba-Nya, tak perlu Allah mengungkap rencana-Nya, karena Allah ingin semua terasa indah pada waktunya.
Allah ingin melihat hamba-Nya gigih dalam menjalani prosesnya. Allah
ingin melihat hamba-Nya bercucuran air mata, bersimpuh di malam hari
menghadap-Nya. Allah ingin melihat tegarnya dada hamba-Nya, bersabar
dalam menerima cobaanya. Allah ingin melihat senyum dan ucapan syukur
keluar dari mulut hamba-Nya tatkala Allah merealisasikan doa hamba-Nya
dan rencana terbaik-Nya.
Ruang lingkup penglihatan Allah sangat sangat jauh bila dibandingkan
dengan ruang lingkup penglihatan hamba-Nya. Ibarat seseorang yang
melihat dari dalam lubang, dan seorang yang lain melihat dari atas
menara. Maka, seseorang yang melihat dari atas menara jangkauan
pandangannya akan lebih luas dari jangkauan pandangan seseorang yang
melihat dari lubang. Oleh karena itu, wajar jika banyak keputusan Allah
yang berbeda dari keinginan kita. Karena Allah melihat dari sudut
pandang yang luas. Mempertimbangkan berbagai macam pertimbangan,
merencanakan sesuatu dari data yang lebih lengkap. Tak pantas bila kita
menyalahkan skenario yang Allah buat.
Allah telah merancang skenario yang sempurna. Terkadang Allah
menyembunyikan mutiara yang indah di balik sebuah kotak yang terlihat
kusam. Kita tak bisa dengan mudahnya menyalahkan setiap kejadian buruk
di hadapan, karena siapa tau kejadian yang indah sedang menunggu
selangkah dua langkah di depan kejadian buruk yang menimpa kita itu. Semua akan indah pada waktunya
Seringkali selama bertahun-tahun, aku melihat ke
atas dan bertanya kepada Allah, “Allah, apa yang engkau lakukan?” Ia
menjawab, “menyulam kehidupanmu”. Dan aku menjawab, “tetapi nampaknya
hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semua
memakai warna yang cerah?” Kemudian Allah menjawab, “Hambaku, kamu
teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga akan menyelesaikan pekerjaan-Ku.
Suatu saat nanti Aku akan memanggilmu ke syurga dan mendudukkanmu di
pangkuan-Ku, dan kamu akan melihat rencana-Ku yang indah dari sisi-Ku”
Skenario Allah memang indah..
Hikmah dibalik Haji
IHRAM HAJI merupakan pengagungan kepada Raja yang menyatakan hak, menyatakan keesaan hanya milikNya dan menundukkan syetan beserta golongannya.
Apabila orang yang melaksanakan ibadah haji ingin mengunjungi rumah (ka’bah ) Tuhannya, sang Pencipta dan Pemberi rezekinya, maka dia harus meninggalkan seluruh urusan dunia. Dia juga harus terbebas dari semua pakaian kecuali pakaian ihram, agar dia selalu ingat- dengan pakaian ihram itu akan kematian.
Di antara sikap mengagungkan Tuhan Yang Maha Agung adalah mengunjunginya dengan kepala terbuka, pakaian kusut dan berdebu agar tampak kefakiran, kelemahan, kehinaan ketidak berdayaan dan kesusahannya.
Di antara sikap mengagungkan Tuhan Yang Maha Agung adalah; datang kepadaNya dengan hati yang bersih, khusyu ‘, merasa hina, tunduk dan tenang agar keagungan dan kekuasaan tetap milik Allah Tuhan semesta Alam.
Orang fakir yang tidak memiliki satu dinar pun dan orang kaya yang memiliki seribu dinar, semuanya berihram. Seorang raja yang mempunyai banyak pengawal dan harta sama seperti orang yang tidak punya dan papa, agar keagungan, kesempurnaan, kemuliaan, keindahan, kemurahan dan kekuasaan seluruhnya awal dan akhirnya banyak dan sedikitnya samar dan tampaknya hanya milik Allah Tuhan Semesta Alam.
Apakah engkau pernah melihat pakaian yang lebih indah dari pakaian ihram? Apakah engkau pernah menyaksikan kepala yang lebih bagus dari kepala orang-orang yang bercukur?
Apakah engkau pernah mendengar suara yang lebih merdu daripada suara orang-orang yang mengucap talbiyah? Apakah engkau pernah memandang gerak merayap yang lebih mulia daripada gerak merayapnya orang-orang yang melakukan thawaf ?
Apakah engkau pernah melihat air mata yang lebih jujur daripada air matanya orang-orang yang khusyu? Apakah engkau pernah mendengar isakan tangis yang lebih jujur daripada isakan tangis orang-orang yangbertaubat? Dan apakah engkau pernah melihat kantuk yang lebih nyaman daripada kantuknya orang-orang yang bertahajud?
Keletihan dalam ridhaNya merupakan sebuah kelezatan. Usaha dipelataran Nya adalah keberuntungan. Merasakan sakit karenaNya menyejukkan. Begadang dengan kitab Nya merupakan kebahagiaan. Lapar dalam taat pada-Nya merupakan harta melimpah. Dan terbunuh di jalan-Nya merupakan kemuliaan.
Allah memerintahkan Al Khalil Ibrahim As agar membangun rumah untukNya (tempat untuk menyebut namaNya) di atas tanah yang tandus lagi gersang. Lalu setelah itu kerinduan membawa manusia untuk mendatangi rumah sang Kekasih; hingga karena begitu cintanya tali jantung terputus, kaki-kaki pecah dan membengkak dalam usaha mendatanginya, bahu-bahu saling berdesakan untuk mendekati rumah-Nya, suara bergemuruh menyerukan talbiyah, dan orang-orang berjejal dalam perjamuan-Nya. Semua orang sama dalam pelayanannya dan semua jiwa ciut karena takut kepada-Nya.
Talbiyah adalah pernyataan atas keesaan-Nya , pengecaman atas penyembahan berhala, dan membangkitkan semangat manusia.
Thawaf adalah mengelilingi rumah Sang Maha Raja dan selalu terpaut dengan rumat Dzat Yang Maha Mengadakan dan Maha Terpuji, serta berkelliling di sekitar simbol kesucian, kebersihan dan ketinggian.
Sa’i adalah meneladani ibu (siti Hajar) memperbaharui kerinduan dan menampakkan kecintaan
Melempar jumrah adalah melempar musuh, menghancurkan khurafat , mengalah kan kebatilan dan menghancurkan kebohongan.
Wuquf di Padang Arafah adalah persiapan untuk pertemuan akbar (lebih besar) dan bersiap sedia untuk kepergian yang pasti terjadi, merupakan momen pengaduan hamba yang lemah kepada Yang Maha Kuat , yang fakir kepada yang Maha Kaya, Yang lemah kepada Yang Maha Perkasa. Juga moment pemaparan dosa kepada Yang Maha Pemurah dan pemaparan segala apa yang tersebunyi kepada Yang Maha Mengetahui secara ghaib.
Semua suara dengan bermacam-macam bahasa dan dialek mengajukan segenap hajat kepada-Nya . Dia mengetahui hajat (keperluan), permintaan dan permohonan mereka, maka dia pun mewujudkan semua itu sementara perbendaharaanNya tetap seperti sedia kala, tidak berkurang sedikitpun karena pemberian karunia itu, serta tidak terpengaruh dengan banyaknya kedermawanan dan kemurahan-Nya.
Apa yang dari sisimuakan lenyap, dan apa yang ada disisi Allah adalah kekal ‘ Qs. An Nahl :96)
Kalian lebih Berharga daripada Intan Berlian
Assalamualaikum Wr. Wb
“Mereka punya uang, tapi aku… Punya Kalian” “Ini gurunya anak saya,” dengan wajah bangga seorang bapak mengenalkan saya pada kawan-kawannya yang menunggu di sebuah airport di Kuala Lumpur. Dengan santun saya mengangguk dan kemudian minta ijin berlalu. Dengan bawaan yang cukup berat berupa buku-buku beraneka ragam, cukup menjadikan alasan bagi saya untuk segera berlalu dari keramaian dan segera duduk tenang di kursi tunggu. Lamunanku mulai terbit teratur antara lain :
Lamunan 1 :
‘Guru dan buku,’ Perpaduan yang sangat ideal, aku tak habis pikir mendengar salah seorang guru di
sebuah sekolah tidak suka membaca buku. ‘Akh bagi saya cukup dengan membuat rangkuman saja dan mengajar sesuai kisi-kisi yang sudah dituliskan,’ sergahnya ketika aku memicingkan mata, dengan raut tidak setuju.
Lamunan 2 :
Guru, jabatan yang disukai anak-anak perempuan kecil yang kerap menirukan tingkah polah sang guru, namun jabatan yang tidak diimpikan dan tidak menjadi gengsi bagi anak muda jaman sekarang.
Lamunan 3 :
Guru, sosok yang ditakuti orangtua murid, karena nasib dan masa depan anaknya ada di tangan sang
guru, terkadang malah lebih takut pada guru yang lembut daripada Satpam berkumis di pagar sekolah.
Lamunan 4 :
Guru, harus mengajar lebih dari sejumlah lingkaran yang bisa diraihnya, tak hanya mengejar nilai
tinggi, namun juga mendidik akhlaknya, memecahkan masalah anak didiknya, ikut sedih dalam
perceraian orangtuanya, ikut berduka dengan kematian kucingnya. Ya, guru selalu menghayati
problema sang anak didik.
Lamunan 5 :
Guru, ditangannya terdapat sejuta memory yang bisa diciptakan untuk membentuk karakter dan
kepribadian seorang anak.
Lamunan 6 :
Guru bukan pembantu. Tugas utama mendidik anak berada di tangan orangtua, tak dipungkiri guru
yang baik akan menghasilkan anak yang baik, namun dukungan orangtua yang baik akan menjadikan si anak sangat baik. Hanya orangtua suka lupa menyamakan sang guru dengan pembantu, terutama di kindy. Sosok guru nampak seperti setingkat diatas babysitter : Pekerjaan mendidik ditambah dengan membasuh baju anak yang kena ompol, kasih sayang dilihat dengan mata sebelah. Ingat guru bukan pembantu.
Lamunan 7 :
Guru bekerja dari pagi hingga petang : ditambah dengan adanya blackberry menjadikan kerja-kerja
semakin panjang bahkan waktu untuk anak didik lebih banyak daripada waktu untuk anak sendiri.
Lamunan 8 :
Guru, menjadikan bermutu dan berkualitas dalam seluruh waktunya membutuhkan usaha yang
sangat besar, namun hanya dengan bekal niat dan ikhlas saja, maka semua yang dilakukan hari itu
seketika menjadi amal jariyah. Seperti Midas, apapun yang disentuhnya menjadi emas.
Lamunan 9 :
Menurutku: tak adil bila sebuah sekolah hanya menerima murid bernilai sangat tinggi, hanya
menerima murid-murid yang sangat pandai saja. Bagiku: guru yang baik adalah guru yang mendidik
dari tidak bisa menjadi bisa. Bukanlah guru bila hanya mengajar anak yang sudah bisa dan terus
melanjutkan pada bab-bab berikutnya tanpa peduli ada anak yang termangu memandang bukunya,
seperti penumpang yang ketinggalan kereta.
Dan lamunanku di bandara Kuala Lumpur terhenti sampai disitu, ketika aku melihat sebuah majalah
yang didalamnya ada iklan tentang sebuah sekolah internasional di Bali, sangat mewah dan indah.
Terbersit sedikit rasa iri diujung tepi kiri hatiku… “Enak yah bila punya gedung sekolah yang mewah dan besar seperti ini, tidak bocor dan tidak merasa malu untuk menerima tamu.” Namun, segera aku beristighfar sembari mengembalikan majalah itu pada tempatnya. Aku berpikir “orang lain punya gedung bagus dan mewah untuk sekolahnya, namun aku hanya punya guru-guru bermutu yang tulus dan mudah dalam melakukan kerjanya.”
“Kalau mereka punya gedung dan uang, aku lebih bahagia daripada mereka, karena aku punya
kalian,” gumamku sambil memandangi blackberryku dan melihat isian picture dalam grup guru-guru
disekolahku.
Terlihat kreatifnya mereka yang lebih kreatif daripada yang diharapkan, dan ketika didalamnya
terdapat dedikasi maka kekuatan mengajar menjadi berlimpah dengan sedikit power bernama cinta
karena dakwah. Itulah guru-guruku yang sederhana namun mewah.
Dimataku mereka terlihat indah, walau aku sadar, kita bernaung di sebuah sekolah yang bergedung
sederhana namun berselimutkan cinta. Tak ada rasa sesal, karena aku tahu, ketika Aljazirah ada karena Allah menghendaki, maka akan disediakannya rencana yang sangat indah yang terkadang ada diluar
skenario kita sebagai manusia. Wallahua’lam bishowab.
Jumat, 10 Oktober 2014
Rahasia Nabi Khidhir bersama Nabi Musa alaihimassalam
Sebagian kita ada yang menganggap ‘Nabi Khidir “ sampai sekarang belum wafat, untuk mengajarkan berbagai hikmah kepada manusia.. Bagaimanakah sejatinya nabi Khidir itu?
Dari sebuah khutbah Juma’at seorang ustadz (KH. Yaksyallah Mansur MA) menyampaikan hikmah dari kisah Nabi khidir dan Nabi Musa..
“ Lalu keduanya bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami..” (Qs Al kahfi : 65)
Menurut jumuhul mafassirin (mayoritas ahli tafsir) sejak dari Ibnu Abbas, Al Thabari, Al Qurthubi, Ibnu Katsir sampai penafsir kontemporer Ahmad Musthafa al Maraghi bahwa yang dimaksud keduanya pada ayat ini adalah Nabi Musa Alaihi Salam dan anak muda pengiringnya (pembantunya) Yusya’ bin Nun. Sementara yang dimaksud seorang diantara hamba-hamba Kami adalah Nabi Khidr Alaihi Slama. Tetapi penafsir kontemporer yang lain yaitu as Syahid Sayid Quthb, penyusun tafsir fi dzilalil Qur’an tidak menyebut nama Khidr ketika menafsirkan ayat ini. Dia hanya menyebut-nyebut al abdus shalih (hamba yang shalih) saja. Dia berpendirian demikian sebab di dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan kisah ini (QS Al Kahfi 65-82) tidak pernah disebut nama Khidr dan karenanya beliau merasa lebih baik membiarkan sosok ini tetap rahasia seperti yang termaktub dalam Al Qur’an
SIAPAKAH NABI KHIDIR ITU?
Sosok nabi Khidir Alaihi Salam yang menurut Jumhurul Mufasirin sebagi nabi yang dijadikan oleh Nabi Musa Alaihi Salam sebagai gurunya, telah menimbulkan kontroversi di kalangan ulama sejak dahulu samapai sekarang. Khidr atau khadhir atau Khidhir berasal dari bahasa Arab yang artinya hijau. Menurut riwayat Mujahid apabila dia shalat rumput-rumput kering yang disekelililngnya akan menjadi hijau. Segolongan orang terutama dari kalangan kaum shufi mengatakan bahwa dia masih hidup sampai sekarang. Banyak cerita lainnya, tetapi kebanyakan cerita tersebut berasal dari kisah-kisah israiliyat. Dan tentang beliau masih hidup sampai sekarang bertentangan dengan ayat Allah : Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap –tiap yang berjiwa akan merasakan mati (Qs Al Anbiya : 34-35)
Imam Bukhari dan beberapa perawi hadis yang lain menegaskan Nabi Khidr Alaihi Salam telah wafat
Hikmah dari kisah ini , Adab menuntut ilmu
AI Imam Fakhrur Razi mengatakan,” Ketahuilah , ayat ini (Qs al Kahfi: 66) menunjukan bahwa Nabi Musa memperhatikan adab serta tata cara yang cukup banyak dan lunak ketika ingin belajar dari nabi Khidir. Tata cara tersebut antara lain :
Nabi Musa merendah’kan dirinya dengan bertanya secara halus , “ Apakah engkau mengizinku untuk mengikutimu? Padahal kita tahu Nabi Musa adalah seorang nabi Ulul Azmi yang pernah bercakap-cakap dengan Allah dan memimpin Bani Israil. Dia pula satu-satunya Nabi yang disebut namanya dalam Al Qur’an sebanyak 300 Kali!
Kemudian nabi Musa mengatakan “ Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar..” ini membuktikan kepribadian luhur dan sifat tawadlu untuk mengakui akan kebodohan dirinya di hadapan sang guru. Dan beberapa adab lainnya
Hikmah kisah ini juga menyampaikan salah satu etika dalam menuntut ilmu (al Qur’an) adalah bahwa ilmu harus dicari dari sumbernya . Ia harus didatangi walau jauh tempatnya dan kesulitan dalam menempuhnya. Dan Nabi Musa mencontohkan bagaimana ia walaupun seorang nabi pilihan (ulul azmi) yang sekaligus pemimpin , siap menempuh suatu perjalanan untuk mencari ilmu.
Nasihat Khidir kepada Musa
Dari Umar bin Al Khattab Radiyallahu Anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam bersabda, “ Saudaraku, Musa Alaihissalam berkata, Wahai Rabbi .., tampakanlah kepadaku orang yang engkau tampakkan kepadaku di perahu..”
Allah menurunkan wahyu kepada Musa ,” Hai Musa kamu akan melihatnya..”
Tak berapa lama kemudian datang Khidir, dengan aroma yang harum dan mengenakan pakaian berwarna putih. Khidir berkata, “ Salam sejahtera atasmu wahai Musa bin Imran. Sesungguhnya Rabbmu menyampaikan salam kepadamu beserta rahmatNYa..
Musa berkata,” Dialah As-Salam dan kepada-Nya kesejahteraan serta dari Nya kesejahteraan. Segala puji bagi Allah Rabbul-alamin yng nikmat-nikmatNya tidak dapat kuhitung dan aku tidak dapat bersyukur kepada-Nya kecuali dengan petolongan-Nya. Kemudian Musa berkata, “ Aku Ingin engkau memberiku nasihat dengan suatu nasihat yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadaku sepeninggalmu.”
Khidir berkata,” Wahai pencari ilmu, sesungguhnya orang yang berbicara tidak lebih mudah jemu daripada orang yang mendengarkan. Maka janganlah kau buat orang-orang yang ada disekitarmu menjadi jemu ketika engkau berbicara kepada mereka. Ketahuilah bahwa hatimu merupakan bejana. Kenalilah dunia dan buanglah ia dibelakangmu, karena dunia bukan merupakan tempat tinggalmu, dan apa yang ditetapkan bagimu tidak ada di sana. Dunia dijadikan sebagai perantara hidup hamba, agar mereka mencari bekal darinya untuk tempat kembali. Hai Musa , letakkanlah dirimu pada kesabaran, tentu engkau akan selamat dari dosa. Wahai Musa, pusatkanlah minatmu pada ilmu kalau memang engkau menghendakinya. Sesungguhnya ilmu itu bagi orang yang berminat kepadanya. Janganlah engkau menjadi mudah kagum kepada perkataan yang disampaikan panjang lebar, karena banyak perkataan mendatangkan aib bagi orang yang berilmu dan dapat membocorkan rahasia yang mestinya ditutupinya.Tetapi semestinya engkau berkata sedikit karena yang demikian itu termasuk taufiq dan kebenaran. Berpalinglah dari orang bodoh dan bersikaplah secara lemah lembut terhadap orang yang dungu, karena yang demikian itu merupakan kelebihan para ahli hikmah dan hiasan orang-orang yang berilmu. Jika ada orang bodoh yang mencacimu , diamlah di depannya lalu menyingkir dari sisinya secara hati-hati karena kelanjutannya tetap menggambarkan kebodohannya terhadap dirimu dan caciannya akan semakin bertambah gencar dan banyak. Wahai anak keturunan Imran, janganlah engkau terlihat memiliki ilmu kecuali hanya sedikit. Sesungguhnya asal keluar dan asal berbuat merupakan tindakan menceburkan diri kepada sesuatu yang tidak jelas dan memaksakan diri. Wahai anak Imran janganlah sekali-kali engkau membukakan pintu yang tidak engkau ketahui untuk apa pintu itu ditutup dan jangan tutup pintu yang tidak engkau ketahui untuk apa ia di buka. Wahai anak Imran, siapa yang tidak berhenti dari dunia, maka dunia itu yang akan melahapnya. Mana mungkin seseorang menjadi ahli ibadah jika hasratnya kepada dunia tidak pernah habis? Siapa yang menghinakan keadaan dirinya dan membuat tuduhan terhadap Allah tentang apa yang ditakdirkan baginya, mana mungkin kan menjadi orang zuhud? Adakah orang yang telah dikalahkan hawa nafsunya akan berhenti dari syahwat? Mana mungkin pencarian ilmu masih bermanfaat bagi orang yang dipagari kebodohan? Perjalanan akan menunjukkan ke akhirat dengan meninggalkan dunia . Wahai Musa belajarlah apa engkau amalkan agar engkau mengamalkannya dan janganlah engkau menampakkan amalmu agar disebut-sebut , sehingga engkau mendapat kerusakan dan orang lain mendapat cahaya. Wahai anak Imran, jadikanlah zuhud dan taqwa pakaianmu, jadikanlah ilmu dan zikir sebagai perkataanmu, karena yang demikian itu membuatmu Rabbmu ridha. Berbuatlah kebaikan karena engkau juga harus melakukan yang lainnya. Engkau telah mendapatkan nasihatnya jika engkau menghafalkannya”.
Setelah itu Khidir berbalik meninggalkannya, sehingga tinggal sendirian Musa dalam keadaaan sedih. (Diriwayatkan Ath Thbrany dalam Al Ausath, di dalam nya ada Zakaria bin Yahnya Al Wafad, yang didhaifkan tidak hanya oleh satu orang, Ibnu Hibband dalam At Tsiqat. Dia menyebutkan bahwa dia salah dalam kemaushullannya. Yang benar , didalamnya ada riwayat dari Sufyan Ats Tsaury, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakannya, dan rijal yang lainnya tsiqat. Majma”Az Zawa’id,
Ambillah Pesan Terakhir-MU
Biasanya bila seorang hamba sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, ada sebagian orang yang mengucapkan seuntai kata-kata atau juga berupa pesan-pesan terakhir . Berikut ini adalah kumpulan kata-kata terakhir atau pesan terakhir dari orang-orang terkenal. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari untaian lisan mereka yang sudah pergi mendahului kita…
Banyak hikmah yang perlu di tadaburi dari kalimat mereka…
Ummatii … ummatii … ummatii ….(Umatku … umatku … umatku) – Rasul Muhammad Saw, Nabi dan Rasul terakhir.
Tahu kamu kalau aku ngomong blak-blakan. Aku yakin akan terjadi perang saudara. Kalau perang dengan bangsa lain, kita bisa membedakan fisiknya. Tapi dengan bangsa sendiri, itu sangat sulit. Lebih baik aku robek diriku sendiri, aku yang mati daripada rakyatku yang perang. Aku tidak sudi minta suaka ke negeri orang . Bung Karno, dibisikkan kepada Putu Sugianitri ajudannya sebelum ajal.
Tuhanku, Tuhanku – Chairil Anwar, Penyair Angkatan 45
Adakah orang lain yang terluka? – Robert F. Kennedy kepada istrinya setelah dia tertembak dan sebelum koma
Ayolah, semua keluar ! Kata-kata terakhir hanyalah kebodohan bagi siapa saja yang berkata cukup ! – Karl Marx, ketika ditanya oleh pembantunya apa kata-kata terakhirnya.
Saya merasa sakit kepala yang luar biasa – Franklin Delano Roosevelt, presiden ke-32 USA.
Saya belum mengungkapkan separuh dari apa yang kulihat.- Marco Polo,Penjelajah dunia
Saya tahu kamu datang untuk membunuhku. Tembaklah, kamu hanya akan membunuh seorang manusia.) – Che Guevara, Pemimpin Revolusi.
Saya sedang bosan dengan semua ini – Winston Churchill, PM Inggris pada PD II, sebelum koma dan meninggal sembilan hari kemudian.
Saya sedang kalah – Frank Sinatra, penyanyi dan bintang film Amerika.
Langganan:
Postingan (Atom)